Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Cerita Ramadan: Berpuasa di Negara Orang, Sepi dan Menantang

suasana jalan Stockton di San Fransisco (dok. Pribadi/Fatkhur Rozi)
suasana jalan Stockton di San Fransisco (dok. Pribadi/Fatkhur Rozi)

Ramadan tahun 2019 jadi salah satu bulan puasa yang paling berkesan bagi saya. Tahun itu merupakan kali pertama saya berangkat ke Amerika Serikat untuk keperluan pekerjaan. Berharap bisa wisata kuliner, tetapi saya ingat bahwa mulai hari kedua saya di sana, Ramadan tiba.

Jumat, 3 Maret 2019. Udara pagi itu terasa sangat dingin. Saya berangkat dari Jogja ke Jakarta pukul 4 pagi. Matahari masih tidur, tetapi keberangkatan saya menuju bandara ditemani oleh para pedagang pasar yang sudah semangat mencari rezeki di pagi buta. Mata masih berat, tetapi saya merasa malu sendiri saat melihat semangat para pedagang tersebut.

Setelah melalui serangkaian penerbangan, akhirnya saya menginjakkan tanah di San Fransisco pada Sabtu, 4 Maret 2019.

Alhamdulillah. Bagi saya yang takut naik pesawat, mampu melewati penerbangan selama 18 jam adalah sebuah prestasi tersendiri. 

Kedatangan saya di San Fransisco disambut udara dingin 10 derajat Celcius yang menusuk tubuh. Hari pertama saya di sana saya habiskan untuk menjelajahi beberapa sudut kota. Saya punya waktu untuk jalan-jalan dan menikmati kuliner lokal sebelum mengisi acara pada sore harinya.

Malam tiba. Suhu mencapai 8 derajat Celcius. Saya pergi ke supermarket untuk membeli keperluan sahur karena keesokan harinya sudah masuk bulan Ramadan. Dalam balutan kaos, sweater, dan jaket tebal saya memutuskan menerjang dinginnya malam. Berjalan kaki kurang lebih 1 kilometer untuk mencari bekal makan sahur.

Setelah melalui berbagai pertimbangan terkait kehalalan (dan harga), akhirnya saya memilih sandwich isi tuna dan susu cokelat jadi menu sahur di hari pertama Ramadan. Memang tak banyak, tetapi cukup untuk menghadapi puasa 15 jam 45 menit di Amerika Serikat.

Dua hari pertama puasa di San Fransisco saya jalani dengan sepi. Baru kali ini saya menjalani Ramadan sendirian. Tidak ada suara azan yang menandakan kapan waktu sahur dan berbuka. Tidak ada teman seperjuangan yang turut merasakan puasa Ramadan. Semua serba mandiri. Apa-apa diurus sendiri.

Dalam hati saya bergumam, "Oh, jadi begini rasanya jadi minoritas".

Di hari ke-3 saya melalui puasa Ramadan tanpa sahur. Alarm sudah terpasang lima kali, tetapi saya tetap terlelap di kamar hotel. Efek kelelahan lantaran sejak datang hingga hari ke-3 ini kegiatan saya penuh tanpa jeda.

Ketika bangun, matahari sudah hadir dengan gagahnya. Seketika saya menyadari bahwa hari ini akan jadi hari yang berat. Sempat tebersit keinginan untuk tidak berpuasa. Namun, segera saya tepis lantaran lantaran "sayang" nilai ibadahnya.

Empat hari saya berpuasa Ramadan di negara orang. Merasakan betapa beratnya puasa selama 15 jam lebih dengan menu sahur dan berbuka yang terbatas. Saya mulai merindukan kehangatan Ramadan di Tanah Air. Mulai dari sahur bersama keluarga, berburu takjil di pinggir jalan, hingga buka bersama orang-orang tersayang.

Semua hal itu tidak saya temukan di Amerika Serikat. Maklum, di sana memang bukan negara muslim.

Sepulang dari perjalanan di San Fransisco membuat saya lebih mawas diri. Esensi puasa sejatinya memang untuk merasakan lapar dan haus. Dan, pengalaman puasa Ramadan di negeri orang mengajarkan saya agar lebih sabar dan mampu mengendalikan diri.

9 Maret 2019. Saya sampai di Jakarta dan lanjut perjalanan menuju Jogja. Waktu menunjukkan pukul 16.31 WIB saat pesawat mendarat di Bandara Adi Sucipto. Begitu keluar bandara, saya tahu apa yang jadi tujuan saya selanjutnya. Berburu takjilan di jalanan sebelah kampus Sanata Dharma dan lanjut berbuka puasa di warung Geprek Bu Made yang melegenda.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nuruliar F
Achmad Fatkhur Rozi
Nuruliar F
EditorNuruliar F
Follow Us