Hari Berkabung atas Kembalinya Trump

Meskipun tidak berharap terlalu besar, tetapi membaca berita tentang kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden AS, tetap saja menyebabkan saya menderita syok berat, bak tersambar petir rasanya. Saya hampir menjerit histeris membaca berita tersebut, dan hanya bisa bergumam sendiri, "Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?"
Saya berdoa rosario secara khusus untuk kemenangan Kamala Harris- Tim Walz, bersamaan dengan intensi untuk abang saya satu-satunya yang masih ada, Prof M Soenardi Djiwandono, di Malang, yang akhir-akhir ini keluar – masuk ICU di RS Malang tempat kakak saya dengan keluarganya tinggal. Isteri sedang di luar kota waktu saya hubungi mengenai hal tersebut. Dia hanya membalas, “Sangat menyedihkan, bikin depresi.”
Benar sekali, berita ini sangat menyedihkan dan menyebabkan depresi. Betapa tidak, sebagai orang yang merasa dekat dengan masyarakat Amerika, seluruh pendidikan pasca sarjana diperoleh dari berbagai universitas di negeri tersebut, University of Wisconsin, Madison; Rice University, Huston, Texas; Boston University, Boston, Massachusetts, beberapa tahun kerja di Harvard University, sering ke negeri tersebut waktu masih menjadi pejabat maupun untuk liburan, dengan segala kenangan lama yang menyenangkan, merasa mengenal kehidupan politik negeri ini, tetap saja berita ini bagaikan sambaran petir yang mematikan.
Saya banyak menulis kolom tentang kehidupan dan perkembangan politik, pertahanan, dan ekonomi- keuangan AS, biasanya dengan nada positif dan harapan, rasanya tidak kuat membaca berita yang menyedihkan ini, dan karena itu pilihan judul dari tulisan ini. Maaf buat yang tidak sependapat, tetapi saya jujur pada diri saya, ini memang menyedihkan.
Mau ditengok Kembali buat saya gambarannya sama, saya tidak habis pikir orang Amerika
yang selalu merasa paling rasional di dunia kok bisa-bisanya mendudukkan kembali orang
yang buat saya tidak berkarakter, tidak bermoral, selalu bohong, meremehkan orang lain,
termasuk lawan politiknya, dan siapapun yang tidak sependapat dengan dia.
Orang yang sudah mempunyai catatan buruk waktu lima tahun menjadi presiden AS di tahun 2016-2020, ekonomi mundur, pengangguran meningkat, inflasi sama saja. Waktu pandemi COVID-19 tidak melakukan langkah-langkah penyelamatan dan akibatnya puluhan ribu warganya meninggal karena hal yang tidak perlu. Lebih aneh lagi, dalam buku Bob Woodward yang baru, pada waktu itu terjadi, dia justru mengirim peralatan test COVID buat temannya, Presiden Vladimir Putin, tidak habis pikir saya.
Dalam kampanye pemilihan presiden selama ini di sejumlah lokasi pada negara-negara
bagian yang dikenal sebagai swing states atau battle ground states, pidatonya tidak pernah ada isinya. Ia hanya mencaci maki lawannya, mengancam akan mengusir imigran secara masal ke Venezuela, akan mengganti konstitusi dan menjadi diktator. Yang menakutkan bahwa dia berjanji akan memberi potongan pajak buat orang kaya yang menurut perhitungan akan membebani golongan menengah sebanyak US$4.000 per tahun per keluarga.
Ada lagi yang menjijikkan, kalau tidak salah di suatu kota di Virginia, karena kesal mikrofon tidak berfungsi baik, dia bilang tidak akan mau bayar kontraknya. Dan, yang paling menjijikkan, ia mendemonstrasikan bagaimana melakukan oral sex dengan memegang mikrofon. Ini dilakukan di depan publik, banyak ibu-ibu dan anak-anak di bawah umur, herannya lagi semua bertepuk tangan dan berteriak kegiranga.
Buat manusia biasa saja kita bilang betapa biadabnya, apalagi dilakukan mantan presiden yang sedang berkampanye untuk terpilih kembali. Menulis tentang ini saja saya malu rasanya, tapi ini untuk menggambarkan bahwa orang ini tidak pantas jadi presiden apalagi negara adikuasa yang katanya paling demokratis. Ampun aku. Saya merasa risih menulis semuanya ini, teruama buat teman-teman saya orang Amerika yang cukup banyak, maafkan saya. Tetapi ini pertanggungjawaban saya mengapa saya menggunakan judul yang aneh buat terpilihnya seseorang menjadi presiden.
