Profil Marco Rubio, Menlu AS Keturunan Latin Pertama dalam Sejarah

- Marco Rubio resmi menjadi Menteri Luar Negeri AS ke-72
- Rubio adalah orang keturunan Latin pertama yang menduduki posisi diplomat tertinggi AS
- Rubio berjanji kebijakan luar negeri AS didasarkan pada tiga pertanyaan penting: membuat lebih kuat, aman, dan makmur
Jakarta, IDN Times - Marco Rubio resmi menjadi Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) ke-72 pada Senin (20/1/2025). Senat AS memberikan persetujuan bulat 99-0 terhadap pencalonan Senator asal Florida ini. Ia menjadi anggota kabinet pertama Presiden AS Donald Trump di periode kedua ini.
Rubio mengukir sejarah sebagai orang keturunan Latin pertama yang menduduki posisi diplomat tertinggi AS. Putra imigran Kuba ini masuk dalam jajaran kabinet baru Donald Trump setelah sebelumnya menjabat sebagai Senator AS dari Florida selama tiga periode.
Saat pelantikan di Gedung Putih, Rubio berjanji setiap keputusan kebijakan luar negeri AS akan didasarkan pada tiga pertanyaan penting.
"Apakah membuat kita lebih kuat? Apakah membuat kita lebih aman? Apakah membuat kita lebih makmur?" ujar Rubio, dikutip dari AP.
1. Profil Marco Rubio
Dilansir Britannica, profil Marco Rubio diawali dengan data lahir Rubio pada 28 Mei 1971 di Miami dari orangtua imigran Kuba yang meninggalkan negaranya tahun 1956. Ayahnya bekerja sebagai bartender dan ibunya sebagai pelayan hotel. Rubio menempuh pendidikan di University of Florida dan meraih gelar hukum dari University of Miami.
Karier politiknya bermula saat terpilih sebagai anggota Komisi Kota West Miami pada usia 26 tahun. Prestasi politiknya terus menanjak hingga menduduki kursi Ketua DPR Florida periode 2006–2008, sebelum akhirnya terpilih sebagai Senator AS pada 2010.
Selama di Senat AS, Rubio aktif di Komite Hubungan Luar Negeri dan menjadi anggota senior Komite Intelijen. Pengalamannya membangun kebijakan internasional AS meliputi isu-isu strategis seperti hubungan dengan China dan konflik Ukraina-Rusia.
Pria berusia 53 tahun ini menikah dengan Jeanette Dousdebes, mantan cheerleader Miami Dolphins. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak dan masih menetap di Miami hingga kini.
2. Dinamika hubungan Rubio-Trump
Hubungan Rubio dan Trump memiliki dinamika menarik. Keduanya pernah bersaing dalam pemilihan calon presiden Partai Republik 2016. Trump saat itu sering memanggil Rubio dengan julukan "Little Marco", sementara Rubio mengkritik Trump sebagai "penipu".
Seiring waktu, Rubio mengubah sikapnya dan menjadi pendukung Trump. Dilansir New York Times, dia berperan sebagai penasihat kebijakan luar negeri Trump selama kampanye 2024. Meski tidak terpilih sebagai calon wakil presiden, Rubio tetap mendukung Trump hingga akhirnya dipercaya sebagai menteri luar negeri.
Transformasi politik Rubio juga terlihat dari perubahan pandangannya tentang imigrasi. Sikapnya dinilai berubah lebih keras seiring penguatan posisinya di Partai Republik.
Pada 2013, dia memimpin kelompok bipartisan "Gang of Eight" yang mengajukan rancangan undang-undang jalur kewarganegaraan bagi imigran tanpa dokumen. Namun, Rubio kemudian menarik dukungannya terhadap RUU tersebut setelah mendapat penolakan dari basis Partai Republik.
3. Pandangan politik luar negeri Marco Rubio
Sebagai Menlu baru, Rubio berjanji menempatkan Departemen Luar Negeri sebagai pusat kebijakan internasional AS.
"Saya ingin Departemen Luar Negeri berada di tempatnya, saya ingin departemen ini menjadi pusat bagaimana Amerika terlibat dengan dunia," tutur Rubio dalam pidato pertamanya, dilansir ABC News.
Program modernisasi departemen menjadi salah satu agenda utamanya. Rubio berencana melakukan perubahan sistem kerja agar departemennya mampu bergerak lebih cepat menghadapi tantangan global abad 21. Namun, dia menjamin perubahan ini tidak bersifat destruktif atau menghukum.
Rubio dikenal keras terhadap China. Selama di Senat, dia mengusulkan legislasi pengetatan kredit pajak baterai kendaraan listrik produksi China dan aktif mendesak pembatasan penjualan ke Huawei. Pemerintah China bahkan memasukkan namanya dalam daftar sanksi pada 2020 bersama lima legislator AS lainnya karena sikapnya terhadap isu Hong Kong.
Terkait konflik Ukraina-Rusia, Rubio mendorong penyelesaian melalui jalur diplomatik. Meski sebelumnya mendukung bantuan militer ke Ukraina, kini dia lebih menekankan pentingnya negosiasi damai antara kedua negara.
Rubio bersikap skeptis terhadap upaya gencatan senjata di Gaza, meski tetap berharap proses perdamaian dapat tercapai. Dia memandang Hamas sebagai organisasi teroris yang sulit dipercaya dalam menjaga kesepakatan damai.
"Saya berharap dan berdoa gencatan senjata akan bertahan, tapi ingat, pada 6 Oktober 2023 ada gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Serangan 7 Oktober 2023 adalah pelanggaran terhadap itu," ujar Rubio.