Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Syarat Kerja Tinggi Badan: Adil atau Justru Diskriminasi?

IMG_20251119_102818.jpg
Kegiatan Job Fair di Kota Bandung. (IDN Times/Debbie Sutrisno)
Intinya sih...
  • Persyaratan tinggi badan dalam lowongan kerja dapat mendiskriminasi pelamar
  • Perusahaan masih mencantumkan persyaratan fisik, padahal sudah dilarang oleh Kementerian Ketenagakerjaan
  • Tinggi badan minimal 158 cm berpotensi mendiskriminasi sebagian besar pelamar perempuan di Indonesia
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bicara tentang lowongan pekerjaan di Indonesia membuat kita jengkel dengan berbagai macam persyatannya. Per Februari 2025 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang. Angka ini menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara (Detik, 2025). Kondisi ini menunjukkan masih ada ketidaksetaraan antara kebutuhan tenaga kerja dan ketersediaan lapangan kerja. Jumlah lowongan kerja di Indonesia sebenarnya banyak. Namun, sebagian perusahaan untuk lowongan Operator Produksi masih  mencantumkan persyaratan kriteria fisik seperti tinggi badan. Dengan adanya persyaratan ini sangat mempengaruhi kepercayaan diri pelamar.

Di Indonesia, prinsip perlakuan yang sama dalam pekerjaan diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 5 “ Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.”

Kementerian Ketenagakerjaan telah melarang Perusahaan mencantumkan persyaratan diskriminatif, seperti harus berpenampilan menarik, memiliki tinggi badan minimal, hingga status pernikahan, melalui Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/V/2025 (Viva, 2025). Fakta di lapangan, masih banyak perusahaan yang mencantumkan persyaratan tinggi badan minimal 158 cm untuk sekadar bisa lolos tes administrasi. Apa kabar orang yang dikaruniai tinggi badan dibawah minimal persyaratan? Apakah adil bagi mereka?

Dengan adanya kriteria fisik menjadi penghambat serta bisa mengikis rasa percaya diri kelompok tertentu. Seorang responden perempuan dengan tinggi badan 155 cm menyatakan, “Gak adil buat orang pendek, belum berjuang tes sudah harus gugur dulu karena tinggi badan. Jadi minder mau  mencari pekerjaan yang lainnya.” Dengan adanya persyaratan fisik ini membuat sebagian orang merasa kalah sebelum berperang.

Seperti kasus Tri Cahyaningsih, peraih nilai tertinggi dalam SKD CPNS Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah mendapatkan nilai skor 476. Tinggi badan Tri Cahyaningsih saat seleksi kesehatan cuman 157,5 dari batas minimal tinggi badan 158 cm. Hanya kurang 0,5 cm dengan nilai SKD tinggi tidak lolos seleksi, bukankah kinerja utama di ukur dari nilai seleksi pengetahuan atau SKD (Kompas, 2024).

Persyaratan fisik seperti tinggi badan menjadi kendala bagi pelamar. Seorang perempuan berusia 24 tahun berkata, “Saya pernah ditolak karena tidak memenuhi kriteria tinggi badan minimum, meskipun pekerjaan tersebut tidak memerlukan persyaratan fisik khusus.” Akibatnya, kualitas rekruitmen dapat terpengaruh karena calon dengan kapasitas tinggi bisa tersingkir hanya karena faktor fisik yang tidak relevan dengan sebagian besar tugas jabatan (Saputri & Kamil, 2021)

Jika rata-rata tinggi badan wanita Indonesia adalah 154,36 cm (Indonesia Baik, 2024), maka syarat minimal 158 cm jelas berpotensi mendiskriminasi sebagian besar pelamar perempuan. Ketika syarat tersebut diterapkan sebagian kelompok masyarakat otomatis tersisih hanya karena faktor fisik yang tidak dapat mereka ubah, padahal secara kemampuan intelektual maupun moral mereka bisa saja memenuhi syarat (Haris Fadhil, 2024).

Banyak lowongan pekerjaan secara eksplisit menyatakan tinggi badan untuk perempuan minimal 158 cm. Faktanya, tidak semua pekerjaan hanya bisa dikerjakan oleh orang yang punya postur tubuh tinggi. Diskriminasi batas tinggi badan dalam rekruitmen sering terjadi karena perusahaan lebih menyukai kandidat yang berpostur tinggi, meskipun pengalaman kerja dan kompetensi mereka sebenarnya masih relevan.

Kondisi di lapangan menyatakan bahwa tidak semua tugas atau peralatan ditaruh ditempat yang lebih tinggi. Untuk posisi yang harus menjangkau tempat yang lebih tinggi memang akan lebih mudah bila yang mengerjakan orang yang lebih tinggi. Tapi, apakah semua pekerjaan harus menjangkau tempat yang tinggi?

Diskriminasi terhadap tinggi badan minimum mempengaruhi faktor psikologis dan ekonomi kelompok rentan. Pemerintah sudah membuat keputusan yang tepat dengan menghapus persyaratan diskriminatif dalam loker di Indonesia. Selain itu untuk mengurangi angka pengangguran dan diskriminasi pelamar kerja, Pemerintah harus terjun langsung ke lapangan untuk melihat perusahaan-perusahaan yang masih memberlakukan persyaratan fisik, serta menindak lanjuti perusahaan yang masih bebal mencantumkan persyaratan fisik.

Pemerintah wajib membuka atau mencarikan pekerjaan untuk semua warga seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (2) “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Selain itu, Perusahaan harus mengikuti aturan yang sudah dibuat oleh Pemerintah tanpa memandang fisik pelamar. Perusahaan lebih baik memperhatikan keterampilan pelamar dibandingkan tinggi badan, bukankah keterampilan lebih menentukan kualitas kerja seseorang. Dengan adanya permasalahan ini, pemerintah harus adil dan tanggap cepat dalam mengangani permasalah stunting yang ada di Indonesia ini. Membuat program kerja mencegah stunting dari dasar, supaya bisa memperbaiki kualitas fisik masyarakat Indonesia menjadi lebih baik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Opinion

See More

[OPINI] Syarat Kerja Tinggi Badan: Adil atau Justru Diskriminasi?

21 Des 2025, 20:30 WIBOpinion