Sekarang rasanya sulit mengatakan bahwa Amerika Serikat adalah ‘the beacon of
democracy’ . Mungkin juga kata-kata dalam national anthemnya mengganggu, ‘the land of the free, and the home of the brave.’ Negara yang dikenal sebagai ’melting pot’ karena didirikan oleh bermacam etnis yang semuanya imigran untuk mendirikan Republik, sekarang mau mengusir imigran secara besar-besaran, bak orang lupa daratan saja.
Ya, senang atau tidak, inilah Presiden AS ke-47, Donald J. Trump Jr. Diberitakan bahwa para pimpinan negara dan pemerintahan berebut mengucapkan selamat kepada presiden terpilih Trump. Kalau aku presiden, aku akan melakukannya yang terakhir saja, ha ha ha. Tidak bikin musuh, karena saya ingat pesan Presiden Prabowo, seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak. Jadi saya tidak bilang mau memusuhi AS karena presiden barunya lho.
Yang penting sekarang buat kita, apa yang perlu dikerjakan atau dipersiapkan untuk berjaga dan menjaga semua kemungkinan yang bisa timbul dalam pemerintahan Presiden Trump. Kalau dia melakukan yang dijanjikan sebelumnya, memasang tarif tinggi semua barang impor dari negara-negara lain, bersedia perang dagang, kita akan terkena dampak negatifnya juga. Selama ini saya bilang tidak usah tergesa-gesa masuk BRICS, tetapi rasanya sebaiknya kita masuk saja, minimal untuk menjaga hubungan dagang dengan Rusia.
Kita membutuhkan impor energi yang bisa didatangkan dari negara ini secara lebih gampang karena dalam satu kelompok. Demikian pula, sekiranya masih memerlukan impor beras, India tidak bisa menolak seperti beberapa waktu lalu. Penggunaan pembayaran perdagangan dengan uang nasional masing-masing kita perkokoh, sebagaimana selama ini juga kita lakukan di antara negara-negara anggota ASEAN, dengan RRC, dengan Jepang dan Korea Selatan.
Ini yang bisa dilakukan, dengan tetap waspada melihat perkembangan baru dan selalu siap sedia bila harus melakukan penyesuaian, jangan sampai terlambat. Ini kebijakan eklektik yang saya kira ampuh di dalam dunia yang ditandai dengan besarnya risiko dan ketidakpastian.
Sebagian kolega mengatakan yang saya kira tepat, tampaknya Amerika masih belum siap
atau rela menerima kepemimpinan seorang perempuan menjadi presiden, commander in
chief mereka. Mantan Ibu Negara dan Menlu Hillary Rodham Clinton di tahun 2016 lalu mengingatkan kita, bahwa sebagai perempuan dia merasakan bahwa glass ceiling yang harus dipecahkan untuk bisa ke luar begitu kuatnya. Beliau telah mulai membuat retaknya glass ceiling tadi di tahun tersebut, meskipun kalah dalam pengumpulan electoral college votes, Hilary menang dalam popular votes terhadap kandidat yang terpilih, Donal J. Trump.
Di era modern ini selain Hilary Clinton, Al Gore juga mempunyai pengalaman serupa waktu yang terpilih Presiden George W. Bush, putera George H. Bush. Kalau ketentuan di AS serupa dengan Indonesia dan negara lain, baik Hilary Clinton maupun Al Gore bisa jadi presiden.
Ini pula yang menyebabkan seorang senator dari Massachusetts, Elizabeth Warren, terus-terusan mendorong agar AS menggunakan ketentuan tersebut. Sampai sekarang belum berhasil sehingga akibatnya hasil pemilihan sering kurang diterima semua karena sistem electoral college yang cukup kompleks itu. Nah, buat Kamala Harris, glass ceiling itu lebih susah lagi untuk ditembus, karena selain perempuan Harris juga orang kulit berwarna. Ini selalu ditekankan Trump dalam kampanye, dengan selalu mengatakan Kamala sebagai perempuan Indian, tetapi akhir-akhir ini mengaku sebagai Afro-American atau menjadi black. Enak saja Pak Donald ini, Kamala ibunya keturunan India, dan bapaknya orang hitan dari Jamaica, dia bukan ngaku hitam, dia hitam, titik.
Saya ingin menutup ulasan saya dengan mengajak kita bersama mensyukuri karunia dan
rahmat Tuhan, bahwa kita tidak pernah mempermasalahkan peran perempuan untuk
memimpin negara kita menjadi presiden, Megawati adalah presiden RI kelima. Di Asia, kita mengenai Indira Gandhi sebagai Perdana Menteri Perempuan India, Corazon
Aquino sebagai Presiden Filipina kesebelas kalau tidak salah, Han Seong Sook sebagai
Perdana Menteri Korea Selatan, dan sekarang Paetongtarn Shinawatra sebagai Perdana
Menteri Thailand. Hebat kan? (Dradjad, 07/11/2024).
Guru Besar Ekonomi Emeritus, FEBUI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore.