Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Terima Kasih Raisa, Berkatmu Media Sosial Kembali Seru!

instagram.com/raisa6690

Senin pagi, tanggal 22 Mei, pada kolom tranding topic Twitter, tersemat salah satu hashtag yang cukup mengundang tanya: #HariPatahHatiNasional. Alih-alih memperingati hari besar layaknya Kebangkitan Nasional atau Hari Ibu, para pengguna media sosial seolah tengah memperingati duka di waktu bersamaan. Penyebab patah hati massal ini ternyata satu orang yang sama: Raisa Andriana.

Pelantun lagu  "Kali Kedua" itu dikabarkan telah dilamar kekasihnya, Hamish Daud, pada Minggu malam (21/05). Bak seorang putri raja, kabar dilamarnya Raisa pun tersebar hampir ke seluruh penjuru negeri. Bahkan, para Generasi Millenial antusias mengikuti kabar terkini setelah mengetahuinya. Lebih antusias ketimbang saat kabar terkuaknya kasus mega korupsi e-KTP tersiar. Kira-kira yang sanggup mengimbangi gegap gempitanya warta ini hanyalah aksi hujat para pendukung Pilkada DKI.

Entah siapa yang memulainya, tapi hashtag #HariPatahHatiNasional kemudian dipenuhi dengan curhatan patah hati. Seolah hampir seluruh lelaki di negeri ini dibuat koyak hatinya atas dilamarnya Raisa. Ya walaupun sepertinya tak begitu menggemparkan bagi kaum perempuan. Sebab, di negeri ini Hamish Daud memang tak semenarik Lee Min-Ho atau Lee Dong Wook di mata mereka.

Pagi itu, atau bahkan hampir seharian, penulis hampir dibuat tergelak tanpa henti saat menelusuri postingan yang menyematkan #HariPatahHatiNasional di dalamnya. Hari itu timeline Twitter kembali berwarna setelah sempat ‘gelap’ di beberapa waktu sebelumnya. Beberapa postingan tersebut seperti:

@GubernurKW Senin banyak kerjaan, Tanggal Tua, Lebaran sebentar lagi, Masih Jomblo, Raisa Tunangan. Lengkap! #HariPatahHatiNasional

@riantyyzz_88 Anggap saja pertunangan yg terjadi antara Raisa dan Hamish adalah latihan kesabaran menuju bulan suci Ramadhan. #HariPatahHatiNasional

@RuridaJihandari Semoga ga ada aksi 1000lilin dan demo 4 hari berturut-turut yah hanya karena raisa dilamar wahahahaa... #HariPatahHatiNasional

@buyung_f  Belajar dari Vinales, sebelum menyentuh garis finis msh bs menikung. Ini peringatan untuk Hamish supaya berhati-hati. #HariPatahHatiNasional

@APK2407 #HariPatahHatiNasional perjuangan telah usai, titipkan sj kepingan2 khayalan kita pada hamish. Kalau dia gagal bahagiakan raisa, kita kudeta.

Postingan yang menarik dan mengundang tawa. Bahkan saat di jam istirahat penulis kembali menelusuri hashtag #HariPatahHatiNasional demi mendapatkan hiburan dan merelaksasi otak yang jenuh karena bekerja. Untuk kali ini rasanya fungsi media sosial Twitter kembali ke tujuan dibuatnya: tempat hiburan sekaligus berinteraksi. Selain juga tempat berbagi informasi, tentu saja.

Tapi sebetulnya media sosial seperti Twitter sempat kehilangan sisi asyiknya di negeri ini. Tak hanya Twitter, media sosial lain seperti Facebook dan Instagram pun benar-benar mengganggu dan terlihat keruh untuk beberapa waktu. Bahkan mungkin sampai saat ini hal itu masih terjadi. Media sosial menjelma arena debat terbuka, tempat saling menghujat dan saling menjatuhkan.

Media sosial di negeri ini sudah mulai kehilangan ‘kewarasannya’ dan keseruannya semenjak Pemilu Presiden 2014 akan bergulir. Itu adalah saat-saat akun-akun anonim penyebar fitnah, provokator dan hoax mulai terlahir dengan kedok akun informatif yang belum disadari para Warganet.

Dan parahnya, saat itu hampir sebagian besar pengguna media sosial belum menjadi sosok yang cerdas. Sehingga dengan mudahnya mereka menerima dan menyerap berita palsu hingga menyebarkannya begitu saja tanpa mencari tahu kebenarannya lebih dulu. Alhasil banyak keriuhan yang terjadi. Debat kusir yang pangkalnya tak jelas dan tanpa penyelesaian kerap terjadi. Caci dan maki pun sudah jadi hal yang lumrah. Pengguna media sosial menjelma beringas bagai kaum Barbar. Sesama teman pun bisa saling memaki di media sosial demi mempertahankan argumen yang dianggap paling benar.

Penulis ingat sebuah akun anonim yang pertama kali lahir sebagai penyebar berita bohong dan penebar kebencian di Twitter, yaitu @TrioMacan2000. Barangkali kalian juga masih ingat bagaimana akun ini begitu provokatifnya sebab lebih banyak menyebarkan kabar fiktif daripada faktanya. Dan gilanya, akun anonim itu berhasil memiliki puluhan ribu followers.

