Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sejarah Pemindahan Ibukota Indonesia, dari Jakarta sampai IKN

Upacara HUT ke-79 RI di Istana Garuda, Nusantara (IKN) - 2024 (commons.wikimedia.org/BPMI Sekretariat Presiden Republik Indonesia)
Upacara HUT ke-79 RI di Istana Garuda, Nusantara (IKN) - 2024 (commons.wikimedia.org/BPMI Sekretariat Presiden Republik Indonesia)

Perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79 tahun terasa berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya jika di tahun-tahun sebelumnya, upacara bendera dilaksanakan di Istana Merdeka, Jakarta, tahun ini, upacara digelar secara perdana di Ibukota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur. Hal ini semakin mengokohkan Ibukota Nusantara atau IKN sebagai ibukota Indonesia di masa depan.

Membahas soal ini, gak banyak yang tahu kalau selama 79 tahun belakangan, Indonesia sudah beberapa kali pindah ibukota negara. Jauh sebelum IKN dibangun, beberapa kota juga pernah mendapat kehormatan menjadi pusat pemerintahan negara ini, lho. Yuk, kita telusuri sejarahnnya!

1. Jakarta sudah menjadi kota penting sejak ratusan tahun yang lalu

gambar Museum Fatahillah di era Penjajahan Belanda (commons.m.wikimedia.org/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen)
gambar Museum Fatahillah di era Penjajahan Belanda (commons.m.wikimedia.org/Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen)

Jakarta resmi menyandang status sebagai ibukota Indonesia pada tahun 1966. Namun jauh sebelum itu, kota ini memang selalu jadi bagian penting dalam sejarah Indonesia. Pada abad ke-15, Jakarta adalah kota pelabuhan terpenting di Jawa bernama Sunda Kelapa.

Pangeran Fatahillah dari Kerajaan Demak merebut wilayah ini dari tangan Portugis dan mengubah namanya menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan mutlak. Belanda menyebut kota ini dengan nama Batavia, dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan di Hindia Belanda.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Jepang yang mengenal kota ini dengan nama Djakarta. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, momen itu dilakukan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta di Jakarta. Kala itu, demi keamanan, Presiden Soekarno memang sempat memindahkan ibukota negara ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta pada 28 Desember 1949.

2. Demi keamanan, Ir. Soekarno memindahkan ibukota ke Yogyakarta

gambar Gedung Agung tempat di mana Presiden Soekarno berkantor selama di Yogyakarta (commons.m.wikimedia.org/Pinerineks)
gambar Gedung Agung tempat di mana Presiden Soekarno berkantor selama di Yogyakarta (commons.m.wikimedia.org/Pinerineks)

Presiden Soekarno memang sudah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun bukan berarti perjuangan Indonesia untuk jadi bangsa yang merdeka selesai sampai di situ. Belanda bersikeras bahwa Indonesia masih merupakan bagian dari wilayah mereka. Pada 29 September 1945, tentara Belanda diboncengi NICA, memasuki Indonesia. Keberadaan tentara Belanda membuat situasi di Jakarta jadi gak kondusif.

Setelah melakukan rapat terbatas pada 1 Januari 1946 di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, pemerintah sepakat memindahkan ibukota Indonesia ke Yogyakarta untuk sementara waktu. Saran senada juga disampaikan oleh Sultan Hamengkubuwono IX. Presiden Soekarno dan para pejabat tinggi negara diam-diam melakukan perjalanan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 dengan menggunakan kereta api. Pada 4 Januari 1946, pemerintah Indonesia resmi mengumumkan perpindahan ibukota negara ke Yogyakarta.

3. Bukittinggi nyaris menjadi ibukota Indonesia di era agresi militer Belanda

gambar Konferensi Meja Bundar di Den Haag (commons.m.wikimedia.org/Daan Noske / Anefo)
gambar Konferensi Meja Bundar di Den Haag (commons.m.wikimedia.org/Daan Noske / Anefo)

Berbeda dengan Yogyakarta, Bukittinggi nyaris menjadi ibukota Indonesia di era agresi militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Presiden Soekarno yang saat itu masih berada di Yogyakarta mengirimkan kabel diplomatik atau pesan rahasia kepada Menteri Kemakmuran, Mr. Syafruddin Prawiranegara, yang saat itu berada di Bukittinggi. Pesan itu merupakan mandat pembentukan pemerintahan darurat di Bukittinggi jika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda selama peristiwa agresi militer.

Kabar baiknya, meski terjadi, agresi ini mendapatkan banyak kecaman dari dunia internasional dan memaksa Belanda untuk kembali berunding dengan Indonesia. Hasilnya, Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka pada Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949. Sehari setelahnya, Presiden Soekarno serta pejabat tinggi kembali ke Jakarta. Pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat membubarkan diri dan kembali sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Jakarta sebagai ibukota negara.

4. Puluhan tahun berlalu, Nusantara akhirnya dipilih menjadi ibukota baru Indonesia

gambar Presiden Jokowi di Nusantara (instagram.com/Jokowi)
gambar Presiden Jokowi di Nusantara (instagram.com/Jokowi)

Puluhan tahun setelah agresi militer Belanda tahun 1948, status Jakarta sebagai ibukota negara  digantikan oleh Nusantara yang terletak di Kalimantan Timur. Ide seputar pemindahan ibukota sebetulnya sudah ada sejak zaman Presiden Soekarno. Saat itu, Sang Proklamator memilih Palangkaraya. Namun ide itu gak pernah terwujud dan direalisasikan di era Presiden Jokowi.

Ada banyak alasan kenapa ibukota dianggap perlu pindah ke tempat lain selain Jakarta. Salah satu yang diklaim oleh pemerintah adalah untuk mendorong pemerataan ekonomi dan pembangunan di Indonesia.

Dibangun di lahan seluas 58.570 hektar, Nusantara mengusung konsep forest city yang tertutup hutan sebesar 65 persen. Lokasi Nusantara dipilih karena berdekatan dengan dua kota besar, yakni Samarinda dan Balikpapan yang sudah memiliki infrastruktur mumpuni sebagai penghubung. Saat ini, Jakarta memang masih menjadi pusat pemerintahan Indonesia, tapi hal itu hanya berlangsung sampai pembangunan di Nusantara selesai maksimal pada tahun 2039 mendatang.

Kita selama ini hanya sebatas mengenal Jakarta sebagai ibukota negara. Namun kenyataannya di masa lalu, mempertahankan ibukota negara bukanlah hal yang mudah sehingga beberapa kali dilakukan pemindahan. Ini bukan hanya soal ibukota, tetapi perjuangan agar negara ini tetap berdiri dan ada. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us