Salah Paham Tafsir One China Principle dengan One China Policy

Artikel ini merupakan opini dari John Chen selaku Representative Taipei Economic and Trade Office (TETO) di Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, China berulang kali salah menafsirkan United Nations General Assembly Resolution 2758 dan secara tidak tepat mengaitkan dengan One China Principle. Tujuannya tidak hanya untuk membatasi dan mengecualikan Taiwan dari partisipasi dalam organisasi internasional, tetapi juga menggunakan resolusi tersebut sebagai senjata dan mengglobalkan One China Principle untuk memaksa negara lain menerima klaim politik, merusak tatanan internasional, serta membangun dasar hukum menggunakan kekerasan untuk menyerang Taiwan di masa depan.
Pada 29 April 2024, Mark Baxter Lambert, Deputi Asisten Sekretaris Biro Asia Timur dan Pasifik Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), menjelaskan empat poin posisi AS terhadap United Nations General Assembly Resolution 2758 di German Marshall Fund, sebuah lembaga think-tank di Washington, D.C., yaitu resolusi tersebut tidak mendukung, tidak setara, dan tidak mencerminkan konsensus China terhadap One China Principle; tidak mempengaruhi keputusan berdaulat yang dibuat oleh berbagai negara mengenai hubungan dengan Taiwan; tidak merupakan posisi resmi PBB mengenai status politik Taiwan; dan tidak mengecualikan partisipasi Taiwan dalam sistem PBB dan organisasi multilateral lainnya.
United Nations General Assembly Resolution 2758 hanya menentukan atribusi perwakilan China di PBB. Taiwan tidak disebutkan dalam keseluruhan teks dan tidak mengakui Taiwan sebagai bagian dari Republik Rakyat China, apalagi mengesahkan Republik Rakyat China untuk mewakili Taiwan di PBB, sehingga resolusi tersebut tidak ada hubungan dengan Taiwan.
China terus memperluas kesalahan tafsir United Nations General Assembly Resolution 2758 untuk menekan partisipasi Taiwan dalam berbagai forum internasional dan telah keliru mengklaim dalam berbagai kesempatan bahwa resolusi tersebut merupakan dasar hukum kedaulatan Beijing atas Taiwan. Pernyataan tersebut sepenuhnya bertentangan dengan fakta.
Saat ini, banyak negara mengkritik China karena sengaja memutarbalikkan interpretasi United Nations General Assembly Resolution 2758. Sebagai contoh pada 2021, Rick Waters yang saat itu menjabat sebagai Deputi Asisten Sekretaris, Biro Asia Timur dan Pasifik, Departemen Luar Negeri AS, mengkritik China karena salah mengutip United Nations General Assembly Resolution 2758 dan menekan PBB untuk mencegah partisipasi Taiwan.
Kemudian, pada Juli 2023, Dewan Perwakilan Rakyat AS mengesahkan undang-undang “Taiwan International Solidarity Act” dan dengan jelas menyatakan bahwa United Nations General Assembly Resolution 2758 hanya menangani masalah keterwakilan China dan tidak melibatkan Taiwan.
Pada Januari 2024, setelah pemilu Taiwan, Laura Rosenberger selaku Ketua American Institute in Taiwan, ketika mengunjungi Taiwan juga menjelaskan bahwa resolusi Majelis Umum PBB yang disebutkan di atas tidak mengambil keputusan mengenai status Taiwan, tidak mengecualikan negara manapun dari membangun hubungan diplomatik dengan Taiwan, dan tidak mengecualikan Taiwan dari partisipasi dalam sistem PBB.
Selain itu, dalam laporan “EU-China Relations” yang disahkan pada Desember 2023, Parlemen Eropa untuk pertama kalinya menentang distorsi berkelanjutan China terhadap United Nations General Assembly Resolution 2758. Pada laporan implementasi tahunan Uni Eropa “Common Foreign and Security Policy” yang disahkan Februari 2024, ditegaskan bahwa baik Taiwan maupun China tidak di bawah satu sama lain dan hanya pemerintah Taiwan yang dipilih secara demokratis yang dapat mewakili rakyat Taiwan secara internasional.
Republik China (Taiwan) adalah negara yang berdaulat dan merdeka dan tidak berafiliasi dengan Republik Rakyat China. Hanya pemerintah Taiwan yang dipilih secara demokratis yang dapat mewakili 23,5 juta penduduk Taiwan secara internasional. Republik Rakyat China tidak pernah memerintah Taiwan dan Taiwan jelas bukan bagian dari Republik Rakyat Tiongkok. Hal ini merupakan status quo Selat Taiwan dan juga merupakan fakta objektif yang diakui secara internasional. Menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain dan berpartisipasi dalam organisasi internasional adalah hak sah seluruh rakyat Taiwan, dan Republik Rakyat China tidak berhak mencampuri atau membatasi mereka.
China secara keliru mengklaim bahwa 183 negara di seluruh dunia telah menjalin hubungan diplomatik dengan China berdasarkan One China Principle, namun kenyataannya hanya 57 negara yang dengan jelas menyatakan bahwa mereka mengadopsi One China Principle, dan mayoritas negara besar seperti Indonesia dan Amerika Serikat mengadopsi One China Policy mereka sendiri. Fakta ini sepenuhnya membuktikan bahwa apa yang disebut One China Principle oleh China sama sekali bukan konsensus umum masyarakat internasional, apalagi menjadi norma dasar hubungan internasional atau hukum kebiasaan internasional.
