Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menggali Pemikiran Profesor Sumitro tentang Pembangunan Nasional

Sumitro Djojohadikusumo (lpem.org/)
Sumitro Djojohadikusumo (lpem.org/)
Intinya sih...
  • Profesor Sumitro Djojohadikusumo adalah tokoh bangsa dan Begawan Ekonomi yang mempunyai pemikiran tentang pembangunan Indonesia dari berbagai aspeknya.
  • Pemikiran Profesor Sumitro terpengaruh teori Keynes yang mengubah teori ekonomi klasik, diterapkan di Indonesia pada masa Kabinet Wilopo menjadi menteri keuangan.
  • Sumitro menekankan agar setiap generasi muda yang menduduki posisi di pemerintahan menjalankan tugas sebagai amanah tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pertama, perkenankan saya menyampaikan salam hormat kepada Bapak Ketua, Bapak Muhaimin Iskandar beserta segenap Anggota Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan seluruh hadirin dan hadirat yang hadir di ruang yang megah ini, sekaligus ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas undangan kepada saya untuk berbagi dan berdiskusi mengenai pemikiran Profesor Sumitro Djojohadikusumo, salah seorang tokoh bangsa dan Begawan Ekonomi.

Sumitro berhubungan dengan pembangunan Indonesia dari berbagai aspeknya, baik sektor politik, kebangsaan, ekonomi, sosial, budaya, dikaitkan dengan tantangan masa kini dalam kemajuan dunia yang semakin kompleks, berisiko dan penuh ketidakpastian, seperti dalam transformasi digital dan yang lain.

Pembahasan saya tidak akan mampu mencakup keseluruhan aspek tersebut, tetapi lebih terpusat pada latar belakang pendidikan saya yang saya tekuni, utamanya aspek ekonomi makro, moneter, keuangan negara, ekonomi internasional dan pembangunan. Namun agar tidak menyimpang dari kerangka acuan yang ditetapkan saya akan mengembalikan semuanya pada pemikiran Profesor Sumitro, tentu sejauh saya menyelaminya.

Saya ingin memulai dengan mengingat kembali pesan sangat kuat yang disampaikan oleh Prof Sumitro, pada waktu beliau bersama salah seorang mantan mahasiswa beliau, Profesor Widjojo Nitisastro, menerima penganugerahan Piagam Hatta yang disampaikan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), bertepatan dengan Hari Ulang Tahun ISEI ke-30. Tepatnya di tahun 1985, cukup lama empat puluh tahun silam.

Profesor Sumitro berpesan kepada kami semua generasi yang lebih muda agar setiap kali kita masing-masing memperoleh kepercayaan untuk menduduki suatu posisi di pemerintahan, apakah menjadi menteri, dirjen, kepala biro, dubes, bupati, atau jabatan apapun, embanlah pekerjaan tersebut sebagai AMANAH dengan berjanji pada diri masing-masing, bahwa anda tidak akan mengharapkan, apalagi menuntut - merasa entitled- apapun, apakah ucapan terima kasih, atau anugerah maupun pujian. Saya ingin memberi garis bawah di sini, beliau menekankan JANGANLAH MENGHARAPKAN, APALAGI MENUNTUT, MERASA ENTRITLED, BERHAK, untuk memperoleh imbalan apapun dari amanah tersebut. Mungkin hal ini berasal dari ajaran para penisepuh orang Jawa agar kita selalu “rame ing gawe, sepi ing pamrih”, artinya bekerja keras, rajin, professional, tetapi tidak mengharapkan imbalan apapun.

Itulah sifat seorang patriot yang dikobarkan Profesor Sumitro bagi kita semua setiap kali kita memperoleh kepercayaan untuk bekerja pada suatu posisi di pemerintahan. Saya mengikuti perjalanan karir Profesor Sumitro dalam Pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, dan saya tahu beliau tidak ngomong doang, melainkan benar-benar “walk the talk” dalam jabatan yang manapun, baik sebagai menteri keuangan, menteri perdagangan, menteri riset ataupun yang lain.

Pemikiran Profesor Sumitro tentang pembangunan nasional dilatarbelakangi dengan studinya di bidang ekonomi di Universitas Rotterdam – nantinya menjadi Erasmus University - Negeri Belanda, beliau menulis disertasi tentang Kredit Pedesaan di masa depresi, tampaknya dipengaruhi pendekatan ekonomi baru yang dikembangkan oleh pemikiran John Maynard Keynes, seorang ahli ekonomi dari Universitas Cambridge, U.K. melalui bukunya dan berpengaruh secara meluas sejak terbitnya di tahun 1936, “The General Theory of Employment, Interest and Money.”

Ciri pendekatan ini termasuk meninggalkan pendekatan ekonomi klasik sebelumnya, yang percaya bahwa ekonomi akan selalu mencapai keseimbangan (equilibrium), selama jumlah barang dan jasa yang ditawarkan sama dengan yang diminta dalam transaksi pasar, supply sama dengan demand, dan keseimbangan terjadi pada tingkat harga tertentu pada waktu jumlah penawaran secara agregat sama dengan permintaan. Secara teoritis paham ini tidak mengenal adanya pengangguran selama permintaan sama dengan penawaran, dan dalam kondisi demikian pemerintah yang baik adalah yang hanya menjadi wasit, tidak mencampuri transaksi di pasar, the best government is the least government.

