Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bukan Fiksi, Quantum Realm di Film Ant-Man Ternyata Nyata!

(Dok. Disney)

Rilis pada 15 Februari 2023, Ant-Man & the Wasp: Quantumania menjadi film ketiga dari seri pasangan pahlawan super yang bisa mengecil dan membesar tersebut. Dari film pertamanya pada 2015, kita diperkenalkan dengan teori semesta kuantum atau Quantum Realm. Menurut Hank Pym, Quantum Realm adalah

"Sebuah realita di mana semua konsep ruang dan waktu menjadi tidak relevan seiring kamu terus mengecil selamanya."

Sementara masih asing di film ke-1, dua film Ant-Man berikutnya justru membongkar Quantum Realm, menyelamatkan Janet van Dyne hingga bertemu Kang The Conqueror. Namun, tahukah kamu kalau sebenarnya semesta kuantum adalah konsep nyata di dunia ini? Kalau belum tahu, ini penjelasan mengenai Quantum Realm di dunia nyata!

Marvel sampai berkonsultasi ke ilmuwan langsung

Evangeline Lilly dan Paul Rudd dalam film Ant-Man and the Wasp (dok. Marvel Studios/Ant-Man and the Wasp)

"Apakah kalian hanya menyisipkan kata 'Quantum' untuk segalanya?"

Ada berbagai anggapan kalau istilah dan ilmu kuantum di Marvel Cinematic Universe (MCU) adalah bualan belaka. Toh, sebelum Ant-Man, MCU tak mengungkit apa pun soal alam sub-atomik ini.

Memang, untuk film Ant-Man, Marvel ingin aspek ilmiah benar-benar ditonjolkan. Hal ini dilakukannya pada 2014 melalui konsultasi dengan pakar fisika kuantum di California Institute of Technology (CalTech), Dr. Spiros Michalakis.

Bahkan, Michalakis mengatakan bahwa dibanding pahlawan super lainnya, Ant-Man adalah yang paling kuat. Menurutnya, pahlawan super lain di jagat komik dan film lainnya terbatas oleh hukum fisika. Hal inilah yang menurut Michalakis membuat Ant-Man berbeda dari superheroes lainnya, bahkan Superman.

"Namun, bila seseorang bisa pergi ke tempat di mana hukum fisik yang kita tahu belum terbentuk ..., kekuatan seperti yang dimiliki penguasa alam kuantum tergantung dari kemampuan mereka bisa kembali ke realita yang sama. Seluruh pahlawan super Marvel dan DC tak bisa mengalahkan Ant-Man dengan regulator yang rusak," tulis Michalakis dalam blog-nya pada 2015.

Lo, kok "regulator bermasalah"? Sekadar mengingatkan, Pym sempat mengingatkan Lang untuk tidak "bermain-main dengan regulator di ikat pinggang kostum Ant-Man" karena bisa menyebabkannya mengecil ke ukuran sub-atomik dan tak bisa kembali lagi, nasib yang awalnya menimpa Janet.

Nama Quantum Realm di MCU pun dicetuskan oleh Michalakis. Di komik, mungkin jagat ini dikenal sebagai Microverse. Namun, menghindari masalah legal, Marvel ingin memakai istilah lain. Michalakis menawarkan frasa Quantum Realm yang kemudian dipakai di trilogi Ant-Man dan (mungkin) film fase MCU yang akan datang.

Mekanika kuantum untuk mengenal Quantum Realm

Mengenal Quantum Realm berarti mengenal Mekanika Kuantum (Quantum Mechanism). Dalam artikelnya di Live Science, profesor astrofisika di SUNY Stony Brook University dan Flatiron Institute New York City, Paul M. Sutter, mengatakan bahwa mekanika kuantum menjelaskan perilaku partikel kecil.

Menurut Sutter, hal menarik dari mekanika kuantum adalah ambiguitas atau tak ada yang akan tahu hasil sebelum benar-benar terlihat. Ia memberi contoh bahwa elektron bisa hadir dalam berbagai keadaan di satu waktu. Namun, saat seseorang ingin mengukurnya, maka elektron tersebut "memilih salah satu keadaan".

