Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Indonesia Harus Lebih Perhatikan Isu Stunting, Perlu Contoh NTT

ilustrasi anak-anak
ilustrasi anak-anak (pexels.com/Rebecca Zaal)
Intinya sih...
  • Stunting disebabkan malnutrisi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak, harus diukur dengan menghindari spekulasi, dan merupakan hasil dari sejumlah faktor seperti malnutrisi kronis dan kekurangan protein.
  • Stunting dialami sebagian besar anak di negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia dengan catatan yang harus diperbaiki, menjadi indikator kunci dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) kedua untuk mencapai Nol Kelaparan.
  • Tingkat stunting di Indonesia turun dari 21,5 persen menjadi 19,8 persen pada 2024, namun masih berada dalam 15 negara dengan tingkat prevalensi stunting tertinggi di dunia. Di NTT, tingkat stunting turun hampir
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pada 22 Juli 2025, seorang anak perempuan bernama Raya meninggal setelah 9 hari dirawat di sebuah rumah sakit di Sukabumi, Jawa Barat. Anak berusia 4 tahun yang hidup dalam kemiskinan itu dibawa ke rumah sakit dalam keadaan tidak sadarkan diri setelah menunjukkan gejala demam, batuk, dan kesulitan bernapas. Pemeriksaan lanjutan menyimpulkan bahwa dirinya meninggal karena sepsis yang diperparah malnutrisi dan stunting.

Kematian Raya menimbulkan kekhawatiran terkait stunting pada anak-anak di Indonesia. Para ahli mendesak kehadiran kebijakan kesehatan yang lebih komprehensif untuk menangani penyebab mendasar dari stunting. Lantas, bagaimana pemerintah dan masyarakat Indonesia seharusnya bertindak dalam menghadapi stunting?

1. Dapat terjadi saat bayi masih dalam kandungan, stunting disebabkan malnutrisi selama 1.000 hari pertama kehidupan anak

ilustrasi anak-anak
ilustrasi anak-anak (pexels.com/Guduru Ajay bhargav)

Stunting dapat terjadi karena malnutrisi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak. Malnutrisi merupakan penyebab hampir setengah dari semua kematian anak, terutama balita. Sementara, stunting adalah proses yang memakan waktu karena bisa terjadi saat bayi masih dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia 2 tahun.

Stunting harus diukur dengan menghindari spekulasi. Anak mengalami stunting jika memiliki tinggi yang lebih rendah dari anak sebaya. Selain itu, berat badan yang kurang dan pertumbuhan tulang yang tidak optimal juga menjadi gejala lain stunting.

Stunting merupakan hasil dari sejumlah faktor. Malnutrisi kronis, misalnya, berkaitan dengan nutrisi dalam makanan yang dikonsumsi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan optimal. Selain itu, ada juga faktor kekurangan protein yang membuat tubuh anak rentan terhadap penyakit.

2. Stunting dialami sebagian besar anak di negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia dengan catatan yang harus diperbaiki

ilustrasi anak-anak
ilustrasi anak-anak (pexels.com/Guduru Ajay bhargav)

Sebagai dampak dari ketidakseimbangan gizi, stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan penurunan kecepatan pertumbuhan. Stunting pada masa anak-anak dianggap beban biaya dan ekonomi. Alasannya, stunting meningkatkan risiko kematian, meningkatkan risiko penyakit menular dan tidak menular, berdampak negatif terhadap perkembangan dan kemampuan belajar, serta mengurangi produktivitas dan kemampuan ekonomi pada masa dewasa.

Mengurangi stunting pada masa anak-anak adalah tujuan pertama dari enam tujuan dalam Target Gizi Global 2025. Selain itu, stunting juga menjadi indikator kunci dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) kedua untuk mencapai Nol Kelaparan. Akan tetapi, Indonesia masih harus lebih memperhatikan isu stunting.

Termasuk Indonesia, stunting dialami sebagian besar anak di negara miskin dan berkembang. Prevalensi stunting di Indonesia adalah 30,8 persen pada 2018, sementara Malaysia adalah 20,7 persen pada 2016 dan Thailand adalah 10,5 persen pada 2017. Pada 2021, prevalensi stunting di Indonesia adalah 24,4 persen dalam hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI).

3. Di NTT, ada kemajuan luar biasa lewat penurunan tingkat stunting hampir 50 persen yang diupayakan pekerja kesehatan masyarakat

ilustrasi anak-anak
ilustrasi anak-anak (pexels.com/Margaret Weir)

Pada 2024, tingkat stunting di Indonesia turun dari 21,5 persen menjadi 19,8 persen. Akan tetapi, Indonesia masih berada dalam 15 negara dengan tingkat prevalensi stunting tertinggi di dunia. Selama bertahun-tahun, respons Indonesia terhadap stunting dianggap masih belum memadai karena bergantung terhadap solusi parsial dan sistem yang kekurangan sumber daya.

Terlepas dari kemajuan yang ada, data terbaru tentang stunting di Indonesia mungkin tidak bisa terlalu dirayakan. Namun, ada kemajuan luar biasa di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selama 5 tahun intervensi terarah, tingkat stunting secara keseluruhan di NTT turun hampir 50 persen.

Rahasia di balik kemajuan isu stunting di NTT adalah pekerja kesehatan masyarakat yang dikenal secara lokal sebagai kader. Para pekerja garis depan itu melakukan kegiatan yang sering dianggap remeh. Mereka mengajarkan perempuan dewasa tentang pentingnya mikronutrien saat kehamilan, manfaat menyusui eksklusif, dan kebutuhan air bersih serta mencuci tangan.

Pada akhirnya, pemerintah Indonesia harus memprioritaskan kader dengan memberikan pelatihan memadai, pengawasan, dan kompensasi yang adil. Pemerintah perlu mencontoh keberanian gubernur NTT yang berhasil berakhir positif. Kesuksesan penanganan stunting di NTT menunjukkan, intervensi yang ditargetkan dan berbasis bukti bisa membuat perbedaan nyata.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us

Latest in Opinion

See More

[OPINI] Indonesia Harus Lebih Perhatikan Isu Stunting, Perlu Contoh NTT

08 Sep 2025, 13:52 WIBOpinion
Bendera Merah Putih.png

Rasa Itu...

11 Agu 2025, 15:01 WIBOpinion