Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Shutdown Pemerintah AS, Sudah Ada Sejak 1970-an

protes shutdown di depan Gedung Putih pada 2019. (AFGE, CC BY 2.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/2.0>, via Wikimedia Commons)
protes shutdown di depan Gedung Putih pada 2019. (AFGE, CC BY 2.0 <https://creativecommons.org/licenses/by/2.0>, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Shutdown pemerintahan dimulai setelah lahirnya Undang-Undang Anggaran Kongres tahun 1974
  • Presiden Reagan mengalami delapan kali shutdown
  • Reagan merumahkan sementara 241 ribu pegawai federal pada 1981
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah federal Amerika Serikat (AS) kembali mengalami shutdown atau penutupan layanan pada Rabu (1/10/2025). Fenomena ini terjadi setelah Kongres gagal menyepakati rancangan undang-undang (RUU) belanja negara yang baru sebelum tahun fiskal berakhir.

Kebuntuan kali ini dipicu oleh perselisihan antara Partai Demokrat dan Republik terkait subsidi layanan kesehatan dan pemotongan program Medicaid. Situasi ini memaksa ratusan ribu pegawai federal dirumahkan sementara tanpa gaji dan sebagian layanan publik terpaksa berhenti beroperasi. Berikut sejarah shutdown pemerintah AS dari masa ke masa.

1. Fenomena shutdown dimulai sejak 1970-an

Shutdown pemerintahan sebenarnya adalah fenomena yang relatif baru dalam sejarah politik AS. Praktik ini baru dimulai setelah lahirnya Undang-Undang Anggaran Kongres tahun 1974, yang mengubah proses penganggaran negara dan memberi Kongres kekuatan lebih besar.

Sebelumnya, kebuntuan anggaran atau "celah pendanaan" tidak selalu berujung pada penutupan layanan. Banyak lembaga pemerintah tetap beroperasi dengan asumsi bahwa dana akan segera disetujui oleh Kongres.

Menurut Vox, titik baliknya terjadi pada 1980 dan 1981, ketika Jaksa Agung Benjamin Civiletti mengeluarkan opini hukum yang tegas. Ia menyatakan bahwa lembaga pemerintah dilarang membelanjakan uang tanpa persetujuan eksplisit dari Kongres, berdasarkan Undang-Undang Antideficiency yang telah ada sejak pasca-Perang Sipil.

Sejak saat itu, setiap kali terjadi kebuntuan pendanaan, layanan pemerintah yang dianggap tidak esensial wajib dihentikan. Sistem politik AS yang memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislatif inilah yang memungkinkan terjadinya kebuntuan semacam ini.

2. Presiden Reagan mengalam delapan kali shutdown

Presiden AS Ronald Reagan. (Series: Reagan White House Photographs, 1/20/1981 - 1/20/1989Collection: White House Photographic Collection, 1/20/1981 - 1/20/1989, Public domain, via Wikimedia Commons)
Presiden AS Ronald Reagan. (Series: Reagan White House Photographs, 1/20/1981 - 1/20/1989Collection: White House Photographic Collection, 1/20/1981 - 1/20/1989, Public domain, via Wikimedia Commons)

Dilansir The Hill, Jimmy Carter adalah salah satu presiden AS pertama yang merasakan dampak langsung dari aturan baru ini, dengan lima kali shutdown selama masa jabatannya. Sebagian besar kebuntuan dipicu oleh perdebatan sengit mengenai penggunaan dana publik untuk layanan aborsi.

Namun, shutdown pertama dengan dampak masif terjadi pada era Presiden Ronald Reagan pada 1981. Untuk pertama kalinya, pemerintah merumahkan sementara (furlough) sekitar 241 ribu pegawai federal akibat perselisihan anggaran dengan Kongres.

Selama masa jabatannya, Reagan menghadapi total delapan kali shutdown, meskipun sebagian besar hanya berlangsung singkat. Uniknya, salah satu shutdown pada 1982 terjadi hanya karena para anggota Kongres tidak mau melewatkan acara sosial penting, termasuk pesta barbeku di Gedung Putih, seperti dilansir The New York Times.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana kebuntuan politik mulai menjadi alat tawar-menawar yang kuat di Washington. Sejak 1976, tercatat sudah ada lebih dari 20 kali shutdown atau celah pendanaan yang terjadi di AS. George W. Bush menjadi satu-satunya presiden AS yang tidak pernah mengalami shutdown.