"Jika saya melempar bola ke arahmu, kamu bisa menggunakan pengetahuan fisika [contohnya hukum Newton] untuk memprakirakan ke mana bola tersebut pergi. Namun, bila saya menembakkan elektron, kamu tak tahu di mana elektron tersebut akan pergi," tulis Sutter.

ilustrasi fisika kuantum (pixabay.com/geralt)

Meski begitu, Sutter menjelaskan bahwa ada "alat" untuk membuat prediksi dalam mekanika kuantum, persamaan Schrödinger. Dicetuskan pada 1925 oleh fisikawan Austria, Erwin Schrödinger, persamaan Schrödinger menetapkan bagaimana fungsi gelombang di tiap partikel berevolusi seiring waktu.

Dalam pengertian standar mekanika kuantum, Sutter menjelaskan bahwa fungsi gelombang adalah sekumpulan kemungkinan yang menjelaskan celah kesempatan untuk melihat sebuah partikel tertentu yang dicari.

"Jika gelombang fungsi memiliki nilai tinggi, kemungkinan menjadi besar, dan jika nilai kecil, maka kemungkinan menjadi kecil," tulis Sutter.

Meski begitu, persoalan dari persamaan ini adalah saat para peneliti ingin melakukan pengukuran. Saat tak dilihat, gelombang fungsi berevolusi sendiri seturut persamaan Schrödinger. Namun, saat ingin diukur, fungsi gelombang ini "runtuh" dan partikel jadi hanya ada di satu lokasi.

Superposisi dan Kucing Schrodinger

Dengan kata lain, manusia hidup di dunia yang tak bisa ditentukan secara pasti. Jika kita menembakkan elektron melalui medan magnet, setengah elektron akan membelok ke satu arah, dan yang lain akan berbelok ke arah berlawanan.

Sementara bisa diprakirakan secara matematis, Sutter mengatakan manusia tak bisa menetapkan arah perginya elektron tersebut hingga eksperimen benar-benar dilakukan. Inilah yang dikatakan sebagai "superposisi".

"Untuk eksperimen apa pun yang bisa menghasilkan hasil acak, sebelum kita melakukan pengukuran, sistem akan dianggap berada di kondisi superposisi terhadap seluruh keadaan yang memungkinkan. Saat melakukan pengukuran, sistem ini 'runtuh' ke keadaan tunggal yang diobservasi," tulis Sutter.

Salah satu contoh dari gagasan ini adalah saat Erwin Schrödinger pada 1935 membuat perumpamaan yang dikenal sebagai "Kucing Schrödinger". Letakkan kucing dan elemen radioaktif yang beracun dalam sebuah kotak. Jika kita tak melihat ke dalam kotak tersebut, kita tak pernah tahu apakah kucing tersebut tetap hidup atau tidak.

Dalam mekanika kuantum, kucing ini tak hidup maupun mati, melainkan ada dalam keadaan superposisi kuantum atau hidup dan mati. Saat kita membuka kotak tersebut, barulah kita bisa tahu keadaan kucing tersebut. Hal ini juga membuat superposisi "runtuh" dan kucing ada dalam satu keadaan, hidup atau mati.

Dengan kata lain, fungsi gelombang memenuhi persamaan Schrödinger saat tak diobservasi, dan saat diobservasi, fungsi gelombang runtuh. Mungkin dia pemalu?

Belitan kuantum bisa menjawab?

ilustrasi belitan kuantum atau quantum entanglement (astronomy.com)

Yang jelas, Sutter mengatakan bahwa hal ini menghasilkan berbagai interpretasi, seperti Interpretasi Many-Worlds oleh Hugh Everett (1957) dan Teori Pilot Wave oleh Louis de Broglie (1927). Interpretasi dan teori ini menaikkan pangkat fungsi gelombang, dari yang semula hanya alat matematika menjadi objek nyata.

"Tak ada yang pengukuran, proses khusus, atau 'trik sihir' yang membuat fungsi gelombang hilang. Tiap partikel dalam semesta memiliki fungsi gelombang sendiri, dan fungsi gelombang ini terus berevolusi mengikuti persamaan Schrödinger selamanya," tulis Sutter.

Saat dua partikel berinteraksi, fungsi gelombangnya tumpang tindih dalam waktu singkat tetapi selamanya terbelit. Jadi, satu fungsi gelombang bisa menjelaskan kedua partikel bersamaan. Menurut CalTech, proses inilah yang dikenal sebagai belitan kuantum (entanglement).

