Meta Akhirnya Masukkan Iklan ke WhatsApp Imbas para Pentolan Hengkang?

- WhatsApp didirikan pada 2009 oleh dua mantan pegawai Yahoo!, Jan Koum dan Brian Acton
- Muncul ketegangan ketika WhatsApp diakuisisi oleh Meta pada tahun 2014
- WhatsApp resmi memperkenalkan fitur Iklan di dalam aplikasi pada pertengahan Juni 2025
Per 16 Juni 2025, WhatsApp akhirnya resmi menggelontorkan tiga fitur baru. Salah satunya adalah penayangan iklan di fitur Status WA. Aplikasi pesan instan yang selama ini dikenal bebas iklan itu kini membuka jalan bagi strategi monetisasi, tepatnya melalui fitur “Status” dan “Channel” yang berada di dalam tab “Updates.” Pengumuman ini disampaikan melalui situs resmi Meta, induk perusahaan WhatsApp yang sebelumnya bernama Facebook.
Kebijakan baru ini menjadi babak penting dalam perjalanan WhatsApp. Bukan hanya soal arah bisnis, tetapi juga menyangkut prinsip dasar yang sejak awal dijunjung oleh pendirinya. Brian Acton dan Jan Koum adalah dua sosok di balik WhatsApp yang secara konsisten menolak kehadiran iklan di dalam layanan mereka.
Ketegangan atas perbedaan prinsip inilah yang memicu keputusan keduanya untuk meninggalkan perusahaan masing-masing pada 2017 dan 2018. Kini, bertahun-tahun setelah kepergian mereka, Meta mewujudkan rencana yang dulu begitu mereka tolak, yaitu memasukkan iklan ke dalam WhatsApp. Keputusan ini mencerminkan puncak dari konflik panjang antara idealisme para pendiri dan orientasi profit Meta pasca akuisisi senilai 22 miliar dolar AS (sekitar 357 triliun rupiah) pada 2014. Inilah rangkuman dinamika selama lebih dari satu dekade yang memperlihatkan bagaimana visi awal sebuah platform bisa berubah arah ketika kepemilikan berpindah tangan.
1. WhatsApp didirikan pada 2009 oleh dua mantan pegawai Yahoo!, Jan Koum dan Brian Acton

Pada 2009, dua mantan karyawan Yahoo!, Jan Koum dan Brian Acton, merintis WhatsApp berlandaskan dua prinsip utama, kesederhanaan dan perlindungan privasi. Mereka mendesain aplikasi perpesanan yang bersih dari iklan, tanpa elemen permainan, dan jauh dari segala bentuk trik komersial. Pendekatan ini muncul dari pengalaman mereka sebelumnya yang tidak menyenangkan terhadap dominasi iklan dalam platform digital tempat mereka bekerja. Alih-alih mengambil keuntungan cepat dari iklan, mereka memilih pendekatan yang lebih etis dengan menawarkan WhatsApp secara gratis di tahun pertama, lalu dikenakan biaya langganan tahunan sebesar 1 dolar As.
WhatsApp dibentuk bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai ruang digital yang menghargai kenyamanan dan kendali pengguna atas privasinya. Jan Koum bahkan menempelkan secarik catatan dari Brian Acton di meja kerjanya bertuliskan, “No Ads! No Games! No Gimmicks!” sebagai pengingat akan prinsip awal mereka. Sejak awal, mereka ingin menciptakan layanan perpesanan yang tidak mengganggu, tidak memanipulasi, dan tidak menjadikan pengguna sebagai target iklan. Berkat idealisme inilah, WhatsApp berkembang secara alami dan cepat serta berhasil meraih tempat istimewa di hati jutaan pengguna di seluruh dunia.
2. Muncul ketegangan ketika WhatsApp diakuisisi oleh Meta pada 2014

Ketika Meta mengakuisisi WhatsApp senilai 22 miliar dolar AS (sekitar 357 triliun rupiah) pada 2014, muncul kekhawatiran dari berbagai kalangan mengenai apakah prinsip dasar platform tersebut akan tetap dipertahankan. Jan Koum dan Brian Acton mencoba meredakan kekhawatiran itu lewat penegasan komitmen terhadap pengalaman pengguna yang bersih dari gangguan. Dalam blog resmi WhatsApp, mereka menuliskan pernyataan tegas melalui The Washington Post pada 30 April 2018 bahwa “tidak akan ada iklan yang mengganggu komunikasi Anda.” Pada saat itu, Meta juga menyatakan kesediaannya menghormati kebijakan bebas iklan WhatsApp, seolah memberi sinyal bahwa akuisisi ini tak akan merusak nilai-nilai awal yang dibangun para pendiri.
Namun, seiring waktu, realitas bisnis mulai bertabrakan dengan idealisme. Tekanan dari Meta untuk menjadikan WhatsApp sebagai sumber pemasukan semakin kuat. Hal ini menciptakan perbedaan visi antara Koum dan Acton serta manajemen perusahaan induk. Ketegangan memuncak saat muncul permintaan berbagi data pengguna ke Facebook dan rencana peluncuran iklan dalam aplikasi. Ketidaksepakatan yang terus berlarut mendorong Brian Acton untuk mundur pada 2017, disusul Jan Koum pada 2018. Kepergian mereka dipandang sebagai simbol memudarnya semangat awal WhatsApp yang selama ini dijaga dengan teguh.
3. WhatsApp resmi memperkenalkan fitur Iklan di dalam aplikasi pada pertengahan Juni 2025