Akan tetapi kenyataannya di tahun tiga puluhan terjadi pengangguran di mana-mana, bahkan depresi ekonomi, tidak terkecuali, Indonesia. Karena itu prediksi teori klasik ternyata tidak tepat sasaran, alias keliru dan karena itu kehilangan pamor. Pada waktu itu John Maynard Keynes menulis bukunya dengan menunjukkan bahwa pengangguran bisa dihilangkan, depresi bisa hilang bilamana pemerintah bersedia melakukan pengeluaran yang menutupi kekurangan di pasar, timbullah konsep counter cyclical fiscal policy.

Pada waktu pengeluaran sektor swasta menurun, Pemerintah menggantikannya sehingga penuh kembali. Pendekatan Keynes juga berbeda dengan Klasik karena Keynes berbicara tentang aggregate demand and supply dan peran aktif negara dengan alat fiskalnya untuk melakukan koreksi kegiatan swasta yang menurun, atau sebaliknya bila terlalu banyak, karena itu counter cyclical sifatnya.

Pemikiran Profesor Sumitro terpengaruh teori Keynes yang mengubah teori ekonomi klasik tersebut. Hal ini kemudian diterapkan di Indonesia pada waktu Profesor Sumitro diminta masuk dalam Kabinet Wilopo menjadi menteri keuangan.

Ini diteruskan di masa Kabinet Burhanuddin Harahap juga bersamaan dengan beliau menjabat dekan Fakultas Ekonomi, membanguan pendidikan ekonomi, mendidik para ekonom muda, termasuk kelompok yang kemudian menjadi teknokrat, seperti Profesor Widjojo, Sadli, Subroto, Sarbini Sumawinata, dan yang lain.

Pendekatannya tentu saja dengan mengacu pada pendekatan ekonomi makro Keynes, mengkombinasikan bekerjanya pasar dan campur tangan Pemerintah di pasar, Pemerintah tidak hanya menjadi wasit tetapi ikut bermain mengusahakan pemerataan dalam pertumbuhan ekonomi. Inilah inti dari pendekatan yang dikembangkan Prof Sumitro, apakah disebutkan sebagai sosialisme atau yang lain tetapi demikian jalan pendekatannya.

Dalam hal ini saya selalu melakukan koreksi setiap ada kritikan yang mengatakan bahwa teknokrat itu neo liberal. Saya mengatakan, tidak. Saya mengenal semua senior saya dari Prof Widjojo sampai Sumarlin, mereka susah saya golongkan menjadi ekonom neoliberal yang percaya ajaran klasik diterima sebagai mantra yang harus benar alias dijadikan dogma. Bagi saya tidak mungkin. Prof Widjojo yang menulis disertasi tentang permasalahan penduduk Indonesia, melihat kemelaratan yang selalu menyertai pertumbuhan penduduk, mana mungkin beliau tega menjadi neolib, tidak mau menggunakan campur tangan pemerintah untuk melakukan koreksi?

Prof Ali Wardhana belajar ekonomi moneter, biasanya lebih condong ke pemikiran klasik, tetapi sangat paham tentang ketegangan-ketegangan masyarakat jalaran kebijakan moneter yang kaku seperti di banyak negara-negara Amerika Latin waktu itu.

Prof Emil Salim menulis disertasi tentang Perencanaan Pembangunan Mesir, kembali mana mungkin dasarnya neolib yang tidak percaya peran pemerintah kok menulis tentang Pemerintah yang merencanakan segalanya. Jadi, ya percaya pada ajaran Keynes menggunakan piranti moneter untuk membiayai pengeluaran, mengurangi kesenjangan yang ada. Yang lain ya sami mawon.

Saya resminya menyandang gelar doktor dalam ekonomi moneter, sangat menguasai tulisan-tulisan guru konservatif moneter dari University of Chicago, Prof Milton Friedman, tetapi saya tidak hanya melihat melainkan mengalami hidup dalam keluarga besar yang miskin, mana bisa tega dan tidak percaya penggunaan instrumen fiskal untuk mengurangi ketimpangan pendapatan, apalagi belasan tahun kerja di BAPPENAS yang merencanakan pembangunan nasional.

Dan saya merasa melaksanakan ajaran Profesor Sumitro yang saya kutip di atas, pada waktu menerima jabatan di manapun di birokrasi pemerintahan, jangan berharap untuk diperhatikan atau mendapat ucapan terima kasih, apalagi dipuji, apalagi sampai menuntut untuk diakui, dan sebagainya. Itu bikin malu dan tidak paham tanggung jawab moral sebagai akademisi, guru dan pendidik. Bahkan setelah merasa berhasil menangani krisis moneter perbankan tahun 1997/98 saya dipecat enam minggu sebelum masa jabatan sebagai gubernur Bank Indonesia berakhir, juga saya terima dengan kepala tetap tegak dan tidak protes, meskipun sedikit meratapinya. Ya mengapa tidak, emangnya superman?

Demikianlah yang bisa saya sampaikan, menggali dan mengingat kembali ajaran Begawan Ekonomi Profesor Sumitro Djojohadikusumo, mendorong kita untuk menjadi patriot bangsa, bukan tukang mengeluh dan melontarkan kritik tanpa dasar yang kuat. Matur nuwun, Tuhan memberkati kita semua. (Dradjad, 5/12/2025).

Disampaikan dalam diskusi tentang Pemikiran Tokoh Bangsa, Professor Sumitro Djojohadikusumo, pada Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kantor DPP PKB, 26 November 2025.

Guru Besar Ekonomi Emeritus, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (FEBUI), Jakarta.

Share
Topics
Editorial Team
Umi Kalsum
EditorUmi Kalsum
Follow Us

Latest in Opinion

See More

Menggali Pemikiran Profesor Sumitro tentang Pembangunan Nasional

22 Des 2025, 16:16 WIBOpinion