Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Indonesia Perlu Belajar dari Kejamnya Kebijakan Anti-Islam Trump

Adam Bettcher/REUTERS/ANTARA FOTO
Adam Bettcher/REUTERS/ANTARA FOTO

Pada hari Jumat (27/1) waktu setempat, presiden AS Donald Trump mengesahkan perintah eksekutif berkaitan dengan imigrasi. Selama 120 hari, pemerintah AS menghentikan proses penerimaan pengungsi dan pemberian visa kepada warga dari tujuh negara Islam dunia: Suriah, Sudan, Libya, Yaman, Iran, Irak dan Somalia.

Mayoritas dari kita barangkali tak mengira akan melihat pemerintah AS akan menjadi sebuah pemerintahan yang begitu kejam secara terbuka, tanpa segan dan tanpa ampun. Empat alasan ini mendorong kita untuk mempelajari kebijakan imigrasi Trump agar tak turut terjebak dalam lubang kegelapan --  di mana rakyat AS kini tengah bergumul -- sebab tatanan politik dan sosial kita yang akan jadi taruhannya.

1. Indonesia harus memahami adanya taktik fear-mongering yang digunakan oleh sekelompok orang dengan agenda politik tertentu.

Default Image IDN
Default Image IDN

Sejak kampanye, Trump dikenal sebagai orang yang suka menggunakan taktik fear-mongering. Taktik ini mengeksploitasi rasa takut yang dimiliki oleh masyarakat. Pemegang kekuasaan punya modal dan pengaruh untuk kemudian menambahkan propaganda berisi ancaman-ancaman yang tak rasional agar rasa takut itu semakin membesar.

Taktik fear-mongering membuat hal yang sebenarnya adalah kecacatan berpikir menjadi sesuatu yang normal. Untuk mengimplementasikan taktik ini, kebohongan dan retorika politik menjadi senjata. Misalnya, Trump berkali-kali menuduh Tiongkok sebagai aktor utama yang membuat hilangnya lapangan pekerjaan di AS. Pertama, dia munafik. Kedua, dia salah.

Ia juga tanpa bukti menyebut para imigran Meksiko adalah pengedar narkoba dan tukang perkosa (ditantang oleh peneliti ini), sedangkan Islam serta Muslim Amerika dituduh melindungi teroris atau menjadi teroris itu sendiri (lagi-lagi, dibantah oleh data ini). Kebohongan-kebohongan ini diajukan untuk menakut-nakuti masyarakat dengan satu tujuan utama: mendapatkan suara mereka saat pemilu. Taktik fear-mongering tak terbatas hanya ada di AS. Orang-orang Indonesia dengan agenda politik tertentu pun rentan memakai taktik ini.

2. Untuk memahami bahwa fasisme yang menggaungkan rasisme dan xenophobia sedang populer.

Default Image IDN
Default Image IDN

Trump mengklaim bahwa kebijakan imigrasinya tak berhubungan dengan agama. Klaim ini bukan hanya tak akurat, tapi juga menunjukkan betapa tak manusiawinya presiden baru AS ini. Menurut data, tak ada warga negara AS yang terbunuh oleh pemegang paspor dari tujuh negara yang ada dalam daftar hitamnya. Justru sebanyak kurang lebih 2.500 warga AS menjadi korban dalam berbagai serangan teror yang dilakukan teroris-teroris dari negara Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab -- tiga negara yang tak ada dalam daftar Trump.

Kebijakannya untuk melarang masuknya semua warga negara dari tujuh negara tersebut ke AS (baik rakyat biasa atau pengungsi) tak lebih dari pertunjukan yang disuguhkan pemerintahan fasis di mana rasisme dan xenophobia adalah dua dari banyak karakteristik di dalamnya. Dalam fasisme, mengunggulkan suatu ras, bangsa dan komunitas tertentu adalah sebuah keniscayaan. Ketika pengungsi tak lagi berasal dari Eropa Timur yang terdiri dari ras kulit putih dan berubah menjadi kulit coklat dan hitam, rasisme mencuat. Trump sendiri pernah berkata akan lebih mengutamakan pengungsi Kristen.

Berdasarkan laporan Badan Pengungsi Dunia atau UNHCR, Suriah, Sudan dan Somalia merupakan negara asal pengungsi terbesar di dunia. Pemerintahan Trump menginstitusi rasisme dan xenophobia terhadap orang-orang yang berasal dari negara-negara tersebut. Trump berkali-kali menyuarakan propaganda nasionalis di mana rakyat AS didorong untuk selalu mencurigai, bahkan menolak, para imigran maupun pengungsi Muslim. 

3. Untuk memahami bahwa kurangnya pengetahuan dan empati kepada para pengungsi itu sangat berbahaya.

Default Image IDN
Default Image IDN

Tak jarang pengungsi dianggap sebagai beban belaka. Mereka dinilai tak pantas mendapatkan pertolongan negara. Ini adalah hasil dari kurangnya pengetahuan dan empati terhadap kesulitan yang dihadapi pengungsi. Seperti dalam Konvensi Pengungsi 1951, setiap negara wajib menerima pengungsi di mana mereka adalah orang-orang yang sudah terbukti (melalui serangkaian proses evaluasi) terancam hidupnya di negara asal mereka, entah karena ras, suku, agama, atau pendapat politik mereka.

Trump mengklaim selama ini proses penetapan status pengungsi di AS kurang ketat sehingga menurutnya para teroris masih bisa menyusup. Ini adalah tuduhan tak beralasan karena proses seleksi pengungsi AS adalah yang terketat di dunia. Ada 20 proses yang harus dilewati masing-masing pengungsi yang mendaftarkan klaimnya ke AS di mana tak ada kejelasan tentang berapa banyak waktu dibutuhkan untuk memenuhi semua proses tersebut. Kebijakan Trump justru melawan konstitusi negara itu sendiri di mana penolakan secara sepihak yang bisa mempengaruhi keselamatan seseorang itu dilarang.

4. Untuk memahami bahwa sikap rakyat sangat krusial dalam perang melawan pelanggaran HAM.

Default Image IDN
Default Image IDN

Ratusan ribu rakyat AS pun langsung tumpah ruah ke jalan-jalan dan bandara di berbagai kota untuk memprotes kebijakan Trump yang tak sesuai konstitusi dan melanggar HAM tersebut. Salah satu yang terbesar adalah di New York. Bahkan, puluhan ribu demonstran di Inggris pun turut mengecam langkah tersebut. Satu petisi yang meminta pemerintah Inggris untuk tak mengundang Trump sebagai tamu negara pun telah mendapat lebih dari satu juta tandatangan.

Tak hanya warga minoritas, tapi anggota masyarakat mayoritas pun dengan gigih memenuhi bandara dan jalan-jalan sembari mengangkat poster-poster yang berisi kecaman kepada pemerintahan Trump. Mereka menunjukkan bahwa rasa solidaritas itu masih ada. Meski tak ada kepastian apakah protes-protes ini mampu mempengaruhi Trump, tapi setidaknya para warga mayoritas bersedia membela kelompok minoritas yang nasibnya terancam setelah peresmian kebijakan imigrasi Jumat lalu.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rosa Folia
EditorRosa Folia
Follow Us