Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengapa Makin Kaya Seseorang Makin Hilang Empati?

ilustrasi orang kaya
ilustrasi orang kaya (pexels.com/cottonbro studio)

Kekayaan acapkali dipuja sebagai puncak pencapaian seorang individu, tapi ironisnya, justru di titik itu banyak orang kehilangan empati. Seseorang yang sudah terbiasa hidup nyaman tak jarang kerap gagal melihat kenyataan pahit yang masih dihadapi sebagian besar orang. Empati di sini bukan sekadar rasa kasihan, melainkan kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain dan sungguh-sungguh mengerti apa yang mereka alami.

Masalahnya, ketika jarak sosial makin lebar, orang kaya mudah terjebak dalam gelembungnya sendiri. Mereka terbiasa hidup dengan standar berbeda, sementara realitas keras di luar lingkaran mereka makin sulit dipahami. Fenomena ini jelas bukan mitos belaka, banyak riset maupun pengalaman sehari-hari yang menunjukkan bagaimana harta bisa membuat seseorang makin tumpul perasaannya. Berikut beberapa sudut pandang yang bisa membantu menjelaskan kenapa empati ikut tergerus seiring bertambahnya kekayaan.

1. Kekuasaan finansial mengubah cara seseorang menafsirkan masalah

ilustrasi kekuasaan finansial (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi kekuasaan finansial (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Ketika uang bisa menyelesaikan hampir semua hal, cara seseorang menafsirkan masalah otomatis berubah. Kesulitan orang lain sering dianggap sepele karena dalam logika mereka, segalanya bisa dibereskan dengan dana. Contoh sederhana, biaya rumah sakit yang membuat sebagian besar keluarga kalut, bagi mereka hanya pengeluaran biasa. Perbedaan cara pandang ini membuat jurang batin semakin lebar.

Kondisi tersebut akhirnya menurunkan kepekaan emosional. Orang kaya lebih sering menawarkan solusi finansial tanpa benar-benar mencoba memahami perasaan di balik penderitaan itu. Padahal, empati tumbuh bukan dari bantuan materi, melainkan dari kesediaan hadir dan mendengar. Ketika kebiasaan ini mengakar, hubungan antarindividu pun berubah menjadi transaksional, bukan lagi emosional.

2. Jarak sosial membentuk gelembung eksklusif yang menutup realitas

ilustrasi orang kaya (pexels.com/Ari Roberts)
ilustrasi orang kaya (pexels.com/Ari Roberts)

Lingkaran sosial orang kaya biasanya homogen: pergaulan dengan sesama berada di level ekonomi yang sama. Akibatnya, pengalaman bersama masyarakat kelas bawah makin jarang terjadi. Empati yang seharusnya tumbuh dari interaksi sehari-hari pun kehilangan tanah suburnya. Sederhana saja, sulit peduli pada sesuatu yang tidak pernah kamu alami atau lihat langsung.

Inilah mengapa kenaikan harga beras bisa jadi percakapan serius di warung, tapi hampir tak terdengar di meja makan kalangan elite. Mereka hidup dengan masalah yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Jarak ini menciptakan semacam ketidaknyambungan emosional, seolah dua dunia berjalan paralel tanpa bersentuhan. Dari situ, empati pelan-pelan menghilang, tergantikan oleh rasa nyaman dalam gelembung sendiri.

3. Budaya kompetisi membuat keberhasilan terasa hanya soal individu

ilustrasi persaingan. (Pexels.com/ArtHouse Studio)
ilustrasi persaingan. (Pexels.com/ArtHouse Studio)

Narasi populer dalam masyarakat modern adalah bahwa kesuksesan sepenuhnya hasil kerja keras pribadi. Orang kaya sering kali percaya bahwa posisi mereka murni karena usaha, bukan faktor privilese atau sistem yang mendukung. Dari sudut pandang ini, kegagalan orang lain dipandang sebagai buah kemalasan atau keputusan salah. Pikiran semacam ini jelas mengikis empati.

Jika pola pikir kompetitif semakin dominan, orientasi bergeser ke ambisi pribadi. Rasa peduli dianggap melemahkan fokus, bahkan dipandang sebagai hambatan dalam mencapai target. Empati pun dilihat bukan sebagai nilai, melainkan beban emosional yang tidak efisien. Ketika logika kompetisi menguasai, nilai kemanusiaan pun berada di urutan belakang.

4. Rasa aman finansial menciptakan jarak dengan ketidakpastian hidup

ilustrasi uang (vecteezy.com/ Karin chantanaprayura)
ilustrasi uang (vecteezy.com/ Karin chantanaprayura)

Bagi orang kaya, risiko sehari-hari seperti cicilan, biaya sekolah, atau kehilangan pekerjaan nyaris tidak relevan. Mereka hidup dalam rasa aman finansial yang membuat sulit membayangkan betapa rapuhnya kehidupan orang lain. Perbedaan pengalaman inilah yang mematikan kemampuan menempatkan diri di posisi orang yang selalu dihantui ketidakpastian.

Rasa aman ini sering menimbulkan ilusi bahwa semua orang seharusnya bisa mencapai hal yang sama jika berusaha. Padahal, ada faktor struktural yang berat: akses pendidikan, kesempatan kerja, hingga ketimpangan sosial yang nyata. Tanpa kesadaran itu, orang kaya lebih mudah menghakimi ketimbang memahami. Empati pun semakin terpinggirkan.

5. Representasi kesuksesan di media menumpulkan kepekaan

ilustrasi naik private jet (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi naik private jet (pexels.com/RDNE Stock project)

Media dan budaya populer sering menampilkan kekayaan sebagai simbol prestise. Sosok kaya raya digambarkan glamor, penuh gaya hidup mewah, seolah itu standar yang harus diikuti. Sementara itu, kesulitan hidup masyarakat biasa hanya muncul sebagai tontonan sekilas. Perlahan, orang kaya makin larut dalam citra eksklusif ini dan kehilangan kedekatan emosional dengan realitas lain.

Ketika penderitaan hanya hadir sebagai berita atau konten, ia tidak lagi menggerakkan hati. Malah sering kali dijadikan bahan perbandingan atau hiburan. Jarak emosional pun semakin lebar, dan empati kehilangan fungsinya sebagai penghubung antarmanusia. Media akhirnya memperkuat jurang sosial, bukan menjembatani.

Fenomena pudarnya empati pada sebagian orang kaya menunjukkan bahwa materi tidak otomatis sejalan dengan nilai kemanusiaan. Empati tetap penting agar kesenjangan sosial tidak makin dalam, sekalipun kondisi finansial berbeda jauh. Justru karena kaya memberi banyak privilese, tanggung jawab moral untuk menjaga empati seharusnya semakin besar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Atqo Sy
EditorAtqo Sy
Follow Us

Latest in Opinion

See More

Mengapa Makin Kaya Seseorang Makin Hilang Empati?

07 Sep 2025, 08:18 WIBOpinion
Bendera Merah Putih.png

Rasa Itu...

11 Agu 2025, 15:01 WIBOpinion