Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Barometer Reputasi dalam Reformasi Layanan Polri

IMG_20251217_162558.jpg
Personel kepolisian mengecek kelayakan kendaraan untuk operasional Nataru. (IDN Times/Fariz Fardianto)
Intinya sih...
  • Layanan Polisi 110 sebagai ujian komitmen institusi Polri untuk mendengarkan dan bertindak berdasarkan suara rakyat sipil.
  • Operator 110 sebagai pendengar aktif pertama dalam rantai pelayanan terhadap masyarakat dan penegakan hukum.
  • Layanan 110 sebagai barometer nyata kemajuan reformasi Polri dan pembangunan reputasi di era digital.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Tulisan ini bersifat opini, menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya, dan tidak mewakili IDN Times.

Di tengah hiruk-pikuk upaya membangun citra dan mengonsolidasi reputasi pasca reformasi, terdapat satu simpul komunikasi yang justru menguji kredibilitas Kepolisian Republik Indonesia (Polri) secara paling mendasar, yaitu: Layanan Polisi 110.

Nomor darurat ini bukan sekadar saluran telepon, ia adalah telinga publik yang dimiliki oleh Polri dan ujian nyata atas komitmen institusi untuk tidak hanya menyampaikan pesan kantibmas, tetapi lebih krusial lagi, untuk mendengarkan dan bertindak berdasarkan suara rakyat sipil. Proses dari panggilan masuk hingga respons di lapangan adalah perwujudan konkret dari sebuah teori komunikasi yang sering diabaikan dalam birokrasi. Bahwa komunikasi yang efektif adalah siklus organik antara voice (suara) dan meaningful listening (mendengarkan dengan penuh perhatian dan sepenuh hati), bukan sekadar transmisi instruksi satu arah.

Pertanyaan kritisnya adalah, dalam arus deras narasi pencitraan dan upaya reformasi struktural, apakah Layanan Polisi 110 masih memegang teguh fungsi utamanya sebagai penghubung yang responsif antara keprihatinan masyarakat dan aksi nyata penegak hukum? Ataukah ia berisiko tenggelam menjadi simbol belaka, sebuah nomor di pinggir jalan yang lebih banyak didengungkan dalam kampanye daripada diuji dalam respons krisis sehari-hari?

Kepercayaan publik tidak dibangun semata pada janji reformasi atau kampanye media, tetapi pada pengalaman nyata masyarakat saat suara mereka, melalui dering telepon 110, benar-benar didengar dan diubah menjadi aksi nyata dan penyelamatan.

Reformasi layanan Polri

Filsafat komunikasi modern, sebagaimana digagas Robert Craig dan Nick Couldry, menekankan bahwa esensi komunikasi terletak pada praktik “berbicara dan mendengarkan” yang tak terpisahkan. Konsep ini menjadi lensa yang tepat untuk membedah jantung Layanan 110.

Berbeda dengan model komunikasi linear warisan Shannon-Weaver yang melihat proses sebagai sekadar penyampaian pesan dari sumber ke penerima, pendekatan Craig dan Couldry menempatkan “mendengarkan” sebagai tindakan aktif, kreatif dan konstitutif. Dalam ekosistem 110, pelapor bukan sekadar “sumber informasi”, melainkan adalah lantunan suara kedaulatan masyarakat yang membutuhkan pengakuan, perlindungan dan pelayanan.

Pesan yang disampaikan melalui telepon bukanlah data mentah, melainkan sebuah narasi darurat yang sarat dengan fakta, urgensi, emosi, dan tuntutan keadilan. Di sinilah peran operator 110 atau penerima laporan berevolusi dari sekadar “penerima pasif” menjadi pendengar aktif pertama dalam rantai pelayanan terhadap masyarakat dan penegakan hukum.

Operator 110 adalah garda terdepan yang menjalankan teori “mendengarkan penuh perhatian dan sepenuh hati”. Tanggung jawabnya melampaui bukan hanya sekedar mencatat, ia harus memiliki kecakapan untuk menyimak, memvalidasi, dan menerjemahkan kepanikan atau ketidakberdayaan di seberang telepon menjadi laporan operasional yang jelas, valid, lengkap, dan perspektif korban.

