Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Pancasila Tinggal Cerita?

Ilustrasi Garuda Pancasila (unsplash.com/Mufid Majnun)
Intinya sih...
  • Pancasila terjepit antara idealisme dan realitas kekinian di tengah arus globalisasi dan pragmatisme.
  • Etika politik berbasis Pancasila absen dalam praktik kekuasaan, menyebabkan ketidakadilan sosial.
  • Perubahan harus dimulai dari semua lapisan masyarakat dengan membangun kesadaran kolektif akan pentingnya integritas.

Sejak kecil, generasi Indonesia diajari bahwa Pancasila adalah jiwa bangsa. Namun di tengah hiruk-pikuk politik dan ketimpangan sosial, patut dipertanyakan: apakah ia masih hidup dalam tindakan, atau hanya tinggal menjadi cerita usang dalam buku pelajaran?

Di tengah arus globalisasi dan pragmatisme, Pancasila kerap terjepit antara idealisme dan realitas kekinian. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan seolah menjadi barang mewah yang sulit diwujudkan dalam kehidupan nyata. Padahal, sebagai falsafah hidup bangsa, Pancasila seharusnya menjadi kompas dalam menghadapi berbagai tantangan zaman, bukan sekadar simbol yang dipajang di dinding kelas atau kantor pemerintahan.

Sebagai generasi muda yang mencoba memahami realitas di luar kelas, kegelisahan kerap muncul ketika menyaksikan betapa dalam jurang antara retorika dan tindakan. Etika politik berbasis Pancasila, yang semestinya menjadi pijakan moral, justru absen dalam praktik kekuasaan. Keadilan sosial roh dari sila kelima ternyata hanya indah di atas kertas. Koruptor bebas berkeliaran, menikmati fasilitas mewah, sementara rakyat kecil dihukum berat untuk kesalahan sepele. Ini bukan sekadar analisis hukum, melainkan kegelisahan manusiawi atas ketidakadilan yang terang benderang.

Negara pun kerap absen ketika dibutuhkan. Jargon 'negara harus hadir untuk rakyat' hanya bergema saat momentum politik seperti pemilu atau ketika sorotan media mengintip. Kasus antrean gas elpiji 3 kilogram yang memicu warga sampai pingsan bukan sekadar persoalan logistik, melainkan cermin kegagalan etika politik. Ketika negara tak mampu menjamin kebutuhan dasar secara adil, di manakah hakikat Pancasila? DPR, yang seharusnya menjadi representasi rakyat, justru kerap membuat kebijakan tanpa partisipasi publik. Sistem peradilan pun memperlihatkan wajah buram: tegas pada yang lemah, tetapi lentur pada yang berkuasa.

Ironi juga terlihat dalam dunia pendidikan. Generasi muda didoktrin untuk mencintai tanah air, tetapi sistem pendidikan masih timpang. Biaya mahal, akses beasiswa terbatas, dan kesenjangan kota-desa yang menganga menjadi bukti bahwa komitmen negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa masih setengah hati. Bahkan dalam masyarakat sendiri, semangat gotong royong perlahan pudar. Lihatlah fenomena penjarahan saat terjadi kecelakaan atau kebakaran. Alih-alih membantu, yang muncul justru mentalitas 'rebutan rezeki' di atas penderitaan sesama. Di manakah semangat kemanusiaan yang menjadi inti sila kedua?

Namun, tidak semua masalah boleh dilimpahkan kepada pemerintah. Masyarakat pun turut bertanggung jawab. Korupsi kecil-kecilan, pungutan liar, membuang sampah sembarangan, hingga menyebar hoaks adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila. Tidak ada artinya menuntut keadilan negara jika ketidakadilan justru dipelihara dalam kehidupan sehari-hari.

Lantas, bagaimana mewujudkan Indonesia yang adil dan beradab? Perubahan harus dimulai dari semua lapisan masyarakat. Negara harus memimpin dengan keteladanan, sementara masyarakat perlu membangun kesadaran kolektif akan pentingnya integritas. Mulailah dari hal sederhana: menghargai hak orang lain, menolak menyebar kebencian, dan berani bersuara saat melihat ketidakadilan. Pendidikan karakter berbasis Pancasila harus diperkuat, bukan sekadar dihafalkan tetapi dihayati dan dipraktikkan. Generasi muda harus menjadi garda terdepan dalam mengawal nilai-nilai Pancasila, bukan dengan retorika kosong, melainkan dengan aksi nyata.

Pancasila terlalu berharga untuk sekadar menjadi mantra dalam upacara bendera. Nilai-nilainya harus hidup dalam tindakan nyata, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Tantangan memang besar, tetapi mustahil bukanlah pilihan. Dengan kesadaran kolektif dan komitmen bersama, Pancasila bisa kembali menjadi jiwa bangsa yang mengalir dalam denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan mungkin tidak instan, tetapi setiap langkah kecil yang kita ambil hari ini akan menentukan wajah Indonesia di masa depan.

Indonesia yang adil dan beradab hanya mungkin terwujud ketika semua elemen bangsa bergerak. Mulailah dari hal sederhana: menghargai hak orang lain, menolak menyebar kebencian, dan berani bersuara saat melihat ketidakadilan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us