Bos BI Ungkap Dampak Kesepakatan AS-China ke Ekonomi Global

- Pertumbuhan ekonomi global diproyeksi mencapai 3 persen setelah adanya kesepakatan sementara AS dan Tiongkok untuk menurunkan tarif impor selama 90 hari.
- Penurunan tarif impor diperkirakan akan menurunkan proyeksi inflasi di Amerika Serikat, mendorong ekspektasi penurunan suku bunga acuan The Fed (FFR).
- Pergeseran aliran modal dari AS ke aset-aset yang dianggap aman masih berlanjut, diikuti oleh peningkatan aliran modal ke negara berkembang, melemahkan nilai tukar dolar AS dan mata uang negara berkembang di Asia.
Jakarta, IDN Times - Bank Indonesia (BI) menilai ketidakpastian perekonomian global mulai mereda seiring adanya kesepakatan sementara antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok untuk menurunkan tarif impor selama 90 hari.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa perkembangan ini mendorong prospek perekonomian dunia menjadi lebih baik, yaitu dari proyeksi sebelumnya pada April sebesar 2,9 persen menjadi 3 persen.
“Pertumbuhan ekonomi AS dan Tiongkok diperkirakan akan lebih baik dibandingkan proyeksi pada April 2025, yang kemudian berdampak positif pada berbagai negara lain, termasuk Eropa, Jepang, dan India,” ujar Perry dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (21/5/2025).
1. Kesepakatan AS-China dorong ekspektasi The Fed turunkan suku bunga

Menurut dia, penurunan tarif juga diperkirakan akan menurunkan proyeksi inflasi di Amerika Serikat, sehingga mendorong tetap kuatnya ekspektasi penurunan suku bunga acuan The Fed (FFR).
Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS, atau yield US Treasury, tercatat lebih tinggi dari perkiraan. Hal ini sejalan dengan meningkatnya risiko terhadap kesinambungan fiskal AS, yang memerlukan penerbitan utang pemerintah dalam jumlah lebih besar.
2. Investor mulai alihkan dananya ke aset yang dianggap aman

Lebih lanjut, pergeseran aliran modal dari Amerika Serikat ke aset-aset yang dianggap aman masih berlanjut, dan mulai diikuti oleh peningkatan aliran modal ke negara-negara berkembang (emerging market). Akibatnya, indeks nilai tukar dolar AS terhadap negara maju terus melemah dan diikuti pelemahan terhadap mata uang negara berkembang di Asia.
Ke depan, perkembangan negosiasi tarif impor antara AS, China dan negara-negara lainnya masih bersifat dinamis, sehingga ketidakpastian perekonomian global tetap tinggi.
“Kondisi ini memerlukan kewaspadaan, serta penguatan respons dan koordinasi kebijakan untuk menjaga ketahanan eksternal, menstabilkan perekonomian, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” tegasnya.
3. Awal perdagangan rupiah dibuka menguat

Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah pada awal perdagangan Rabu (21/5/2025) bergerak menguat.
Bila mengacu data Bloomberg, rupiah menguat ke Rp16.409,5 per dolar AS atau 3,50 poin dan 0,02 persen dibandingkan penutupan kemarin di level Rp16.413 per dolar AS.