Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Salah Kaprah Memaknai “Negara Tidak Hadir”, Jangan Tersinggung Dulu!

bendera Indonesia
ilustrasi bendera Indonesia (pexels.com/Ache Surya)
Intinya sih...
  • Memaknai negara tidak hadir sebagai serangan personal
  • Istilah negara tidak hadir menyoroti kegagalan fungsi, bukan niat
  • Wajah negara sering disalahartikan sebagai keseluruhan sistem
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Istilah negara tidak hadir kerap muncul setiap kali publik dihadapkan pada persoalan yang terasa berlarut, merugikan banyak orang, dan tak kunjung mendapat solusi yang jelas. Frasa ini ternyata banyak memantik emosi karena dianggap sebagai tudingan bahwa pemerintah malas bekerja atau pejabat sengaja lepas tangan. Padahal, makna sesungguhnya tidak sesempit itu. Banyak perdebatan muncul bukan karena substansinya, melainkan karena pemaknaan yang melenceng sejak awal.

Ketika emosi lebih dulu menguasai diri dan setiap ungkapan kecil dianggap kritik dan ketidaksukaan terhadap individu atau institusi, diskusi berubah menjadi saling serang tanpa arah. Supaya tidak terus salah paham, ada baiknya frasa ini dibaca dengan kepala dingin dan kacamata yang lebih struktural. Berikut beberapa sudut pandang yang bisa membantu memahami maksud sebenarnya dari istilah ‘negara tidak hadir’ tersebut.

1. Memaknai negara tidak hadir sebagai serangan personal

tersinggung
ilustrasi tersinggung (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Banyak orang langsung mengaitkan frasa negara tidak hadir dengan sosok tertentu yang sedang memangku jabatan entah siapa pun itu, seolah kritik itu ditujukan langsung pada etos kerja atau niat pribadi mereka. Padahal, dalam wacana kebijakan publik, negara tidak pernah dipersonifikasikan sesederhana diwakili oleh satu wajah atau satu nama. Negara bekerja melalui aturan, prosedur, dan pembagian kewenangan yang panjang. Ketika satu bagian macet, dampaknya bisa menjalar ke mana-mana.

Menyederhanakan masalah menjadi soal individu justru menutup pintu untuk membahas akar persoalan. Akibatnya, diskusi publik berhenti pada rasa tersinggung dan pembelaan diri. Fokus bergeser dari memperbaiki mekanisme menjadi menjaga citra. Kritik yang seharusnya mendorong evaluasi sistem malah diperlakukan sebagai serangan moral, serangan individu yang ingin memecahbelah bangsa, dan anggapan lain yang kemana-mana. Di sinilah salah kaprah itu bermula dan terus berulang.

2. Istilah negara tidak hadir menyoroti kegagalan fungsi, bukan niat

tenda pengungsian
ilustrasi tenda pengungsian (pexels.com/Ahmed akacha)

Dalam konteks yang lebih tepat, negara tidak hadir dipakai untuk menandai fungsi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Regulasi ada, tetapi tidak diterapkan. Prosedur tersedia, tetapi terlalu lambat merespons situasi. Koordinasi antarlembaga seharusnya terjadi, namun tersendat di meja rapat. Semua itu berbicara soal fungsi, bukan soal niat baik atau buruk seseorang pemangku jabatan.

Ketika publik memakai istilah ini, yang disorot adalah jarak antara kewenangan dan hasil nyata di lapangan. Negara dinilai absen karena dampak yang diharapkan tidak sampai ke masyarakat yang membutuhkan. Selama fokusnya tetap pada fungsi, kritik ini seharusnya dibaca sebagai alarm, bukan cercaan atau dianggap wujud rasa ketidaksukaan. Alarm tersebut penting agar sistem di sebuah negara tidak terus berjalan dengan masalah yang sama.

3. Wajah negara sering disalahartikan sebagai keseluruhan sistem

pejabat
ilustrasi pejabat (pexels.com/Asad Photo Maldives)

Pejabat publik memang menjadi wajah negara di mata masyarakat. Pernyataan mereka dikutip, kebijakan mereka dipantau, dan keputusan mereka dinilai secara langsung. Namun wajah tidak selalu mencerminkan seluruh organ yang bekerja di belakangnya. Ada lapisan birokrasi, aturan turunan, hingga kapasitas teknis yang ikut menentukan hasil akhir dari keputusan.

Ketika publik hanya melihat wajah tanpa memahami komponen di belakangnya, kritik mudah sekali dianggap melenceng. Individu dijadikan sasaran utama, sementara sistem yang bermasalah luput dari pembahasan. Padahal, mengganti wajah tanpa membenahi mesin hanya akan mengulang siklus yang sama.

4. Negara dinilai hadir melalui dampak, bukan sekadar pernyataan

pejabat
ilustrasi pejabat (pexels.com/Antonio Prado)

Kehadiran negara tidak diukur dari banyaknya konferensi pers atau rilis resmi. Kehadiran terasa ketika masalah utama bisa dicegah, diredam, atau setidaknya tidak berlarut tanpa arah. Publik menilai dari dampak yang langsung dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kewenangan besar tidak menghasilkan perlindungan yang nyata bagi masyarakat, kekecewaan wajar muncul.

Di sinilah frasa negara tidak hadir sering dipakai sebagai ekspresi kolektif. Bukan karena negara benar-benar menghilang bukan “sosok” yang dimaksud dianggap tidak bekerja, melainkan karena peran negara sebagai sebuah sistem tidak terasa saat dibutuhkan. Kritik ini lahir dari jarak antara janji struktural dan realitas lapangan. Selama jarak itu ada, istilah ini akan terus dipakai.

5. Salah paham terhadap istilah ini justru melemahkan kritik publik

kritik publik
ilustrasi kritik publik (pexels.com/Yan Krukau)

Ketika kritik dianggap sebagai serangan personal bagi individu, ruang diskusi  jelas akan menyempit. Orang yang dituduh sibuk membela diri, bukan membenahi sistem. Padahal, kritik publik yang tepat sasaran bisa menjadi alat koreksi yang sehat. Menolak istilah negara tidak hadir tanpa memahami maksudnya sama saja dengan menutup peluang untuk melakukan evaluasi.

Lebih berbahaya lagi, jika hal semacam ini terus dianggap ketersinggungan atau ketidaksukaan terhadap pemangku jabatan, salah paham ini membuat publik ragu menyuarakan kritik atau bahkan takut bersuara karena akan dibungkam. Takut dianggap menyudutkan individu, isu struktural akhirnya dibiarkan begitu saja. Negara pun kehilangan umpan balik yang penting untuk berbenah menjadi lebih baik. Kritik yang dilucuti maknanya hanya akan melahirkan kebisingan, bukan perubahan.

Pada akhirnya, memaknai negara tidak hadir secara lebih jernih dengan hati bersih dan kepala yang dingin justru membantu diskusi publik bergerak ke arah yang lebih berguna. Istilah ini tidak perlu diperlakukan sebagai tudingan personal abcd, melainkan sebagai penanda adanya fungsi yang perlu segera diperbaiki. Semoga tak lagi ada rasa tersinggung atau merasa terus menerus disinggung atas sesuatu yang sebenarnya merupakan sebuah kritik yang membangun.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Hella Pristiwa
EditorHella Pristiwa
Follow Us

Latest in Opinion

See More

Salah Kaprah Memaknai “Negara Tidak Hadir”, Jangan Tersinggung Dulu!

30 Des 2025, 12:41 WIBOpinion