Setiap detik yang dihabiskan dalam percakapan adalah investasi kepercayaan, penanaman amanah dan penumbuhan kredibilitas. Kemampuan operator untuk bersikap tenang, empatik, dan professional sesuai amanat Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Layanan Polisi 110 akan menentukan apakah masyarakat merasa didengar atau justru diabaikan.

Tindak lanjut cepat oleh petugas di lapangan, seperti dalam kasus penyelamatan dua penumpang dari pemerasan di Tanjung Priok. Menegaskan komitmen layanan aduan 110 serta Tim Patroli Jaga Jakarta dalam memberikan keamanan dan respon cepat terhadap setiap laporan masyarakat. Ini adalah bukti akhir sekaligus penegasan bahwa proses mendengarkan tadi telah selesai secara sempurna, dari telinga, ke hati institusi, hingga ke tangan yang menolong.

Reputasi Polri

Dalam perspektif teori reputasi, khususnya Model Reputasi Charles Fombrun, reputasi dibangun bukan dari klaim sepihak, melainkan dari persepsi kumulatif stakeholder berdasarkan pengalaman nyata, konsistensi perilaku, dan pemenuhan janji organisasi. Ruang layanan 110 adalah teater mikro di mana persepsi kritis publik terhadap Polri terbentuk. Setiap interaksi di sana adalah moment of truth yang langsung mengonstruksi atau meruntuhkan reputasi.

Komisi Percepatan Reformasi Polri yang dilantik Presiden Prabowo pimpinan Jimly Asshiddiqie menitikberatkan pada transformasi budaya institusi menuju pelayanan publik yang akuntabel. Keterpaduan antara etika, teknologi dan keadilan menjadi arah strategis bagi Polri ke depan.

Teknologi komunikasi dan digital jika digunakan secara prediktif dan transparan dapat memperkuat sistem penegakan hukum yang berbasis data suara masyarakat dan menghindari pengabaian aparat.  Layanan 110 adalah kawah candradimuka bagi reformasi ini. Di ruang call center yang sering sunyi dari sorotan publik, di sini nilai-nilai reformasi Polri diuji dalam bentuknya yang paling murni: kesabaran, responsivitas, dan integritas proses.

Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo telah berulang kali menekankan bahwa kecepatan, ketepatan, dan kebermanfaatan layanan 110 merupakan prioritas. Amanat ini bukan sekadar seruan administratif, melainkan filosofi operasional yang menuntut setiap jajaran, dari operator hingga pimpinan, memandang setiap laporan sebagai amanah masyarakat yang wajib ditunaikan dengan sebaik-baiknya.          

Oleh karena itu, keberhasilan Layanan 110 adalah barometer nyata kemajuan reformasi Polri. Setiap laporan yang tertangani baik tidak hanya menyelesaikan satu kasus, tetapi juga merajut satu benang kepercayaan antara negara dan masyarakat. Ia berperan sebagai sistem peringatan dini sosial, umpan balik real-time bagi penyusunan kebijakan, dan sekaligus penegas identitas Polri sebagai pelindung dan pengayom yang sesungguhnya. Membangun reputasi di era digital harus dimulai dari kesetiaan pada fungsi dasar ini memastikan bahwa di ujung saluran 110, selalu ada pendengar yang siap dan mekanisme yang bergerak cepat serta responsif.

Dengan demikian, jalan menuju reputasi Polri yang kokoh dan reformasi yang bermakna tidak berawal dari ruang redaksi atau panggung kampanye, melainkan dari ruang kontrol Layanan 110, di mana kesetiaan untuk mendengarkan dan keberanian untuk bertindak diuji setiap menit. Ketika setiap panggilan darurat dijawab dengan kompetensi, empati, dan diakhiri dengan penyelesaian yang adil, reputasi akan tumbuh dengan sendirinya secara organik, kuat, dan berakar pada pengalaman nyata publik.

Reputasi sejati lahir bukan dari gema pesan kantibmas yang Binmas sebarkan, tetapi dari kesungguhan mendengarkan keluhan yang paling pelan dan keberanian Polri bertindak atas nama yang paling lemah. Keberhasilan reformasi Polri pada akhirnya akan diukur bukan oleh banyaknya konferensi pers, tetapi oleh kepercayaan suara masyarakat sipil yang gemetar di seberang telepon 110.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Opinion

See More

[OPINI] Syarat Kerja Tinggi Badan: Adil atau Justru Diskriminasi?

21 Des 2025, 20:30 WIBOpinion