3. Shutdown terpanjang terjadi di periode pertama Trump

Presiden AS, Donald Trump, dan mantan Presiden AS, Barack Obama. (DoD photo by U.S. Air Force Staff Sgt. Marianique Santos, Public domain, via Wikimedia Commons)
Presiden AS, Donald Trump, dan mantan Presiden AS, Barack Obama. (DoD photo by U.S. Air Force Staff Sgt. Marianique Santos, Public domain, via Wikimedia Commons)

Seiring waktu, iklim politik yang semakin terpolarisasi membuat shutdown cenderung berlangsung lebih lama. Rekor shutdown terlama kedua terjadi pada era Presiden Bill Clinton selama 21 hari pada 1995-1996, akibat perselisihan sengit mengenai rencana anggaran dengan Kongres.

Pada 2013, di bawah Presiden Barack Obama, pemerintah kembali lumpuh selama 16 hari. Pemicunya adalah upaya keras Partai Republik untuk menunda atau mencabut pendanaan program layanan kesehatan yang dikenal sebagai Obamacare.

“Kita harus menghentikan kebiasaan memerintah dengan menciptakan krisis,” ujar Obama saat itu, dilansir NYT.

Rekor shutdown terpanjang dalam sejarah AS pecah pada periode pertama Presiden Donald Trump, berlangsung selama 35 hari dari Desember 2018 hingga Januari 2019. Kebuntuan ini dipicu oleh permintaan Trump untuk dana 5 miliar dolar AS (sekitar Rp83 triliun) guna membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko, yang ditolak keras oleh Partai Demokrat.

4. Shutdown 2019 rugikan AS hingga Rp49 triliun

ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)
ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)

Dampak paling langsung dari shutdown dirasakan oleh ratusan ribu pegawai federal. Pegawai yang dianggap non-esensial akan dirumahkan sementara tanpa menerima gaji hingga shutdown berakhir.

Berkat undang-undang yang disahkan pada 2019, mereka kini dijamin akan menerima gaji susulan setelah pemerintah kembali dibuka. Namun, menurut Al Jazeera, staf kontrak seperti petugas kebersihan atau keamanan tidak memiliki jaminan yang sama dan seringkali tidak mendapat kompensasi apa pun.

Sementara itu, personel esensial seperti militer dan agen penegak hukum tetap wajib bekerja, tetapi tanpa bayaran hingga anggaran disetujui. Shutdown terlama pada 2018-2019 bahkan diperkirakan merugikan ekonomi AS sekitar 3 miliar dolar AS (Rp49 triliun) dalam bentuk Produk Domestik Bruto (PDB) yang hilang. Dalam shutdown terbaru, Gedung Putih bahkan mengancam akan melakukan pemecatan massal, bukan sekadar merumahkan sementara.

5. Layanan publik yang lumpuh akibat shutdown

Gedung Putih. (unsplash.com/Tomasz Zielonka)
Gedung Putih. (unsplash.com/Tomasz Zielonka)

Bagi warga AS, dampak shutdown terasa melalui penutupan berbagai layanan publik. Taman nasional, monumen, dan museum federal yang dikelola pemerintah biasanya ditutup untuk pengunjung.

Selain itu, layanan pajak dari IRS, proyek riset federal, hingga pemrosesan beberapa tunjangan pemerintah juga ikut tertunda. Proses pengajuan paspor dan perjalanan udara juga berpotensi mengalami perlambatan signifikan.

Namun, tidak semua fungsi pemerintah berhenti total. Layanan yang dianggap esensial untuk keselamatan publik atau memiliki sumber pendanaan terpisah akan tetap berjalan seperti biasa.

Beberapa contohnya adalah pembayaran tunjangan Jaminan Sosial dan Medicare, operasional militer, penegakan hukum federal, kontrol lalu lintas udara, dan Layanan Pos AS. Shutdown biasanya berakhir setelah Kongres meloloskan "resolusi berkelanjutan", yaitu RUU pendanaan jangka pendek untuk menjaga pemerintah tetap berjalan sementara negosiasi anggaran dilanjutkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us

Latest in News

See More

Dua Juta Pekerja Bandara Korsel Mogok Kerja, Kenapa?

03 Okt 2025, 06:10 WIBNews