Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pfizer Izinkan 95 Negara Buat dan Jual Obat COVID-nya

Ilustrasi obat COVID-19. (Unsplash.com/Wengang Zhai)
Ilustrasi obat COVID-19. (Unsplash.com/Wengang Zhai)

Jakarta, IDN Times - Pfizer pada hari Selasa (16/11/2021) mengatakan telah mendatangani perjanjian lisensi yang membuat obat COVID-19 buatan mereka dapat dibuat dan dijual di 95 negara atau 53 persen populasi dunia. Hal ini bisa terjadi setelah Pfizer menjalin kesepakatan dengan Medicines Patent Pool (MPP), sebuah organisasi nirlaba yang mengurusi paten obat-obatan.

1. Pfizer tidak akan mengambil royalti dari negara berpenghasilan rendah

Ilustrasi obat COVID-19. (Unsplash.com/Christina Victoria Craft)
Ilustrasi obat COVID-19. (Unsplash.com/Christina Victoria Craft)

Melansir dari BBC, perusahaan farmasi itu mengatakan tidak akan menerima royalti dari penjualan di negara-negara berpenghasilan rendah, selain itu juga akan mengabaikan royalti di semua negara yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih dalam keadaan darurat COVID-19.

Pfizer mengatakan pemberian lisensi bertujuan untuk memfasilitasi akses yang lebih besar ke populasi global.

Pfizer pada awal bulan ini mengumumkan hasil uji klinis obat COVID-19 buatannya, Paxlovid, yang diklaim dapat mengurangi risiko rawat inap atu kematian hingga 89 persen untuk pasien dewasa berisiko tinggi.

Direktur MMP, Charles Gore, memuji kesepakatan ini dia mengatakan lisensi ini penting untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, yang dapat membantu  menyelamatkan nyawa. Gore berharap versi generik obat Pfizer ini dapat tersedia dalam beberapa bulan mendatang.

Pimpinan Pfizer mengatakan harus ada kerja sama agar semua orang dapat mendapatkan akses obat COVID-19.

2. Pfizer akan kesulitan memasok obat

Melansir dari Reuters, Pfizer menyampaikan bahwa mereka berharap dapat menjalankan 180 ribu kursus perawatan COVID-19 pada akhir bulan depan dan setidaknya 50 juta kursus pada akhir 2022.

Perusahaan medis ini diperkirakan akan kesulitan memasok obat COVID-19 untuk 47 persen populasi dunia. Pada pekan lalu seorang eksekutif Pfizer pil mengatakan pasar obat COVID-19 buatan perusahaan diperkirakan dapat menjangkau hingga 150 juta orang dan banyak negara yang mungkin juga tertarik untuk membeli sebagai pasokan penting.

Dalam penjualannya Pfizer mengatakan akan menjual obat yang dikembangkannya ini menggunakan pendekatan harga berjenjang, mengacu pada tingkat pendapatan di setiap negara. Di Amerika Serikat (AS) harga obat Pfizer ini diperkirakan akan mendekati harga obat COVID-19 buatan Merck, yang dihargai sekitar 700 dolar AS (Rp9,9 juta) dalam pengobatan.

Merck juga mempunyai perjanjian lisensi dengan MMP untuk obat COVID-19, molnupiravir, yang akan tersedia di lebih dari 100 negara. Namun, beberapa pejabat kesehatan internasional mengatakan obat itu tidak cukup untuk menjangkau banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah dalam jumlah yang cukup besar.

Awal bulan ini Inggris mengesahkan obat COVID-19 buatan Merck, yang masiih menunggu persetujuan di negara lain. Pfizer saat ini sedang berusaha mendapatkan izin dari regulator obat-obatan di AS.

3. Doctors Without Borders kecewa karena obat tidak tersedia di seluruh dunia

Melansir dari SKY News, kesepakatan ini telah mengecualikan negara-negara besar tertentu yang telah menderita wabah virus corona yang menghancurkan. Misalnya, perusahaan obat Brasil hanya dapat memperoleh lisensi untuk membuat dan mengekspor ke negara lain, tapi tidak dijual di Brasil.

Doctors Without Borders mengatakan kecewa bahwa kesepakatan Pfizer dengan MMP ini tidak membuat obat tersedia di seluruh dunia. Organisasi ini juga mencatat bahwa negara-negara termasuk China, Argentina, dan Thailand tidak termasuk dalam perjanjian.

Yuanqiong Hu, penasihat hukum Doctors Without Borders, mengatakan dunia tahu untuk mengendalikan pandemik perlu adanya jaminan akses medis  untuk semua orang.

Pfizer saat ini masih kurang dalam mendistribusikan vaksin ke negara-negara miskin, dengan kurang dari 1 persen dari vaksin yang pergi ke negara-negara miskin. Selain itu Pfizer dan perusahaan farmasi lainnya juga menolak seruan untuk mencabut paten pada vaksin virus corona mereka.

Sebuah fasilitas yang didirikan oleh WHO di Afrika Selatan yang dirancang untuk berbagi mengenai teknologi vaksin RNA, belum berhasil menarik partisipasi  perusahaan farmasi untuk membagikan pengetahuan mereka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ifan Wijaya
EditorIfan Wijaya
Follow Us