Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sejarah Gerakan 4B, Melawan Budaya Patriaki di Era Modern

ilustrasi demonstrasi di Korea (unsplash.com/Paran Koo)
Intinya sih...
  • Gerakan 4B berasal dari sentimen kebencian terhadap perempuan di Korea Selatan dan berkembang sebagai respon atas maraknya aksi kejahatan terhadap perempuan.
  • Budaya patriaki di Korea Selatan berakar dari ajaran Konfusianisme, namun mengalami perubahan besar akibat industrialisasi dan era informasi.
  • Perempuan Korea Selatan masuk dunia kerja, tetapi mengalami ketidaksetaraan upah dengan laki-laki, menyebabkan penurunan angka kelahiran yang drastis.

Setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden 2024 yang lalu, banyak warga Amerika setuju dengan Gerakan 4B yang lebih dulu eksis di Korea Selatan. Gerakan ini berkembang sejak pertengahan 2010-an, tetapi berakar sejak beberapa dekade lalu. Gerakan 4B ini awalnya dimulai sebagai respon atas maraknya aksi kejahatan terhadap perempuan di Korea Selatan. 

Penusukan seorang perempuan di toilet umum di Gangnam, Seoul, Korea Selatan, pada 2016 silam, misalnya, adalah salah satu kejahatan terhadap perempuan yang didasari hanya karena prasangka. Setelah berhasil ditangkap, pelaku mengaku kesal dengan perempuan karena pernah diabaikan dan diremehkan oleh perempuan. Padahal, korban dan pelaku tak saling kenal. Tidak hanya itu, maraknya pornografi berbasis deepfake, yang menyasar perempuan di Korea Selatan, menjadikan negara tersebut ibu kota kejahatan seks digital dunia.

Lalu, bagaimana sejarah Gerakan 4B tercipta? Apakah ada kaitannya dengan pertentangan kaum perempuan terhadap budaya patriaki juga? Mari kita bahas!

1. Apa itu Gerakan 4B?

ilustrasi demo di Korea Selatan (commons.m.wikimedia.org/샛길)

"B" dalam "4B" berasal dari homofon Korea untuk "bi (비 / 非)," yang berarti "tidak." Mirip dengan awalan bahasa Inggris "un," "non," atau "anti." 4 "B" tersebut adalah bihon (tidak menikah), bichulsan (tidak melahirkan), biyeonae (tidak berpacaran), bisekseu (tidak berhubungan seks).

Asal usul Gerakan 4B dikaitkan dengan aktivis Korea Selatan bernama Baeck Ha-na dan Jung Se-young. Gerakan 4B merebak karena adanya sentimen kebencian kepada perempuan di Korea Selatan, yang timbul dari aspek fundamental budaya dan masyarakat Korea Selatan, terutama budaya patriakinya yang sangat kental. Ditambah lagi, sejak Revolusi Industri pada 1980-an, banyak perempuan Korea Selatan yang mulai bekerja dan banyak pula yang childfree (pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak).

2. Korea Selatan awalnya menganut budaya patriaki

ilustrasi perempuan Korea bersama anaknya (pexels.com/Vishnu Murali)

Korea Selatan menganut patriarki karena pengaruh ajaran Konfusianisme yang bergelora sejak Dinasti Joseon (1392–1897). Jadi, dalam tradisi Korea, keluarga diatur oleh seorang kepala keluarga, yakni suami sekaligus ayah, atau perwakilan dari keluarga yang memiliki andil mencari nafkah. Ditambah lagi dengan ideologi Konfusianisme yang sangat memuja leluhur untuk mempertahankan struktur kekuasaan dalam keluarga.

Kemudian ketika terjadi perubahan sosial akibat industrialisasi dan era informasi, keluarga di Korea Selatan cenderung bertranformasi terkait nilai dan cara hidupnya. Akibatnya, terjadi perubahan besar dan munculnya kesadaran baru berkat gerakan hak-hak sipil, revolusi seksual, penyebaran teknologi, masuknya berbagai informasi karena perkembangan teknologi informasi, dan munculnya ide-ide postmodern, yang menjungkirbalikkan paham lama.

