5 Fakta Tarsius Mentilin, Primata Terkecil dari Bangka Belitung

- Mentilin, primata terkecil dari Bangka Belitung
- Habitat dan sebaran Mentilin tersebar di Pulau Bangka dan memiliki peran penting dalam menjaga ekosistem serta berkontribusi dalam penyebaran benih terbatas.
- Ancaman dan tantangan konservasi Populasi Mentilin semakin menurun karena alih fungsi hutan, perburuan, perdagangan satwa liar, dan keyakinan masyarakat.
Mentilin merupakan sebutan masyarakat lokal Pulau Bangka untuk primata mungil eksotis dengan nama Latin Tarsius Bancanus. Untuk seekor primata, ukuran mentilin tergolong sangat kecil dengan panjang tubuh sekitar 12-15 cm dengan berat rata-rata untuk pejantan 128 gram dan betina 117 gram. Hewan ini juga disebut sebagai kera hantu karena terlihat seperti perpaduan antara keduanya dengan keunikan mampu memutar kepala hingga 180 derajat layaknya burung hantu.
Mentilin termasuk jenis satwa nokturnal arboreal yang berarti aktif di malam hari dan menghabiskan sebagian besar aktivitasnya di atas pohon. Mentilin akan menggerakkan kedua telinganya untuk mendeteksi mangsa yang berada dalam radius 6-10 meter.
Masih soal kemiripannya dengan burung hantu, mentilin memiliki diameter bola mata mencapai 16 mm yang seukuran dengan besar keseluruhan otaknya. Selain ciri-ciri fisiknya yang unik dan eksotis, masih banyak pengetahuan yang bisa kita pelajari dari primata yang satu ini. Yuk, kita simak faktanya berikut ini!
1. Habitat dan sebaran

Mengutip dari Buku Mentilin: Si Mungil dari Pulau Seribu Kulong oleh Randi Syafutra, Penerbit BRIN, tarsius barat Cephalopachus terdiri dari satu spesies (C. bancanus) dengan empat subspesies, yaitu C. b. bancanus (Pulau Bangka dan Sumatra Selatan), C. b. borneanus (Borneo dan Pulau Karimata), C. b. natunensis (Kepulauan Natuna, terutama Pulau Serasan dan Pulau Subi), dan C. b. saltator (Pulau Belitung) (Roos et al., 2014).
Masyarakat Pulau Bangka biasa menyebut tarsius C. b. bancanus dengan mentilin. Habitat mentilin di Pulau Bangka umumnya ditemukan di kawasan hutan karet yang berumur 10 tahun ke atas yang bercampur dengan hutan bambu ater dan perkebunan lada (Syafutra, 2016). Sementara sebagai vegetasi tidur dan beraktivitas sehari-hari, mentilin memanfaatkan pohon dengan tinggi lebih dari 1,5 meter dan batang berdiameter kurang dari 10 cm.
2. Peran dalam ekosistem

Mentilin berperan penting dalam menjaga ekosistem di Kepulauan Bangka Belitung. Satwa unik ini merupakan satu-satunya primata yang sepenuhnya karnivor, memangsa serangga seperti kumbang, semut, belalang, kecoak, ngengat, kupu-kupu dan jangkrik. Selain serangga, mentilin juga pemangsa vertebrata seperti burung, kelelawar buah yang lebih kecil, laba-laba, katak, kadal, tikus dan ular (Syafutra, 2016).
Populasi mentilin yang semakin menurun berdampak pada peningkatan jumlah serangga sebagai hama alami yang merusak tanaman perkebunan milik warga di Pulau Bangka. Meskipun bukan pemakan buah utama, mentilin berkontribusi dalam penyebaran benih terbatas atau membantu penyerbukan saat berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
3. Ancaman dan tantangan konservasi

Tingkat populasi mentilin di Pulau Bangka saat ini semakin menurun dan mengkhawatirkan. IUCN Red List of Threatened Species telah menetapkan status mentilin dari Pulau Bangka sebagai Endangered (EN). Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, mentilin diklasifikasikan sebagai spesies yang dilindungi. Status ini didasarkan pada kondisi habitat mentilin yang semakin terancam.
Khususnya di Pulau Bangka, berbagai faktor penurunan ketersediaan habitat dan populasi mentilin disebabkan oleh proses alih fungsi hutan menjadi area pertambangan timah ilegal, perkebunan sawit skala besar, permukiman, pembalakan liar, banjir dan kebakaran hutan. Di samping itu perburuan dan perdagangan satwa liar menjadi penyebab tambahan populasi mentilin semakin menurun.
Perburuan mentilin terjadi di beberapa daerah di Pulau Bangka untuk tujuan jual beli. Para pembeli ini mengetahui bahwa mentilin adalah hewan langka dan unik. Namun tidak satu pun yang berhasil memelihara karena tingkat sensitifitasnya terhadap stres cukup tinggi. Selain perburuan untuk jual beli, tingkat pembunuhan terhadap satwa mungil ini marak terjadi akibat keyakinan para orang tua bahwa mentilin adalah hewan pembawa bencana dan hama bagi tanaman kebunnya.
4. Reproduksi dan perilaku sosial

Pada umumnya tarsius mentilin hidup berpasangan monogami atau dalam kelompok keluarga kecil. Dikutip dari billitonecapture.com, mentilin jantan mengejar dan memanggil betina di wilayah kekuasaannya sebagai bagian dari masa pacaran selama beberapa jam. Betina akan menentukan jantan yang mereka sukai dan berapa lama waktu yang dihabiskan untuk bersama.
Komunikasi di antara mentilin dilakukan dengan suara berfrekuensi tinggi yang terkadang tidak terdengar oleh manusia. Interaksi sosial primata ini cukup terbatas namun sangat kuat di antara kelompoknya. Tahukah kamu, pada proses kehamilan, mentilin akan mengandung selama 180 hari. Interval reproduksi sekitar 1 tahun sekali dengan jumlah anak 1 individu per kelahiran.
5. Upaya pelestarian

Harapan selalu ada dan belum padam! Upaya konservasi dan pelestarian akan terus dilakukan untuk menjaga hewan mungil dan lucu ini. Para pegiat lingkungan dan lembaga swadaya masyarakat melakukan pelepasliaran mentilin yang sebelumnya ditangkap dan terluka. Penelitian genetika, populasi dan perilaku dilakukan untuk memastikan konservasi dilakukan dengan data yang akurat.
Tak kalah penting, edukasi kepada masyarakat lokal terus digalakkan. Siswa sekolah, petani dan tokoh adat diajak untuk lebih mengenal mentilin bukan sebagai komoditas atau peliharaan tetapi sahabat hutan yang harus dijaga.
Konservasi dan pelestarian mentilin bukan hanya tentang menyelamatkan satu spesies. Lebih dari itu, kita mempunyai tanggung jawab besar dalam menjaga keseimbangan hutan dan keanekaragaman hayati. Masa depan alam Indonesia layak kita lindungi agar generasi mendatang masih bisa mendengar suara-suara malam dari satwa penjaga rimba ini.