Miftah dan Es Teh, Hilangnya Moralitas dan Etika Publik

Beberapa hari yang lalu, tersebar potongan video singkat yang menunjukkan seorang pedagang es teh dan minuman botol menjadi objek ejekan di depan umum oleh seseorang yang dikenal sebagai tokoh agama. Peristiwa ini memicu diskursus etis dan sosial yang mendalam, terutama karena tokoh tersebut, Miftah Maulana, dikenal luas sebagai figur publik yang berperan dalam membangun narasi agama dan toleransi. Video tersebut memancing reaksi keras dari masyarakat, terutama netizen, yang mengecam tindakan tersebut sebagai pelanggaran nilai moral dan etika. Setelah insiden ini viral, Miftah Maulana membuat video klarifikasi dan permintaan maaf bersama pedagang yang bersangkutan.
Peristiwa ini membuka pertanyaan mendalam tentang moralitas, martabat manusia, dan tanggung jawab seorang tokoh masyarakat. Sebagai pemimpin spiritual, Miftah Maulana memiliki posisi strategis untuk menjadi teladan dalam membangun narasi positif di tengah masyarakat. Namun, tindakan mengejek seorang pedagang kecil justru menunjukkan penyimpangan dari nilai-nilai tersebut.
Dalam Islam, penghormatan terhadap manusia, tanpa memandang status sosial atau pekerjaan, merupakan prinsip fundamental. Mengolok-olok seseorang di depan publik merupakan bentuk penghinaan terhadap harga diri manusia, yang bertentangan dengan ajaran Islam. Islam sangat menjunjung tinggi konsep karamah insaniyyah (kemuliaan manusia) dan melarang segala bentuk perilaku yang merendahkan martabat sesama.
Secara sosial, tindakan seperti ini memiliki dampak jangka panjang yang signifikan. Ejekan terhadap profesi yang dianggap “rendah” dapat memperkuat stigma sosial terhadap pekerjaan informal. Dalam teori fungsionalisme struktural oleh Émile Durkheim, setiap pekerjaan, termasuk pekerjaan kecil, memiliki peran vital dalam menjaga keseimbangan sosial. Pekerjaan seperti penjual es teh merupakan bagian dari ekonomi mikro yang menopang kehidupan sehari-hari masyarakat.
Namun, ketika profesi ini menjadi bahan ejekan, muncul risiko "othering" atau pengucilan, di mana kelompok tertentu merasa teralienasi dari masyarakat. Fenomena ini tidak hanya melukai individu yang bersangkutan, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang kurang inklusif dan kurang menghargai keberagaman pekerjaan.
Sebagai tokoh publik, Miftah Maulana memiliki tanggung jawab moral untuk menggunakan pengaruhnya secara positif. Tindakan merendahkan profesi tertentu, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai humor, memperlihatkan ketidaksensitifan terhadap konteks sosial yang lebih luas.
Dari perspektif psikologi, tindakan tersebut dapat menimbulkan dampak yang mendalam bagi individu yang menjadi sasaran. Harga diri individu yang diejek di depan umum bisa saja terluka, terutama jika hal itu terjadi di hadapan banyak orang. Luka psikologis yang dihasilkan dapat menciptakan rasa malu, rendah diri, dan bahkan trauma sosial.
Menurut teori self-esteem oleh Carl Rogers, penghargaan terhadap diri (self-worth) seseorang sangat dipengaruhi oleh bagaimana ia diperlakukan oleh orang lain, terutama dalam situasi sosial. Ketika seseorang dipermalukan di depan umum, rasa percaya dirinya dapat terkikis, yang berpotensi memengaruhi produktivitas dan semangat hidup.
Selain itu, ejekan terhadap profesi tertentu dapat memperkuat stigma internal, di mana seseorang mulai meragukan nilai dari pekerjaan yang dilakukannya. Hal ini menciptakan dampak psikologis negatif, tidak hanya bagi individu tetapi juga komunitas yang bekerja di sektor informal.
Fenomena ini menuntut refleksi mendalam terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan. Penghormatan, empati, dan belas kasih harus menjadi landasan moral yang kokoh dalam interaksi sosial. Terutama bagi tokoh masyarakat, tindakan mereka memiliki dampak yang jauh lebih besar karena diikuti oleh banyak orang.
Dalam konteks ini, Miftah Maulana seharusnya menjadi agen perubahan (agent of change) yang mampu membangun narasi inklusif, bukan justru memperburuk stigma sosial. Sebagai tokoh agama yang diharapkan merepresentasikan nilai-nilai Islam, tindakan seperti mengejek rakyat kecil bertentangan dengan prinsip dakwah yang seharusnya membawa rahmat dan penghormatan bagi semua lapisan masyarakat
Peristiwa ini memberikan pelajaran penting bahwa moralitas dan nilai kemanusiaan harus tetap menjadi landasan dalam setiap tindakan, terutama di era media sosial di mana segala sesuatu dengan cepat menjadi konsumsi publik. Sebagai masyarakat, kita diajak untuk kembali merekonstruksi nilai-nilai etika yang menjunjung martabat manusia, tanpa memandang status sosial atau jenis pekerjaan.
Tokoh publik seperti Miftah Maulana memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi teladan yang baik, membangun solidaritas sosial, dan menghormati semua profesi. Dengan demikian, masyarakat yang majemuk dapat berkembang dalam harmoni dan saling menghargai.