Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Warga Gaza Terpaksa Minum Air Kotor saat Bantuan Diblokir

ilustrasi pengungsi Palestina (pixabay.com/hosnysalah)
Intinya sih...
  • Bantuan air minum berkurang sejak Israel menguasai perbatasan Rafah dengan Mesir.
  • 70% penduduk Gaza meminum air yang telah terkontaminasi, meningkatkan kasus hepatitis A dan diare.
  • Kurangnya pasokan bahan bakar dari penyeberangan Rafah mengakibatkan truk pengangkut air jarang masuk ke Gaza.

Jakarta, IDN Times - Sejak Israel menguasai perbatasan Rafah dengan Mesir pekan lalu, banyak penduduk Gaza tidak lagi dapat memperoleh air minum bersih. Jumlah bantuan yang diizinkan masuk ke wilayah tersebut juga makin sedikit.

PBB mengatakan, sedikitnya setengah dari fasilitas air dan sanitasi di Gaza telah rusak atau hancur, dan sekitar 70 persen penduduknya kini meminum air yang telah didekontaminasi.

Majed Jaber, seorang dokter berusia 25 tahun yang mengungsi dari Rafah ke zona aman Al Mawasi, mengunggah video perjuangannya untuk mencuci tangan di media sosial.

“Saya memegang panci yang terkontaminasi ini, menuangkan air yang terkontaminasi, dan memegangnya lagi. Sepertinya saya tidak pernah mencuci tangan,” kata Jaber dalam postingan tersebut.

Ia menambahkan bahwa kondisi ini menyebabkan kasus hepatitis A dan diare meningkat di kalangan masyarakat Gaza.

1. Truk pengangkut air jarang masuk ke Gaza karena kurangnya pasokan bahan bakar

Ali Abu Oda, warga Palestina yang juga mengungsi ke Al Mawasi dari Rafah, mengaku harus mengantri berjam-jam untuk mendapatkan air.

“Saya yakin airnya tidak bersih karena anak saya sering sakit,” ujarnya.

Ia mengatakan bahwa kurangnya pasokan bahan bakar dari penyeberangan Rafah mengakibatkan truk pengangkut air jarang masuk ke Gaza. Kini, warga sering mengandalkan gerobak keledai untuk mendistribusikan air.

“Meski begitu, jumlah yang datang tidak mencukupi dan tidak semua orang (yang mengantri) punya kesempatan untuk mengisinya,” kata Kari Thabet, yang kini tinggal di Deir Al Balah.

“Bahan bakar tersedia, tetapi kita menghadapi masalah pembuangan limbah yang tersebar luas dan tidak ada air untuk membersihkannya, yang menyebabkan penyebaran penyakit, terutama di kalangan anak-anak," tambahnya.

2. Krisis air juga melanda Gaza utara

Krisis air juga terjadi di Gaza utara. Ziad Mousa, yang bekerja untuk sebuah LSM yang memberikan dukungan psikologis kepada pengungsi, mengatakan bahwa warga di sana harus mengantri panjang dan berjalan jauh untuk mencapai tempat-tempat yang memiliki air bersih.

“Pasar-pasar mulai hidup beberapa minggu lalu, namun kembali mati karena hanya sedikit barang yang masuk melalui perbatasan Karam Abu Salem," kata pria berusia 27 tahun itu kepada The National.

Penyeberangan perbatasan Karam Abu Salem telah ditutup sejak 5 Mei, dan hanya segelintir truk yang membawa tepung dan gula yang diizinkan lewat. Mousa mengatakan bahwa bahan-bahan pokok seperti makanan kaleng, ayam, nasi dan sayuran telah menjadi langka atau bahkan tidak tersedia.

“Orang-orang tidak meninggal karena kelaparan, melainkan karena kekurangan nutrisi yang memperparah penyakit. Ini adalah proses sistematis yang menghalangi dan memutus akses masyarakat terhadap apa yang mereka butuhkan. Dan pada akhirnya, siapa pun yang berperang, rakyatlah yang menjadi korban," kata Mousa. 

3. Kepala bantuan PBB peringatkan tentang risiko kelaparan di Gaza

Kepala bantuan PBB pada Kamis (16/5/2024) memperingatkan bahwa kelaparan akan terjadi di Gaza akibat menipisnya persediaan makanan. Ia menambahkan bahwa perencanaan dan pendistribusian bantuan hampir mustahil dilakukan sejak dimulainya operasi militer Israel di Rafah.

“Stok makanan yang tersedia di Gaza selatan sudah habis. Saya pikir kita sedang membicarakan hampir tidak ada lagi yang tersisa. Jadi operasi kemanusiaan terhenti, benar-benar terhenti. Kami tidak bisa melakukan apa yang ingin kami lakukan," kata Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Martin Griffiths, kepada Reuters dalam sebuah wawancara di Jenewa.

Ia sebelumnya telah memperingatkan bahwa operasi militer di Rafah akan berakibat fatal dan menempatkan operasi kemanusiaan PBB di ambang kematian.

“Apa yang menurut saya sangat mendalam, sangat tragis adalah bahwa semua prediksi yang dibuat oleh banyak orang, termasuk kami, dan banyak negara anggota serta masyarakat mengenai konsekuensi dari operasi di Rafah menjadi kenyataan,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa orang-orang yang pindah ke daerah seperti Al-Mawasi tidak mempunyai makanan atau air, dan tenda pun habis.

"Apa harapan bagi orang-orang ini? Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us