Dalam konteks yang sama, patriarki yang bukan masalah besar di masa lalu kini dianggap sebagai alasan untuk bercerai, dan para patriarki dikucilkan oleh anak-anak mereka sendiri. Jadi, keluarga yang dulunya menjadi tempat berlindung perlahan mulai sirna. Apalagi jika kepala keluarga lebih sering menorehkan luka. Ditambah lagi, kasus misogini di Korea Selatan semakin tinggi.

Seperti banyak budaya lain, contohnya di Indonesia, kesenjangan gender juga sangat kental dalam budaya Korea Selatan. Dalam budaya patriaki, perempuan diminta untuk menikah, serta mengurus suami dan anak-anak di rumah. Selain itu pekerjaan rumah tangga adalah tugas perempuan.

Lantas pada tahun 1948, ketika Republik Korea (Korea Selatan saat ini) merdeka, banyak hal mulai berubah. Asia Society melaporkan bahwa pada 1966—1998, jumlah perempuan yang bersekolah di SMA meroket, dari hanya 20 persen menjadi 99,5 persen. Lalu, jumlah perempuan yang kuliah juga meningkat, dari 4 persen menjadi 61,6 persen.

3. Perempuan Korea Selatan masuk dunia kerja, tetapi upahnya tak sebanding dengan laki-laki

ilustrasi pekerja perempuan (pexels.com/Paul Bill)

Perempuan Korea Selatan pun berbondong-bondong masuk dunia kerja selama era 70-an hingga 90-an. Nah, dari 1975—1998, persentase perempuan dalam peran manajerial meningkat dari 2 persen menjadi 12,6 persen. Sementara itu, Korea Selatan mengesahkan Undang-Undang Kesetaraan Pekerjaan pada 1987 dan mendirikan Kementerian Kesetaraan Gender pada Januari 2001. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar perempuan memiliki kesempatan kerja.

Pada saat yang sama, masalah justru terus berlanjut. Pada 1992, The Straits Times mengatakan bahwa perempuan di Korea Selatan hanya mendapat gaji sekitar setengah dari penghasilan laki-laki (47 persen) dalam peran yang sama. Angka tersebut menembus 60 persen pada 2004. Hingga hari ini pun masih menjadi kesenjangan upah gender terbesar di dunia, di antara negara-negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebesar 68,8 persen.

Ketidaksetaraan ini terjadi karena perempuan memiliki cuti hamil dan melahirkan. Itu kenapa perusahaan di Korea Selatan memandang perempuan sebagai pekerja yang berisiko dan tidak dapat diandalkan dibandingkan dengan laki-laki. Dari segi karier, laki-laki terganggu karena wajib militernya, tetapi laki-laki bisa mengejar ketertinggalan atau karier mereka lagi di kemudian hari, berbeda dengan perempuan. Intinya, masalah ini berkontribusi terhadap penurunan angka kelahiran di Korea, yang merupakan inti dari Gerakan 4B.

4. Angka kelahiran di Korea Selatan menurun drastis

ilustrasi bayi Korea (commons.wikimedia.org/lesterhead)

Angka kelahiran di Korea Selatan mengalami penurunan secara drastis sejak 1982, hingga kini menjadi yang terendah di antara semua negara OECD dengan proyeksi 0,68 anak per perempuan untuk tahun 2024, sebagaimana yang dijelaskan The Diplomat. Korean Journal of Women Health Nursing mengatakan bahwa populasi di Korea Selatan turun sebesar 2,1 pada 1983. Itu berarti, angka kelahiran lebih rendah dibandingkan angka kematian. Lalu pada 2019, pemerintah Korea Selatan meminta perempuan untuk melahirkan satu anak atau 0,92 secara rata-rata.

