Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OP-ED] Apakah Seorang Muslim Berhak Memaksakan Islam ke Penganut Agama Lain?

redaksiindonesia.com

Saya tertegun dengan tulisan Afi Nihaya Faradisa melalui status facebook-nya yang beberapa hari ini ramai dibicarakan orang di dunia maya. Terutama tulisannya yang bertajuk "Warisan", sebuah kritik kepada umat beragama yang sering terlibat dalam perdebatan tentang agama siapa yang paling benar. Perdebatan yang berbuah konflik yang terkadang mengarah kepada tindakan kekerasan. 

Kritikan Afi ini menjadi sebuah nasihat yang cukup bijak, terutama kepada umat Islam. Afi seperti mengembalikan pemahaman dasar tentang kebenaran Islam dan bagaimana tata cara menyampaikan kebenaran Islam kepada penganut agama lain. Jika kita runut kembali kepada kitab suci Alquran, kritikan Afi ini sejalan dengan apa yang termaktub di dalam Surah Al-Baqarah ayat 256, yang berbunyi " Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang (teguh) kepada buhul tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui"

Paksaan dalam menganut agama Islam sebagaimana yang dimaksud oleh ayat ini juga bermakna tentang tidak pantasnya seorang muslim memaksakan  pemahaman tentang kebenaran mutlak agama Islam kepada penganut agama lain. Sebab, hal tersebut akan menyebabkan konflik yang nantinya akan semakin memudarkan sisi kebenaran Islam yang sebenarnya. Dalam tingkatan yang lebih parah, Islam yang pada dasarnya dikenal sebagai agama yang damai dan toleran, akhirnya akan dicap sebagai agama yang mengutamakan kekerasan dan intoleran. 

Ayat ini juga bisa dipahami bahwa Allah memerintahkan umat Islam untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan kebenaran Islam. Allah yang telah menganugerahkan akal dan pikiran kepada manusia, itu juga berarti Allah memberikan ruang yang cukup luas kepada manusia untuk memahami kebenaran yang hakiki.

Di samping tentang kebenaran Islam ini, perkara yang terkait dengan ajaran juga perlu disampaikan secara hati-hati. Terutama pada ajaran yang menyinggung keberadaan agama lain. Adakalanya, Umat Islam harus memahami tentang penggunaan ruang publik dalam menyampaikan ajaran Islam. Dalam artian, ada ajaran Islam yang hanya bisa disampaikan dalam ruang terbatas. Seperti ajaran tentang memilih pemimpin yang seiman. 

Mengapa ajaran tersebut tidak bisa disampaikan dalam ruang publik? Karena hal tersebut hanya akan menimbulkan kemudharatan bagi Islam itu sendiri. Sebagai contoh, kita lihat apa yang terjadi di sepanjang Pilkada DKI Jakarta. Perintah Surat Al-Maidah yang sebetulnya hanya tertuju kepada umat Islam yang beriman saja, yakni perintah untuk memilih awliya yang seiman, malah dipahami oleh publik sebagai bentuk keegoisan umat Islam dan menghambat umat Agama lain nyatanya memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin di negeri ini. Di samping itu, timbul pula dugaan bahwa ayat Alquran hanya digunakan untuk senjata politik. Dan yang lebih parah, hal tersebut membuat seorang Ahok menuding pihak yang menyampaikan ayat tersebut hanya untuk "membohongi" publik.

Sebagai muslim, anggapan tersebut tentu saja tidak bisa diterima. Namun, inilah kemudharatan yang dihadapi oleh umat Islam ketika tidak berhati-hati dalam menyampaikan sebuah ajaran agama. Perintah tentang memilih awliya yang seiman itu sepatutnya hanya disampaikan dalam ruang yang terbatas –yakni dalam lingkungan umat Islam– dan dalam konteks ibadah saja, bukan dalam konteks berkenegaraan. Agar, tidak ada persepsi yang mengatakan bahwa umat Islam memaksakan ajaran agamanya kepada umat agama lain dan menganggap bahwa hanya Islam-lah agama yang paling benar. 

Dalam bentuk lain, Umat Islam juga bisa menyampaikan ajarannya dalam dengan menggunakan cara yang berbeda, namun arah dan tujuannya sama. Seperti pada ajaran tentang kepemimpinan ini. Jika umat Islam menginginkan pemimpin yang se-agama, Muslim bisa bersatu untuk mengusung calon pemimpin muslim yang benar-benar memiliki kredibilitas yang tinggi, amanah, serta memiliki kualitas yang tinggi. Para Ulama, bisa memfokuskan diri untuk menyampaikan ajakan untuk memilih pemimpin yang amanah, berkualitas, dan dapat dipercaya. Jika sang calon dapat meyakinkan publik tentang kualitasnya, tidak perlu lagi ajakan untuk memilih pemimpin yang seiman itu disampaikan. Karena publik sudah fokus kepada kualitas kepemimpinan yang ada pada kandidat tersebut. Dengan demikian, tidak akan ada lagi anggapan yang menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang intoleran. Karena jelas, langkah yang dilakukan oleh umat Islam adalah untuk kepentingan bersama dan demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Terakhir, saya ingin mengajak kepada siapapun yang telah meyakini ajaran agama yang ia pilih. Tunaikanlah ajaran agama yang dianut dengan benar dan sepenuh hati. Kita tidak akan pernah bisa menyampaikan kepada kebenaran agama yang kita anut kepada umat agama lain. Namun, kita menunjukkan kepada siapapun bahwa kita bisa hidup dengan benar melalui agama yang kita anut. Sangat ironis, jika kita mengatakan bahwa agama yang kita anut adalah agama yang paling benar, tetapi kita masih saja melakukan pelanggaran terhadap ajaran agama kita sendiri. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Yogie Fadila
EditorYogie Fadila
Follow Us