[OPINI] Pemangkasan Birokrasi Hong Kong: Efisiensi atau Penghematan?

Langkah Biro Inovasi dan Teknologi Hong Kong atau Innovation, Technology and Industry Bureau (ITIB) memangkas jumlah staf hingga target 2.930 posisi pada akhir Maret tahun depan menjadi sorotan penting di tengah dinamika birokrasi Asia. Kebijakan ini, sebagaimana diberitakan Oriental Daily News edisi 1 Mei 2025, bukan sekadar upaya penghematan, melainkan strategi jangka panjang untuk menciptakan birokrasi yang lebih efisien dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Kebijakan pengurangan staf ini diambil setelah pemerintah Hong Kong menilai bahwa penambahan pegawai justru akan memperberat beban anggaran yang saat ini sudah sangat ketat. Di tengah situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, pemerintah setempat menolak usulan penambahan personil baru dan memilih fokus pada optimalisasi sumber daya manusia yang sudah ada.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, perbandingan yang relevan adalah pada tata kelola riset dan inovasi, khususnya di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). BRIN, sebagai lembaga superbody riset nasional, kini menghadapi tantangan serupa: pemangkasan anggaran dan dominasi belanja pegawai dalam struktur keuangannya. Tahun 2025, dari total anggaran BRIN sebesar Rp5,8 triliun, sebagian besar digunakan untuk gaji dan operasional, sementara hanya Rp2,01 triliun yang benar-benar dialokasikan untuk program riset dan inovasi, sebagaimana dilansir dari EMedia DPR RI.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan DPR RI dan masyarakat sains. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijaya, menegaskan bahwa pemotongan anggaran akan berdampak pada produktivitas riset nasional, sementara kualitas sumber daya manusia di BRIN masih perlu ditingkatkan. Anggota Komisi X, Anita Jacoba, bahkan menilai ekosistem riset nasional berpotensi terganggu jika anggaran lebih banyak terserap untuk operasional dan gaji ketimbang untuk program riset yang substansial. BRIN didorong untuk lebih transparan dalam menentukan prioritas program, serta memastikan anggaran benar-benar mendukung pengembangan peneliti dan inovasi yang berdampak.
Laporan OECD (2023) juga menegaskan bahwa negara dengan birokrasi ramping dan efisien cenderung memiliki tingkat kepercayaan publik yang lebih tinggi dan pelayanan yang lebih responsif. Efisiensi birokrasi, menurut OECD, bukan hanya soal memangkas jumlah pegawai, tetapi juga soal bagaimana pemerintah mampu memanfaatkan teknologi, meningkatkan kapasitas SDM, dan menata ulang struktur organisasi agar lebih lincah dalam menghadapi perubahan.
Menariknya, pemangkasan staf di Biro Inovasi dan Teknologi Hong Kong dilakukan justru di era digital yang menuntut kehadiran talenta baru di bidang teknologi. Namun, pemerintah Hong Kong percaya bahwa efisiensi bisa dicapai bukan dengan menambah pegawai, melainkan dengan mengoptimalkan yang sudah ada melalui pelatihan, digitalisasi, dan penataan ulang tugas serta fungsi.
Bagi Indonesia, kebijakan ini bisa menjadi inspirasi untuk melakukan audit menyeluruh terhadap struktur birokrasi di Kemendikbudristek dan BRIN. Pemerintah perlu menjawab siapa, di mana, dan berapa banyak tenaga riset, pengelola program, dan staf pendukung yang benar-benar dibutuhkan untuk mendorong inovasi dan pengembangan teknologi. Selain itu, pemanfaatan teknologi digital harus diakselerasi untuk mengurangi pekerjaan administratif yang selama ini menyerap banyak tenaga, namun tidak selalu berdampak signifikan pada kualitas riset dan layanan pendidikan.
Tentu saja, pemangkasan staf atau anggaran bukan solusi instan dan harus dilakukan secara bertahap dan terukur. Pemerintah dapat memilih strategi seperti pensiun dini, tidak mengganti pegawai yang pensiun, atau realokasi pegawai ke sektor yang lebih membutuhkan. Yang terpenting, setiap langkah harus dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM agar pelayanan publik dan riset tetap terjaga dan berkembang.
Pada akhirnya, efisiensi birokrasi adalah tentang menciptakan pemerintahan yang lebih responsif, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan. Langkah berani Hong Kong dalam memangkas birokrasi membuktikan bahwa keberanian mengambil keputusan sulit kadang justru menjadi kunci pelayanan publik yang maksimal. Indonesia sudah saatnya belajar dan beradaptasi, agar birokrasi kita, khususnya di bidang pendidikan dan riset, benar-benar menjadi pelayan rakyat dan penggerak inovasi, bukan sekadar beban anggaran.
---
Referensi:
- Oriental Daily News. (2025, 1 Mei). Biro Inovasi dan Teknologi Mengurangi Jumlah Staf, Menentang Penambahan Personil [創科局文職派局編制反增]. Oriental Daily News, halaman 11.
- Organisation for Economic Co-operation and Development. (2023). Government at a Glance 2023: Membangun Kepercayaan dan Memperkuat Demokrasi [Government at a Glance 2023: Building Trust and Reinforcing Democracy]. OECD Publishing.
- EMedia DPR RI. (2025, 6 Februari). Pemangkasan Anggaran BRIN Dikhawatirkan Berdampak ke Riset & Inovasi.