Pada akhir 2014 admin akun @TrioMacan2000 pun akhirnya digeruduk Polisi dengan kasus pemerasan. Namun tertangkapnya admin @TrioMacan2000 tak berarti dapat membuat media sosial kembali kondusif dan terhindar dari penyebaran berita fiktif dan provokatif. Justru semakin ke sini tanpa disadari satu per satu akun-akun anonim bermunculan dengan berbagai nama yang kadang kala tak jelas dan terdengar aneh.

Tanpa disadari akun-akun tersebut menyaru sebagai akun berita.

Tak tanggung-tanggung, akun-akun ini bahkan memiliki sebuah portal berita yang aktif. Seolah portal berita itu diciptakan demi meyakinkan bahwa mereka netral dan tak memihak. Padahal mereka dapat dengan mudah membela siapa pun yang membayarnya dan menghajar habis-habisan siapa pun sesuai permintaan.

Sudah banyak public figure yang menjadi korban berita hoax akun-akun anonim ini. Terakhir penulis sempat mendapati klarifikasi Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang sempat menjadi korban akun-akun anonim ini. Silakan lihat klarifikasi Ridwan Kamil di akun Instagramnya.

Penulis berpendapat bahwa sudah seharusnya kita sebagai pengguna media sosial dapat lebih bijak dan lebih bisa memilih akun mana saja yang perlu kita follow. Lebih baik tidak usah mem-follow akun-akun anonim berkedok portal berita yang bahkan beritanya selalu bersifat provokatif, menyulut emosi dan mengadu domba.

Penulis sendiri kadang gerah saat setiap kali mendapati ada teman yang me-retweet, memberi like atau membagikan sebuah postingan yang berasal dari akun anonim berkedok portal berita itu. Postingan yang kebenarannya pun masih diragukan dan jelas-jelas bersifat provokatif. Ingin rasanya saat itu penulis mengirimkan pesan, “Bro, jangan asal percaya. Isi beritanya gak bisa dipertanggungjawabkan”, tapi hati ini selalu berkata ‘jangan’. Karena penulis pernah mendengar bahwa menghindari perdebatan itu jauh lebih baik daripada berdebat tanpa makna.

Tapi setidaknya, mudah-mudahan, dari tulisan ini banyak pembaca yang bisa terbuka mata hati dan pikirannya agar tidak perlu lagi mengikuti akun-akun anonim seperti itu. Terutama untuk Generasi Millenial sebab generasi ini yang paling mudah tersulut emosinya. Generasi yang masih rentan dicuci isi kepalanya. Termasuk penulis sendiri. Karena itu penulis sangat-sangat berhati-hati saat mendapati sebuah informasi atau berita. Tak ingin langsung percaya.

Bukankah sangat menyebalkan bila setiap kali membuka media sosial yang tersaji di timeline kita adalah teman-teman kita yang saling berdebat tanpa henti, saling memaki dan menghujat. Saling menebar kebencian. Kondisi yang benar-benar menyebalkan dan menjengkelkan. Bukankah kita sudah sangat bosan dengan hal-hal semacam itu?

Negeri kita ini memang negeri yang berdemokrasi. Tapi sepertinya kita sudah benar-benar keluar dari jalur demokrasi itu sendiri. Apa sih sebenarnya makna demokrasi? Definisi mudahnya yang dipahami oleh banyak orang demokrasi adalah bebas berpendapat dan berekspresi. Definisi itu tidak salah, tapi kita yang salah karena belum bisa berdemokrasi secara dewasa.

Kita lupa bahwa kebebasan berpendapat ini harus dibarengi dengan kelapangan hati agar bisa menerima pendapat yang berbeda. Kita terlalu bersemangat dan berapi-api menuturkan paradigma kita, pendapat kita, argumen kita kepada orang banyak atas suatu hal, tapi kita lupa bahwa semua itu tidak harus kita paksakan agar dapat diterima oleh mereka semua. Kita bebas berpendapat, tapi kita juga tidak bisa memaksakan orang lain menerima pendapat kita. Kita bebas berpendapat, tapi harus dibarengi dengan berbagai fakta dan landasan kuat.

Bagi penulis, media sosial bisa menjadi tempat efektif mencurahkan isi kepala agar dapat dibaca oleh orang banyak. Tapi pergunakanlah dengan bijak. Tak perlu berdebat yang berkepanjangan di sana sebab tidak akan ada habisnya. Tidak akan ada ujung dan penyelesaiannya.

Pada intinya, penulis hanya ingin agar pengguna media sosial bisa kembali mendapatkan keseruan dan asyiknya bermain media sosial sebagaimana di awal media sosial booming. Kita berbagi inspirasi dan saling berinteraksi yang tak jarang mengundang tawa. Merajut silaturahim yang lama tak tersambung. Ah... penulis rindu masa-masa media sosial seperti itu. Apa kalian tak rindu?

Ah penulis hampir lupa, supaya tulisan ini sesuai dengan judulnya, secara personal penulis ingin mengucapkan:

Terima kasih kepada Raisa. Terima kasih atas waktu kebersamaannya selama ini, meski pada akhirnya kita tak bisa saling bersatu. #HariPatahHatiNasional

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Rahardian Shandy Ekohandito
EditorRahardian Shandy Ekohandito
Follow Us