Benarkah Indonesia Tidak Bisa Deteksi Pestisida di Mi Instan?

Perlu ada regulasi pasti soal pestisida di makanan!

Dari es krim hingga mi instan, pada Juni hingga Juli 2022 kemarin, BPOM Taiwan menyingkirkan produk-produk yang diketahui mengandung pestisida berupa etilen oksida (EtO). Selain es krim, salah satunya adalah produk mi instan terkenal.

Oleh karena itu, muncul kekhawatiran kalau mi instan yang kita makan selama ini juga mengandung pestisida. Dari berbagai sumber, mencuat pertanyaan bahwa apakah Indonesia tidak memiliki teknologi untuk menganalisis pestisida secanggih Taiwan, Hong Kong, maupun Singapura? Faktanya, apakah benar begitu?

1. Mi instan yang dicekal di Singapura dan Hong Kong

Benarkah Indonesia Tidak Bisa Deteksi Pestisida di Mi Instan?ilustrasi mi instan (Unsplash/Fernando Andrade)

BPOM RI menjelaskan bahwa EtO adalah suatu senyawa yang digunakan sebagai pestisida untuk fumigasi atau sterilisasi produk. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian/Permentan Nomor 43/2019 tentang Pendaftaran Pestisida, EtO termasuk dalam bahan yang dilarang sebagai pestisida dan bahan tambahan pestisida.

Merespons pertanyaan mengenai penarikan produk Mie Sedaap di Hong Kong, BPOM RI menjelaskan bahwa hal ini dikarenakan terdeteksi residu pestisida EtO di blok mi kering, bubuk cabe, dan bumbu. Sementara, Singapura menolak Mie Sedaap karena mendeteksi residu EtO di bubuk cabe yang tak sesuai dengan peraturannya.

"Berdasarkan penelusuran Badan POM, produk Mie Sedaap yang ditarik di Hong Kong dan Singapura, berbeda dengan produk yang beredar di Indonesia, walaupun terdapat varian yang sama dengan yang beredar di Indonesia," tulis BPOM.

Dalam pernyataannya pada 11 Oktober 2022 kemarin, BPOM RI menjabarkan varian Mie Sedaap yang dicekal di Hong Kong dan Singapura, yaitu:

  • Hong Kong:
    • Mie Sedaap Korean Spicy Chicken Flavour Fried Noodle
  • Singapura:
    • Mie Sedaap Korean Spicy Soup dan Mie Sedaap Korean Spicy Chicken (kadaluarsa 21 Mei 2023)
    • Mie Sedaap Soto flavour dan Mie Sedaap Curry flavour

2. Belum ada standar bakunya

BPOM RI mengatakan bahwa sejauh ini, Codex Alimentarius Commission (CAC), organisasi internasional di bawah naungan Badan Kesehatan Dunia/WHO dan Organisasi Pangan dan Pertanian/FAO, belum mengatur batas maksimal residu EtO dan 2-Kloroetanol (2-CE)

Meski begitu, bukan berarti harusnya hilang kendali. BPOM RI meluruskan bahwa Guidelines for Rapid Risk Analysis Following Instances of Detection of Contaminants in Food Where There is no Regulatory Level pada 2019 menetapkan batas maksimum kontaminan yang belum ada (seperti EtO dan 2-CE) hingga 0,001mg/kg.

BPOM RI menjamin telah meminta produsen untuk menarik produk dari negara tujuan ekspor. Selain itu, BPOM RI juga tengah membuat Pedoman Mitigasi Risiko Senyawa Etilen Oksida dalam Pangan Olahan.

"Sepanjang memiliki izin edar, maka produk mi instan yang beredar di Indonesia aman dikonsumsi masyarakat, karena Badan POM telah melakukan evaluasi terhadap aspek keamanan dan mutu untuk perlindungan terhadap kesehatan masyarakat," tulis BPOM RI di akhir pernyataan.

Baca Juga: Singapura Tarik Dua Varian Mie Sedaap, Kenapa? 

3. Instrumen? Ada. Metode? Masih harus dicari

Diminta pendapatnya oleh IDN Times, peneliti Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) BRIN, Dr. Dwiyitno, S.Pi, M.Sc., mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya sudah punya banyak instrumen untuk menganalisis jenis pestisida, termasuk EtO. Meski begitu, kendala terbesar adalah batas deteksi. 

"Makin kecil konsentrasi yang diinginkan untuk dianalisis, perlu teknologi yang lebih mutakhir. Kalau 0,005 [mg/kg] masih bisa," ujar Dr. Dwiyitno saat dihubungi via WhatsApp pada Kamis (20/10).