Dalam beberapa tahun terakhir, China secara sepihak terus mengubah status quo di Selat Taiwan melalui ancaman militer, disinformasi, strategi zona abu-abu, pemaksaan ekonomi, dan menghalangi partisipasi internasional Taiwan. Hal ini telah merusak perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan serta keamanan dan kemakmuran regional. Contoh spesifik dari metode politik China untuk merusak perdamaian di Selat Taiwan yaitu: setelah Presiden Tsai menjabat pada 2016, China secara sepihak memutus mekanisme dialog dan komunikasi yang dibangun oleh kedua pihak di Selat Taiwan sejak 1993, serta menuntut Taiwan untuk menerima The 1992 Consensus on One China Principal dan sepenuhnya menekan peluang interaksi lintas Selat.
Pada 2020, China secara sepihak menyatakan bahwa Selat Taiwan dan perairan 10 mil di lepas pantai timur Taiwan akan ditetapkan sebagai laut teritorial China, dan melakukan intersepsi berbahaya terhadap kapal perang AS dan Kanada yang melintasi Selat Taiwan dalam upaya memperkecil Selat Taiwan.
Pada 2024, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Taiwan, China mengumumkan pembatalan rute penerbangan M503 dari utara ke selatan dan tanpa izin mengaktifkan rute penerbangan W122 dan W123 dari barat ke timur yang meningkatkan risiko keselamatan penerbangan regional.
Selain itu, sejak 2016, pesawat militer China dari waktu ke waktu berpatroli di sekitar pulau dan melancarkan serangan gangguan di “Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ)” barat daya Taiwan, kapal militer China berpatroli di Selat Taiwan, dan pesawat serta kapal militer China menormalisasi penyeberangan Selat Taiwan dan garis median Selat Taiwan dengan maksud menguasai wilayah udara dan laut Selat Taiwan.
Dari 2022 hingga 2023, China mengambil kesempatan untuk melakukan latihan militer dan patroli kesiapan tempur di sekitar Taiwan dan meluncurkan rudal di atas pulau utama Taiwan. Jelas sekali bahwa China bermaksud menggunakan pemaksaan militer untuk mengubah status quo Selat Taiwan dan merusak perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.
China juga berupaya mengancam Taiwan melalui pemaksaan ekonomi, termasuk melakukan latihan militer dan patroli di Selat Taiwan dengan tujuan mengganggu transportasi laut dan udara Taiwan. Hal ini sangat mempengaruhi operasi normal penerbangan dan kapal Taiwan serta internasional, melanggar prosedur normal perdagangan internasional, dan secara sepihak menangguhkan ekspor produk pertanian dan perikanan Taiwan ke China.
Sebagai anggota komunitas internasional yang bertanggung jawab dan mempunyai kekuatan untuk kebaikan bersama, pemerintah Taiwan telah berulang kali menyatakan secara terbuka komitmen untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, China terus meningkatkan intimidasi militer dan pemaksaan ekonomi terhadap Taiwan dan negara-negara di kawasan yang sepenuhnya menunjukkan sifat otoriter China.
Perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan tidak hanya berdampak pada keamanan dan kemakmuran kawasan Indo-Pasifik, tetapi juga memainkan peran penting dalam rantai pasokan global. Secara khusus, Taiwan memiliki klaster industri semikonduktor terlengkap di dunia. Lebih dari 60 persen chip dan 92 persen chip tercanggih diproduksi di Taiwan. Jika China menginvasi Taiwan dengan paksa, maka akan menyebabkan kerugian ekonomi global yang sangat besar yaitu lebih dari 10 triliun dolar AS atau sekitar 10 persen dari total GDP global.
Skala kerugian akan lebih besar daripada perang Rusia-Ukraina dan pandemik COVID-19. Di sisi lain, Selat Taiwan adalah jalur penting transportasi laut dan udara global. Lebih dari 40 persen kargo maritim global melewati Selat Taiwan.
Setiap tahun, sekitar 2 juta penerbangan dan 72 juta penumpang lepas landas, mendarat dan transfer di Taipei Flight Information Region (Taipei FIR) yang berada di bawah tanggung jawab Taiwan.
Selain itu, jumlah warga negara asing yang saat ini tinggal di Taiwan melebihi 860 ribu orang, termasuk di antaranya sekitar 400 ribu warga negara Indonesia. Jika China menginvasi Taiwan dengan paksa, maka akan merugikan masyarakat di seluruh dunia, terutama akan sulit menjamin keselamatan 400 ribu warga negara Indonesia yang berada di Taiwan. Pada saat yang sama, hal ini akan berdampak serius pada arus transportasi laut dan udara serta perdagangan di kawasan Indo-Pasifik dan global.
Indonesia dan Taiwan adalah negara yang menghormati demokrasi, supremasi hukum, kebebasan dan hak asasi manusia. Sebagai anggota yang bertanggung jawab dalam demokrasi global, Taiwan telah lama berada di garis depan melawan perluasan otoritarianisme. Jika China menggunakan kekerasan terhadap Taiwan, maka tatanan internasional yang liberal dan demokratis berbasis aturan akan hancur, dan perdamaian serta stabilitas regional tidak akan terjaga.
Taiwan menyerukan kepada semua lapisan masyarakat di Indonesia dan komunitas internasional untuk menghadapi dan membantah dengan tegas upaya jahat China yang salah menafsirkan United Nations General Assembly Resolution 2758 dan menyamakan dengan One China Principal. Pada saat yang sama, menyatakan kepada China dengan tegas menentang upaya sepihak penghancuran status quo di Selat Taiwan dan menekankan pentingnya perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan bagi kepentingan nasional semua negara untuk mengekang ekspansi otoritarianisme China dan menjaga tatanan internasional yang berbasis aturan dan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.