Tak terhitung, belitan ini bisa terjadi di banyak partikel dan terjadi di atom serta molekul di makhluk hidup maupun benda mati. Saat partikel-partikel terbelit, mereka berperilaku layaknya satu objek. Saat tiap partikel di alam semesta terbelit dengan partikel lainnya, ini membentuk fungsi gelombang universal yang menjelaskan seluruh alam semesta.

Kemungkinan multimesta akibat Quantum Realm

Meski sudah ada fungsi gelombang universal, mekanika kuantum masih tidak bisa ditentukan secara pasti. Tiap interpretasi mengatakan bahwa fungsi gelombang terpecah setelah interaksi kuantum.

Pecahan ini membentuk semesta yang memuat satu hasil yang mungkin terjadi atau multimesta kuantum (quantum multiverse). Lo, dari Ant-Man kok malah jadi Doctor Strange?

"Jadi, jika kita menembakkan elektron menembus sebuah layar dan ada kemungkinan 50/50 elektron naik atau turun, maka ada satu semesta di mana elektron naik dan semesta lain di mana elektron turun," tulis Sutter.

Karena tiap interaksi yang kita buat juga bersifat kuantum, maka ada multimesta yang memiliki berbagai skenario alternatif dari berbagai pilihan yang tidak kamu buat selama hidup. Malah, Sutter mengatakan bahwa kita saat ini terus "terpecah" dalam multimesta seiring dengan tiap pilihan, gerakan, dan perilaku yang kita buat.

ilustrasi keberadaan multiverse, berbagai alam semesta lain (pixabay.com/geralt)

Bukan hanya yang sadar, melainkan setiap interaksi! Baru bangun dari kasur, kamu sudah memicu berbagai multimesta kecil dengan detail yang berbeda. Namun, menurut Sutter, ada masalah yang lebih pelik.

Manusia memiliki kesadaran yang tak terbatas, dan perlu waktu bagi otak untuk mengintegrasikan seluruh input panca indra menjadi satu pengalaman kesadaran. Jika kita terus terbelah ke dalam berbagai multimesta, bagaimana manusia bisa menjaga "riwayat" identitasnya?

Tak ada teori fisika yang bisa menjelaskan bagaimana multimesta bisa terjadi, seberapa cepat terjadinya, dan mengapa tak ada yang bisa merasakannya. Dengan kata lain, multimesta adalah hal yang belum bisa terjawab.

"Pertanyaan-pertanyaan ini masih dicari tahu lewat penelitian. Jadi, masih tak jelas apakah multimesta kuantum benar-benar ada atau tidak," tandas Sutter.

Kita hidup dalam Quantum Realm, sebenarnya

Jadi, di manakah Quantum RealmDiscover menjelaskan bahwa sebenarnya kita hidup dalam alam kuantum. Toh, pada dasarnya, mekanika kuantum menjelaskan fenomena semesta, termasuk apa yang terjadi sehari-hari.

Tak perlu ribet, Louisiana State University (LSU) menjelaskan bahwa fisika kuantum ada di berbagai benda modern, dari magnet di kulkas, mesin MRI, hingga HP. Malah, saking umumnya, kita tak bisa lagi membedakan mana fisika biasa dengan fisika kuantum. 

Masalahnya, mata kita tak bisa menangkap efek kuantum semudah itu. Setuju dengan film Ant-Man, Profesor fisika University of Minnesota, Jim Kakalios, mengatakan bahwa manusia perlu menyusut seukuran atom untuk mengalami pengalaman kuantum.

Masalahnya, semua atom memiliki ukuran yang sama dan tak bisa mengecil semudah itu. Tanya Darren Cross alias Yellowjacket, ia pun tahu betapa sulitnya. Manusia terdiri dari 7 oktiliun atom (percayalah, nolnya ada 27 alias banyak banget!), dan mengecilkan seluruhnya tanpa kegagalan? Inilah yang masih mustahil.

"[Manusia] perlu menemukan cara untuk mengubah konstan dasar alam semesta untuk mengubah ukuran atom. Tidak ada cara untuk hal tersebut," ujar Kakalios.