Setelah lebih dari 10 tahun berada di bawah kendali Meta, WhatsApp akhirnya merilis fitur iklan secara resmi pada pertengahan Juni 2025. Kini, iklan mulai muncul di tab “Updates,” yang mencakup fitur “Status” dan “Channels,” dua fitur yang memiliki tingkat aktivitas pengguna sangat tinggi. Pada fitur Status, iklan disajikan dalam format yang menyerupai Instagram Stories, sementara Channels menawarkan opsi promosi berbayar serta langganan berisi konten eksklusif bagi pengikutnya.
Meta menegaskan bahwa kemunculan iklan tidak akan mengganggu privasi percakapan antar pengguna sebab hanya ditampilkan pada bagian tab Updates. Mereka juga menjamin bahwa pesan, panggilan, dan status masih terlindungi berkat enkripsi end-to-end. Meski begitu, perusahaan tetap menggunakan sejumlah data terbatas seperti lokasi pengguna, bahasa, serta pola interaksi terhadap iklan untuk keperluan personalisasi. Meski disebut sebagai bentuk adaptasi bisnis yang wajar dalam menghadapi dinamika pasar, banyak pengguna lama mulai mempertanyakan apakah WhatsApp masih dapat dipandang sebagai ruang komunikasi yang aman dan bebas dari kepentingan komersial. Apalagi, jika mengingat janjinya setelah bertahun-tahun dikenal sebagai platform yang menolak iklan.
4. Keputusan Meta ini mengundang reaksi beragam terutama dari pengguna lama

Pengumuman resmi mengenai kehadiran iklan di WhatsApp menimbulkan berbagai tanggapan, khususnya dari para pengguna lama yang telah menggunakan aplikasi ini sejak masa awal peluncurannya. Bagi sebagian dari mereka, langkah ini terasa sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip awal yang dipegang oleh pendirinya, Jan Koum dan Brian Acton, yang sejak awal menolak keberadaan iklan demi menjaga kesederhanaan dan privasi dalam komunikasi. Ketika Meta mulai menjajaki model monetisasi berbasis iklan, Brian Acton secara terbuka menyatakan bahwa keputusan tersebut melanggar kesepahaman antara WhatsApp dan penggunanya.
Dalam wawancaranya bersama Forbes pada 2019, Acton menyampaikan ketidaksukaannya terhadap iklan bertarget yang menurutnya merusak kepercayaan pengguna. Sebagai alternatif, ia sempat mengusulkan skema berbayar yang lebih etis, yaitu mengenakan biaya pada pengguna setelah melewati batas pengiriman pesan tertentu. Namun, usulan tersebut ditolak Sheryl Sandberg, COO Meta saat itu, karena dianggap tidak efisien dalam skala besar.
Acton menanggapi penolakan itu melalui pernyataan yang cukup tajam. Ia menilai alasan sebenarnya bukan soal kelayakan ide, melainkan karena skema tersebut dianggap kurang menguntungkan dibandingkan iklan. “Saya menegurnya waktu itu,” kata Acton, mengutip wawancaranya dalam Fortune (17 Juni 2025). “Saya bilang, ‘Bukan berarti ini tak bisa dikembangkan, tapi kalian pikir ini tak akan menghasilkan uang sebesar itu,’ dan dia tampak mengelak. Saya rasa saya sudah menyampaikan maksud saya.” Ia menambahkan bahwa para petinggi Meta adalah pebisnis ulung meski membawa prinsip dan etika yang tidak sepenuhnya sejalan dengan dirinya.
Sementara itu, pihak Meta mencoba meredakan kekhawatiran publik melalui pernyataan resmi kepada Fortune. Seorang juru bicara perusahaan menyebut bahwa rencana penayangan iklan sudah lama dibahas dan fitur tersebut tidak akan mengganggu aktivitas utama pengguna dalam berkirim pesan. “Kami rasa ini mencerminkan bagaimana orang ingin menggunakan WhatsApp, dan jika Anda hanya menggunakan aplikasi ini untuk mengirim pesan pribadi ke teman dan keluarga, maka tak akan ada yang berubah,” ungkap perwakilan Meta seperti dikutip dari Fortune, 17 Juni 2025. Namun demikian, bagi sebagian pengguna lama, kehadiran iklan tetap dianggap sebagai tanda berubahnya nilai-nilai inti WhatsApp yang dahulu menjunjung tinggi perlindungan privasi.
Pada akhirnya, keputusan Meta untuk menayangkan iklan di WhatsApp bukan hanya soal penambahan fitur baru semata, melainkan juga simbol dari arah baru yang tengah ditempuh. Seperti pepatah lama, tiap zaman ada tokohnya dan tiap tokoh punya zamannya, WhatsApp telah bertransformasi dari ruang komunikasi privat yang dibangun berdasarkan idealisme tinggi. Aplikasi ini kini menjadi bagian dari strategi bisnis besar yang menempatkan kepentingan komersial di garis depan.