Dari segi teknologi, Dr. Dwiyitno mengatakan bahwa Indonesia punya teknologi untuk menganalisis pestisida, termasuk EtO. Teknologi tersebut adalah kromatografi gas dan cair. Namun, makin rendah konsentrasi yang ingin diteliti, maka perlu teknologi yang lebih canggih sehingga alatnya pun makin mahal.

"Akan tetapi, untuk etilen oksida hanya dengan kromatografi gas saja," kata Dr. Dwiyitno.

Benarkah Indonesia Tidak Bisa Deteksi Pestisida di Mi Instan?Ilustrasi laboratorium (pixabay.com/Michal Jarmoluk)

Selain itu, pengembangan metode tidaklah murah. Oleh karena itu, Dr. Dwiyitno mengatakan bahwa metode analisis EtO dikembangkan sesuai kebutuhan pasar. Karena tak ada standar pasti untuk analisis EtO, maka metode analisis tersebut tak dikembangkan.

Menurut Dr. Dwiyitno, teknologi analisis pun bisa dipecah dari level riset hingga pengujian komersial. Perbedaannya ada di tingkat presisi. Sementara riset tidak membutuhkan presisi tinggi, analisis komersial untuk produk pangan membutuhkan akurasi tinggi.

"Teknologi analisis kita punya, tetapi apakah sudah dikembangkan untuk analisis etilen oksida? Itu yang perlu dicari tahu. Kalau gak ada masalah, kita tidak terlalu aware untuk melakukannya. Ketika ada masalah seperti ini, kita baru aware mengembangkan analisisnya," kata Dr. Dwiyitno menekankan.

4. Mencari jarum dalam jerami

Kemudian, Dr. Dwiyitno menjelaskan bahwa EtO adalah adalah fumigan yang diberikan ke produk pangan untuk mencegah serangan hama dan penyakit tanaman. Di pangan, EtO digunakan untuk memperpanjang usia simpan. Sifat gas EtO memengaruhi residunya dalam produk. 

Menurutnya, mencari konsentrasi EtO dalam produk seperti "mencari jarum di tumpukan jerami". Ini dikarenakan kadar EtO bisa amat kecil saat berada di produk, sehingga analisis jadi sulit. Dengan kata lain, sementara EtO bisa dianalisis, jika sudah menjadi satu dengan produk di konsentrasi amat minim, sulit untuk dianalisis.

"Bisa atau tidak? Bisa. Namun, kalau sudah jadi produk dengan konsentrasi amat rendah, itu menjadi galat dalam analisis ... Harus dicek dulu ... Apakah mereka tidak melakukan itu karena memang ketidakmampuan teknologi, atau karena memang tidak ada permintaan dari pasar,” papar Dr. Dwiyitno.

Saat ini, belum ada standar mengenai pestisida yang diperbolehkan. Meski begitu, Dr. Dwiyitno menyerukan untuk segera menentukan standar agar konsumsi masyarakat menjadi aman dan produsen bisa terarah dalam mempertanggungjawabkan usahanya.

5. Tak terasa kini, terasa nanti

Benarkah Indonesia Tidak Bisa Deteksi Pestisida di Mi Instan?ilustrasi mi instan (pixabay.com/half_rain)

Diwawancara secara terpisah, ahli gizi dan dosen di Universitas Alma Ata Yogyakarta, Dr. Arif Sabta Aji, S.Gz., mengatakan bahwa sebenarnya, konsumsi masyarakat tidak seharusnya mengandung pestisida. Hal ini dikarenakan EtO bersifat karsinogen, sehingga bisa menyebabkan kanker bila terpapar dalam jangka panjang.

Jika dikonsumsi sedikit dan dalam jangka pendek, Dr. Arif mengatakan bahwa tak ada dampak signifikan karena kadar EtO yang relatif sedikit. Dampak jangka panjang dari EtO adalah kanker karena zat kimia yang menumpuk di dalam tubuh.

“Kebanyakan menyerang pencernaan karena makanan juga masuk ke pencernaan,”

Saat dikonsumsi jangka pendek, dampak EtO hampir tak terasa. Kemudian, Dr. Arif meluruskan bahwa EtO adalah bahan pengawet makanan dan juga sterilizer. Digunakan ke makanan, EtO ini bisa meningkatkan usia simpan.

“Kalau konsumsi 1–2 mungkin tidak ada dampak signifikan. Kalau setiap hari konsumsi mi terus, lama-lama kan menumpuk. Akibatnya, memberikan efek yang cukup signifikan,” tutup Dr. Arif.

Baca Juga: Wings Bantah Produk Mie Sedaap Mengandung Pestisida 

Topik:

  • Fatkhur Rozi

Berita Terkini Lainnya