Druze, Kaum Minoritas di Dataran Tinggi Golan yang Dikuasai Israel

Kaum Druze merupakan kelompok keagamaan sekaligus etnis yang terkenal dengan bahasa Arabnya. Dilansir Arab News, hanya ada sekitar 1,5 juta kaum Druze yang tersebar di seluruh dunia. Namun, sebagian besar kaum Druze tinggal di Levant (wilayah di sepanjang pantai Mediterania timur, yang mencakup Israel, Yordania, Lebanon, Suriah, Dataran Tinggi Golan, dan beberapa wilayah yang berdekatan lainnya.)
Nah, di Barat, orang Druze yang paling dikenal adalah istri aktor George Clooney, yang merupakan seorang pengacara Lebanon bernama Amal Alamuddin. Namun, di Timur Tengah, komunitas kecil ini justru punya peran besar dalam politik Timur Tengah, lho. Meskipun mereka tertutup, etnis keagamaan ini justru punya daya tariknya sendiri.
Di sisi lain, banyak hal tentang sistem kepercayaan Druze masih menjadi misteri, bahkan bagi beberapa penganut Druze sekali pun. Kebanyakan kaum Druze tidak mengetahui rahasia spiritual dari ajaran Druze itu sendiri. Jadi, hanya sebagian kecil di antara mereka saja yang benar-benar mengerti secara mendalam tentang beberapa kepercayaan Druze yang lebih esoteris. Kelompok ini sebenarnya terinspirasi dari banyak agama lain, dan bahkan filsafat Yunani, yang menghasilkan konsepsi Tuhan dengan makna yang luas dan juga mistis. Di samping itu, kelompok Druze juga telah menutup pintu bagi para mualaf sejak 1043. Nah, penasaran, kan, dengan agama dan etnis minoritas ini?
1. Kelompok Druze lahir karena kehadiran Khalifah Al-Hakim Biamrillah

Sistem kepercayaan Druze pertama kali muncul di Kairo, Mesir, pada Abad Pertengahan, saat kota itu berada di bawah kendali Kekhalifahan Fathimiyah yang sedang kuat-kuatnya. Pada abad ke-10 dan ke-11 Masehi, khalifah keenam kekhalifahan tersebut, Al-Hakim Biamrillah, punya pengikut yang taat karena ia dianggap sangat beriman.
Al-Hakim Biamrillah sering dibilang sebagai utusan Allah SWT. Selain itu, kaum Druze percaya bahwa Al-Hakim adalah tajalli, atau seseorang yang menerapkan nilai-nilai ketuhanan untuk membimbing umat manusia. Namun, beberapa cendekiawan mengatakan bahwa hal itu adalah kesalahpahaman tentang teologi Druze.
Selain itu, beberapa sejarawan berpendapat bahwa kepercayaan dari periode ini merupakan sebuah fitnah yang dibuat oleh Kekhalifahan Abbasiyah, yang merupakan saingannya. Tidak hanya itu, banyak juga kisah-kisah yang menggambarkan Al-Hakim Biamrillah sebagai orang yang aneh. Misalnya, Al-Hakim Biamrillah melarang adanya sayuran dan kerang yang tidak disukainya dan membunuh semua anjing di Kairo agar tidak menggonggong. Kepercayaan tentang sikap Al-Hakim Biamrillah ini akhirnya menyebabkan kerusuhan di Kairo, tempat sebagian besar orang pada saat itu mengikuti agama yang lebih konvensional, yakni Islam Syiah Ismailiyah.
Terlepas dari itu semua, khalifah Al-Hakim Biamrillah tidak diketahui lagi keberadaannya. Konon, setelah melakukan perjalanan malamnya ke padang pasir, Al-Hakim Biamrillah didekati oleh beberapa bandit suku Arab Badui. Setelah itu, Al-Hakim Biamrillah menghilang dan tidak diketahui lagi keberadaannya. Jasadnya pun tidak pernah ditemukan, hanya jubahnya yang robek. Namun, para pengikutnya, terutama kaum Druze, tidak pernah berpaling dengan kepercayaan mereka terhadap Al-Hakim Biamrillah. Kaum Druze percaya kalau di akhir zaman, Al-Hakim Biamrillah akan kembali ke bumi sebagai Imam Mahdi.
2. Teologi Druze

Beberapa kepercayaan penganut Druze sangat mirip dengan Islam. Misalnya, para pengikutnya tidak boleh makan daging babi dan mengonsumsi alkohol. Mereka juga mengakui nabi Muhammad SAW, Yesus dan Musa, sebagai rasul sejati. Namun, penganut Druze juga menghormati para filsuf Yunani, seperti Socrates, Aristoteles, dan Plato. Penganut Druze kagum dengan pemikiran dan perilaku mereka.
Penganut Druze mendapat asupan spiritual dari tokoh-tokoh agama dari ketiga agama Abrahamik dan dari filsafat Yunani. Meskipun begitu, penganut Druze gak mau menjalani ritual dan tradisinya. Seperti banyak agama mistis di seluruh dunia, Druze juga memiliki konsepsi yang cukup abstrak tentang Tuhan.
Penganut Druze percaya bahwa Tuhan itu identik dengan semua hal. Artinya, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bersifat ilahi, dan mereka pun dapat mengenal Tuhan dengan cara ini. Nah, pemahaman Druze tentang Tuhan ini serupa dengan Gnostisisme atau Islam Sufi.
Banyak penganut Druze yang percaya pada reinkarnasi. Tidak hanya itu, mereka sangat tertutup dengan kelompok-kelompok agama lain. Itu sebabnya, penganut Druze dilarang menikah dengan agama lain, karena bisa dianggap murtad.
3. Tidak semua penganut Druze diberikan akses untuk mengetahui rahasia kesucian ajaran Druze

