Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Memahami Arti Sistem Electroral College yang Diterapkan di AS

Capres dari Partai Republik, Donald Trump berkampanye dilindungi kaca antipeluru. (dok. X @RealDonaldTrump)

Amerika Serikat tanggal 4 Nopember 2024 akan menyelenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden untuk menggantikan pejabat saat ini, Joe Biden dan Kamala Harris. Pemilihan presiden dan wakil presiden di AS didasarkan atas sistem demokrasi yang dikenal dengan sebutan Electoral College. Sistem ini berbeda dengan pemilihan berdasar atas penjumlahan popular votes yang dikumpulkan masing-masing calon.

Bagaimana jumlah seluruh electoral votes itu ditentukan? Jumlah keseluruhannya
ditentukan berdasarkan jumlah kursi anggota kongres di semua negara bagian yang
besarnya untuk masing-masing negara bagian disesuaikan dengan jumlah penduduk di masing-masing negara bagian, dan dua kursi Senator untuk semua negara bagian,
termasuk Washington DC sebagai Ibu Kota Negara.

Atas dasar ini ada sejumlah 435 electors (orang yang memenuhi syarat untuk memberikan suara dalam pemilihan umum) dari jumlah anggota kongres dan seratus senator, jadi ada 535 electors. Karena itu untuk memenangkan kursi presiden calon harus dapat mengumpulkan minimal 270 electors votes. Penghitungan suara buat electors ditentukan untuk kebanyakan negara bagian, kecuali Maine dan Nebraska, secara winner takes all,. Artinya siapa yang menang mendapatkan seluruh suara tersebut, dan yang kalah tidak memperolehnya.

Salah satu kemungkinan yang dapat terjadi sebagai konsekuensi dari sistem ini dan memang beberapa kali terjadi dalam sejarah Pilpres di AS adalah pemenang electoral votes yang kemudian dinyatakan terpilih sebagai presiden, mungkin saja tidak memenangkan popular votes. Dalam abad modern, ini terjadi dengan Presiden George D. Bush (putra sulung Presiden George W. Bush) dari Partai Republik, dan Presiden AS ke-43, di mana Al Gore dari Partai Demokrat lebih banyak mengumpulkan popular votes.

Kemudian juga dengan Presiden Donald J. Trump, dari Partai Republik menjadi Presiden AS ke 45, yang dalam pengumpulan popular votes kalah dengan Hilary R. Clinton, calon Partai Demokrat. Dan sebelum keduanya, ada tiga pendahulu yang serupa, yaitu John Q. Adams, Benjamin Harrison, and Rutherford Hayes.

Kurang jelas bagaimana cara menentukan jumlah electoral college tersebut. Akan tetapi ada sumber yang menyebutkan bahwa dalam penghitungan, jumlah tersebut dipertimbangkan berdasarkan kenyataan adanya banyak tokoh-tokoh partai politik, utamanya di daerah selatan, yang masih memiliki banyak budak. Suatu saat  hak pilih mereka mulai diperhitungkan tetapi tidak secara utuh kalau tidak salah.

Yang jelas ini menimbulkan komplikasi yang memberi kesan kurang adil, tetapi ternyata bisa bercokol lebih dari dua ratus empat puluh tahun sampai sekarang. Dalam era modern ini, salah seorang yang gigih berpendapat untuk mengatakan bahwa sistem pemilihan electoral itu kurang merefleksikan keadilan, karena bukan man man one vote, adalah Senator Elizabeth Warren dari Massachusetts, yang juga seorang guru besar di Harvard Law School.

Tetapi sampai sekarang upaya ini belum memberikan hasil untuk adanya perubahan. Dalam aspek ini serta dalam hal gender dan warna kulit sampai kini memang masih ada masalah yang menuntut penyelesaian. Karena itu, kalau Wapres Kamala Harris nanti terpilih, beliau akan menjadi perempuan pertama dan orang berwarna kedua, setelah Barrack Obama yang terpilih untuk menduduki kursi President AS. Hillary R. Clinton di tahun 2016 hampir mencapai hal ini, tetapi dikalahkan oleh Mister Trump, meskipun beliau memenangkan popular votes.

Artinya kalau Kamala Harris juga gagal di AS masih ada masalah gender di mana perempuan belum bisa menduduki kursi kepresidenan. Tentu ini berbeda dengan di Asia, di mana Corazone Aquino menjadi Presiden ke 11 di Republic of the Philippines, Megawati Soekarnoputri  Presiden RI kelima, Indira Gandhi, PM India kedua, Paetongtarn Shinawatra, PM Thailand ke-31. Nampaknya di Asia kesetaraan perempuan dengan laki-laki sudah lama diakui. Ini suatu kenyataan yang tak terbantahkan.

Sebenarnya aneh juga buat pertumbuhan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi
kebebasan dan hak, tetapi rupanya dalam kenyataan perempuan masih sulit menjadi
Presiden di AS. Tidak demikian halnya di Inggris dan di negara-negara Uni Eropa pada umumnya, sebagaimana terlihat dari PM Margaret Thatcher dan Liz Truss, juga di Denmark, Estonia, dan Prancis, semua pernah mempunyai PM perempuan. Bagaimana pun tampak bahwa di Asia sudah lebih maju daripada di AS dalam aspek ini, suatu hal yang membanggakan kita semua.

Kembali kepada capres Partai Demokrat Kamala Harris, kalau dilihat dari perkembangan
sampai kini, termasuk pendapat umum tentang debat Capres, banyaknya tokoh Partai
Republik mengatakan akan memilih capres Partai Demokrat, sedangkan yang sebaliknya hanya satu dua. Dan, pernilaian terhadap Capres Partai Republik yang semakin tidak popular dan terancam hukuman penjara, rasanya akan sangat aneh kalau tiba-tiba hasilnya nanti Trump dinyatakan terpilih kembali. Semoga saja bukan itu yang terjadi, tetapi kali ini buat Kamala Harris kalau menang, beliau akan berhasil memecahkan glass ceiling paling tinggi dan mengalahkan Trump untuk menjadi presiden Amerika Serikat perempuan pertama, dan AS mengikuti apa yang sudah lebih dahulu di berbagai negara Asia termasuk Indonesia. Semoga. (Dradjad, 27/09/2024)

Guru Besar Ekonomi Emeritus FEBUI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
J. S. Djiwandono
EditorJ. S. Djiwandono
Follow Us