Partikel Pym yang membantu Ant-Man berubah ukuran. (marvelcinematicuniverse.fandom.com)

Nah, seandainya kita bisa memakai "Partikel Pym" untuk mengecil, Kakalios mengatakan bahwa interaksi manusia terhadap cahaya akan amat berbeda. Mata kita jadi bisa melihat masing-masing partikel foton dan semuanya menjadi "statis dan aneh".

"Satu foton cahaya bisa mengenai matamu seperti hujan di atap besi. Bagaimana tubuh kita bisa memproses hal tersebut masih belum bisa dijelaskan," tutur Kakalios.

Pada awalnya, Isaac Newton mengatakan bahwa cahaya adalah partikel. Hal ini dibuktikan oleh seorang peneliti Inggris, Thomas Young. Dalam eksperimennya pada awal abad ke-19, ia ingin mencari tahun apakah cahaya adalah sebuah gelombang dan partikel. Kejutan, cahaya ternyata bisa menjadi gelombang dan partikel!

"Seiring cahaya memasuki mata kita di dunia sub-atomik, foton demi foton, saya rasa kamu melihat fenomena aneh ini, dan kamu diharuskan melihat sesuatu sebelum membentuk pola umumnya. Dan, meski begitu, pola umum tersebut akan menjadi pola interferensi," papar Kakalios.

Bukan jargon, masa depan adalah kuantum

Profesor Fisika dan Astronomi LSU, Jonathan Downling, mengatakan bahwa kuantum adalah masa depan yang akan mengubah dunia. Menurutnya, peradaban manusia tengah berada di "Revolusi Kuantum II". Jika yang pertama menetapkan hukum yang mengatur realitas fisik, maka revolusi ini akan menghasilkan teknologi baru.

Menurut LSU, komputasi kuantum akan "meledak" di masa depan. Jika komputasi konvensional memancarkan informasi dalam bentuk byte, maka komputasi kuantum mengandalkan partikel quantum bit (qubit) untuk menghitung berbagai kemungkinan dalam satu waktu.

Lalu, saat partikel yang terbelit digunakan sebagai qubit, algoritma mampu menghitung dengan kecepatan yang lebih dibanding masa kini. LSU mengklaim bahwa komputer kuantum mampu menyelesaikan persoalan sulit dalam hitungan detik, bukan hitungan tahun seperti komputer masa kini.

Setuju dengan Downling, rekannya di LSU, Illya Vekhter, mengatakan bahwa hal ini bisa terwujud di masa depan. Kapan? Vekhter memprakirakan... 50 tahun lagi. Lah, masih lama, dong?!

Tunggu dulu, Vekhter mengatakan bahwa mungkin tidak butuh waktu selama itu. Pada 2018, Amerika Serikat (AS) mengesahkan National Quantum Initiative Act, investasi senilai US$1,2 miliar untuk memajukan pengembangan informasi dan teknologi kuantum.

Paul Rudd dan Kathryn Newton dalam film Ant-Man and the Wasp: Quantumania (dok. Marvel Studios/Ant-Man and the Wasp: Quantumania)

Memang, kita masih belum bisa menyusut seperti Ant-Man (atau mungkin, tak akan bisa). Namun, Michalakis kembali mencetuskan ide. Jika kita tak bisa ke dunia kuantum, maka bagaimana bila kita membawa realita kuantum ke dunia nyata.

"Kita hidup di dunia ini, dan kita ingin menjelajahi waktu bukan dunia mikro. Kita ingin berteleportasi. Kita ingin punya kekuatan super di dunia ini. Ternyata, sains mengatakan ini semua mungkin," tutur Michalakis dilansir Discover.

Menurutnya, semesta kuantum adalah "kode sumber realitas" yang bisa diulik. Jadi, dengan fisika kuantum, manusia bisa melakukan apa pun asalkan mengerti cara kerjanya dan memiliki sumber dayanya.

"Yang ingin kita lakukan adalah menciptakan versi besar dari semesta kuantum," pungkas Michalakis.

Jadi, sementara Ant-Man dan tokoh lainnya sebenarnya fiktif, ternyata konsep Quantum Realm adalah nyata, dan manusia ingin menjelajahinya. Masalahnya, apakah kita sudah tahu semuanya? Dan, jika sudah bisa ke semesta kuantum yang sub-atomik, siapkah kita menghadapi apa yang ada di sana?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
Alfonsus Adi Putra
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us