Hanya sedikit penganut Druze yang mengetahui rahasia paling suci dari agama tersebut. Ada penganut Druze yang disebut al-Juhhal, yang berarti orang bodoh atau tidak tahu. International Fellowship of Christians and Jews memperkirakan bahwa sekitar 80 persen komunitas Druze masuk dalam kategori ini. Nah, 20 persen lainnya diberi akses untuk mengetahui rahasia Druze dan diizinkan untuk mempelajari teks suci, Epistles of Wisdom, kumpulan 111 surat dari Abad Pertengahan.
Namun, menjadi bagian elit orang yang tahu atau disebut al-uqqal (orang bijak) tidaklah semudah itu. Pasalnya, anggota elit Druze harus mengikuti aturan yang ketat. Misalnya, mereka tidak boleh merokok dan harus menghadiri pertemuan keagamaan mingguan secara rahasia.
Nah, karena pandangan mereka yang sangat egaliter terhadap kemanusiaan, jadi lebih banyak perempuan yang berilmu (al-uqqal) dari pada laki-laki. Diyakini bahwa perempuan lebih mungkin untuk mencapai tingkat kesempurnaan spiritual yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Lalu, di antara al-uqqal, mereka yang berada di puncak tertinggi dikenal sebagai orang-orang yang murah hati. Para Druze senior ini menjalani kehidupan yang sangat taat dan menjadi pertapa sebagai bagian dari kehidupan spiritual yang suci.
4. Prinsip dan praktik kaum Druze

Ada tujuh ajaran inti yang dianut dan dipegang teguh oleh kaum Druze sebagai inti dari keimanan mereka, yakni menerima keesaan Tuhan, berbicara jujur, menolong sesama manusia, meninggalkan kepercayaan yang salah, tunduk kepada Tuhan, menolak yang tidak benar, dan mencari kedamaian di dalam Tuhan. Iman kepada Tuhan dipandang kaum Druze sebagai tujuan akhir dari kehidupan manusia.
Nah, uniknya. Meskipun iman sangat penting bagi kaum Druze, mereka justru tidak menjalani ritual keagamaan, yang mereka anggap sebagai praktik kosong yang membuat para pengikutnya tidak dapat mengenal Tuhan dengan sempurna. Misalnya, tidak ada doa, dan para penganutnya tidak melakukan ziarah atau mempelajari liturgi.
Namun, kaum Druze juga mempunyai beberapa tradisi. Setiap April, banyak kaum Druze yang mengunjungi tempat suci nabi Yitro (tokoh dalam Alkitab sebagai ayah mertua nabi Musa). Selain itu, penganutnya harus mengikuti beberapa adat istiadat tambahan, seperti mengenakan surban atau peci putih untuk laki-laki dan jilbab putih untuk perempuan, serta menghadiri pertemuan keagamaan pada Kamis malam.
5. Peran kaum Druze dalam politik

Setelah kematian khalifah Druze, Al-Hakim Biamrillah pada abad ke-12, kaum Druze masih mengikuti sistem kepercayaan mereka meskipun ada beberapa upaya untuk memperkuat ortodoksi. Dalam sejarahnya, kaum Druze punya reputasi sebagai pejuang tangguh dan penyintas yang gigih, lho. Adapun, mereka menetap di wilayah pegunungan Levant atau Dataran Tinggi Golan.
Kaum Druze pernah bertempur secara sengit melawan Tentara Salib Eropa selama Abad Pertengahan dan berani menghadapi pendudukan (penjajahan). Kaum Druze menjadi pemberontak di bawah Kekaisaran Ottoman. Di sisi lain, selama mandat Prancis, salah satu tokoh berpengaruh Druze, Sulṭān al-Aṭrash, punya peran penting dalam memimpin pemberontakan Suriah melawan kendali Eropa.
Kekuatan dan keuletan kaum Druze menjadikan mereka sekutu yang patut ditiru dalam sebuah konflik wilayah. Di Israel, kaum Druze berhasil mempertahankan hubungan persaudaraan dengan komunitas Yahudi dan memihak Yahudi selama Perang Arab-Israel. Baru-baru ini, kaum Druze bahkan memiliki batalion mereka sendiri yang bernama Herev, atau Batalion Pedang di tentara Israel.
Dalam sejarah yang lebih baru, kaum Druze juga merupakan salah satu dari banyak faksi yang terlibat dalam Perang Saudara Lebanon yang berlangsung selama 15 tahun. Mereka memiliki milisi yang beranggotakan 5.000 orang. Jadi bisa dibilang kaum Druze ini punya sejarah dan pengalaman yang gak main-main.
Meskipun kelompok minoritas ini tinggal di bawah wilayah yang dikuasai Israel, budaya dan bahasa kaum Druze adalah Arab. Biarpun begitu, kaum Druze menentang nasionalisme Arab arus utama pada 1948. Sejak saat itu pula, pemuda dari kaum Druze direkrut Israel untuk wajib militer bersama Israel Defense Forces (IDF) dan Polisi Perbatasan. Meskipun begitu, kaum Druze terpolarisasi sejak Israel menguasai Dataran Tinggi Golan. Ada yang mendukung, ada pula yang menentangnya.