Angka ini bisa dibilang cukup mengkhawatirkan bagi negara mana pun. Apalagi persentase penduduk lanjut usia (65 tahun ke atas) akan melampaui 20 persen pada 2025. Lansia di Korea Selatan tentunya membutuhkan dukungan secara finansial dan fisik. Sayangnya, angka kelahiran yang semakin menyusut sangat memengaruhi ekonomi negara tersebut.

5. Upaya pemerintah Korea Selatan untuk menangani krisis kelahiran membuat para perempuan marah

ilustrasi perempuan Korea (pexels.com/Vishnu Murali)

Kendati krisis kelahiran semakin mengkhawatirkan, pemerintah Korea Selatan tidak diam begitu saja. Sejak 2005, pemerintah menerapkan Rencana Dasar untuk Masyarakat Lanjut Usia dan Kebijakan Populasi yang diperbarui setiap lima tahun sekali. Pemerintah Korea Selatan bahkan menggelontorkan anggaran sekitar 280 miliar dolar AS atau setara Rp4,5 triliun untuk mencoba mengatasi masalah ini. 

Selain itu, pemerintah memberikan tunjangan bulanan sekitar 740 dolar AS atau setara Rp12 juta per bulan kepada keluarga yang memiliki anak berusia kurang dari 1 tahun.

Di lain sisi, pada pertengahan 2010-an, banyak perempuan Korea Selatan yang menolak gagasan kalau perempuan hanyalah mesin pembuat bayi. Hal ini terjadi setelah pemerintah merilis heatmap yang menunjukkan jumlah perempuan subur berdasarkan usia per distrik di Korea Selatan, tepat pada saat gerakan 4B terbentuk. Jika kita amati, perempuan di era Modern lebih paham apa yang mereka inginkan ketimbang menikah, melahirkan, dan mengurus rumah.

6. Pembunuhan seorang perempuan Korea Selatan di toilet umum hanya karena kebencian terhadap perempuan

ilustrasi garis polisi (pixabay.com/Gerd Altmann)

Setelah diterpa oleh budaya patriaki di Korea Selatan, ketidaksetaraan dalam upah kerja, dan tingkat kelahiran yang menurun drastis, perempuan di Korea Selatan kembali dihadapi dengan kejahatan terhadap perempuan pada pertengahan 2010-an. Dari sinilah Gerakan 4B mulai menggema. Apalagi ketika kejahatan terhadap perempuan ini mulai menyeruak di internet.

Nah, salah satu contoh kasusnya adalah Ilbe Storehouse, situs web forum sosial yang memiliki pandangan "ekstrem kanan" yang condong ke arah misogini. Forum ini sendiri terkenal dari 2014—2015. Lebih sakit hatinya lagi, anggota Ilbe Storehouse mencemooh perempuan dari negara mereka sendiri. Mereka bahkan memposting gambar seorang pengguna yang sedang menganiaya perempuan.

Pada 2016, seorang anggota Ilbe Storehouse membunuh seorang perempuan di toilet umum di Stasiun Gangnam, Seoul. Ia membunuh perempuan yang tak dikenalnya itu karena sakit hati pernah ditolak dan diabaikan perempuan. Sayangnya, pihak berwenang tidak menganggap pembunuhan itu sebagai kejahatan atas dasar kebencian. Keputusan ini pun membuat para perempuan di Korea Selatan itu marah. Para perempuan menunjukan kemarahan mereka di forum daring, grup obrolan, media sosial, dan lain-lain.

7. Fenomena molka yang merendahkan harga diri perempuan di Korea Selatan

ilustrasi pelecehan seksual (pixabay.com/Gerd Altmann)

Sementara itu, pada 2018, The Guardian melaporkan bahwa kasus "molka," foto atau video perempuan yang diambil secara diam-diam meningkat dari 1.110 pada 2010 menjadi 6.600 pada 2014. Mirisnya lagi, 98 persen dari semua pelakunya adalah laki-laki. Nah, karena maraknya fenomena molka ini, gerakan Tal-Corset pada 2018 (Escape the Corset) membuat para perempuan di Korea Selatan tidak mau mengikuti standar kecantikan pada umumnya. Jadi, mereka lebih memilih untuk tampil apa adanya, tanpa polesan operasi plastik.

Di sisi lain, hal ini menjadi masalah besar di negara dengan tingkat operasi plastik tertinggi di dunia. International Society of Aesthetic Plastic Surgery (ISAPS) mengatakan bahwa 1 dari 3 perempuan di Korea Selatan, yang berusia antara 19—29 tahun menjalani operasi plastik. Operasi plastik ini bahkan menjadi hadiah utama ketika seorang perempuan lulus SMA. Di sisi lain, Escape the Corset sendiri langsung beralih ke Gerakan 4B.

8. Gerakan 4B awalnya terkenal secara daring

ilustrasi demonstrasi di Korea (unsplash.com/Paran Koo)

Gerakan 4B muncul dalam bentuk bihon (tidak menikah), bichulsan (tidak melahirkan), biyeonae (tidak pacaran), dan bisekseu (tidak berhubungan seks) yang diformalkan pada 2019 sebagai keputusan dari semua yang telah kita bahas sejauh ini. Seperti yang mungkin kamu tahu, perempuan bisa mendapatkan kesempatan dan mengejar mimpinya sebelum menikah atau ketika sedang lajang. Sayangnya, setelah menikah, banyak perempuan yang terkekang, ditambah lagi peran suami yang tidak ada, membuat perempuan di Korea Selatan enggan untuk menikah. Di Indonesia sendiri, marriage is scary pernah trending di media sosial.

Alih-alih terbatas pada ranah daring semata, anggota Gerakan 4B mewujudkan keyakinan ini dalam tindakan. Pada 2019, Beauty Nury melaporkan bahwa penjualan kosmetik Korea Selatan menurun sekitar 24,2 persen, terutama bagi perempuan berusia 20-an. Para perempuan Korea Selatan enggan tampil cantik, apalagi untuk menarik perhatian laki-laki.

Sementara itu, ada kutipan dari Gerakan 4B, seperti "Rahimku bukan milik nasional," dan "Seorang perempuan bukanlah mesin pembuat bayi." Meskipun Gerakan 4B bersifat egaliter, dua perempuan yang berkontribusi menciptakan Gerakan 4B secara daring ini, Baeck Ha-na dan Jung Se-young, terkenal lewat YouTube mereka, SOLOdarity.

9. Gerakan 4B menyebar ke Amerika Serikat

ilustrasi perempuan Amerika (pixabay.com/cottonbro studio)

Minat AS terhadap Gerakan 4B melonjak ketika Donald Trump memenangkan pemilihan presiden AS 2024. Google Trends menunjukkan adanya lonjakan besar dalam penelusuran untuk istilah "4B" setelah 5 November 2024 lalu, dan mencapai puncaknya pada 7 November, dengan peningkatan sebesar 3.000 persen, sebagaimana yang dijelaskan The Week. Sejumlah isu berkontribusi pada minat Gerakan 4B ini, terutama pembatalan keputusan Roe v. Wade 1973 oleh Mahkamah Agung AS pada 2022, yang mengembalikan masalah hak aborsi ke tingkat negara bagian.

Alhasil, beberapa perempuan di Amerika Serikat mengadopsi Gerakan 4B sebagai bentuk protes mereka, seperti tidak ingin menikah, tidak mau berpacaran, tidak mau berhubungan seks (dari jenis heteroseksual), atau tidak mau melahirkan. Para perempuan ini bersumpah untuk tidak menjalin hubungan dengan laki-laki. Seperti yang mungkin kamu tahu, Donald Trump sendiri dianggap sangat membenci kaum perempuan.

Pergeseran budaya dan maraknya pandangan misogini, membuat kaum perempuan berpikir lebih terbuka. Perempuan menentang segala ketidakadilan yang sering mereka dapatkan. Itulah kenapa Gerakan 4B ini diminati kaum perempuan. Nah, apakah kamu punya pandangan sendiri terkait sejarah Gerakan 4B?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us