Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tarif Impor dan Kepribadianmu: Apa Hubungannya? Simak 5 Fakta Ini

ilustrasi kebijakan tarif
ilustrasi kebijakan tarif (vecteezy.com/Bigc Studio)
Intinya sih...
  • Kepribadian memengaruhi sikap terhadap impor.
  • Nasionalisme dan patriotisme punya pengaruh berbeda.
  • Rasa takut terhadap hal asing bisa bikin protektif.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kamu mungkin berpikir tarif impor cuma urusan pemerintah dan pengusaha besar, tapi ternyata gak sesederhana itu, lho. Dukungan atau penolakan seseorang terhadap tarif impor ternyata bisa berkaitan dengan kepribadian dan cara pandang terhadap dunia. Yup, bukan cuma soal ekonomi, tapi juga soal psikologi.

Menurut penelitian, orang yang mendukung atau menolak kebijakan perdagangan bebas sering kali didorong oleh faktor psikologis dan nilai-nilai pribadi, bukan semata-mata keuntungan ekonomi. Jadi, kalau kamu merasa punya opini kuat soal produk lokal atau barang impor, bisa jadi itu cerminan dari siapa dirimu sebenarnya.

Nah, biar makin paham, yuk simak lima fakta menarik tentang hubungan antara tarif impor dan kepribadianmu!

1. Kepribadian bisa memengaruhi sikap terhadap impor

ilustrasi diskusi (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi diskusi (pexels.com/cottonbro)

Menurut penelitian dalam Review of International Political Economy oleh Alex Honeker dari University of Pittsburgh, faktor psikologis berperan besar dalam menentukan apakah seseorang mendukung atau menolak perdagangan bebas. Orang yang lebih terbuka dan toleran terhadap perbedaan cenderung mendukung pasar bebas, sementara mereka yang cenderung tertutup dan protektif lebih mendukung tarif tinggi untuk melindungi produk dalam negeri.

Hal ini menunjukkan bahwa sikap terhadap impor bukan semata soal pekerjaan atau pendapatan, tapi juga cerminan dari seberapa besar rasa percaya dan penerimaanmu terhadap dunia luar.

2. Nasionalisme dan patriotisme punya pengaruh berbeda

ilustrasi bendera Indonesia
ilustrasi bendera Indonesia (pexels.com/bima)

Menurut analisis Honeker, nasionalisme dan patriotisme sering disamakan, padahal keduanya sangat berbeda. Nasionalisme berhubungan dengan perasaan superior terhadap negara lain, sedangkan patriotisme lebih ke rasa cinta tanpa membanding-bandingkan.

Kalau kamu merasa negaramu harus selalu unggul dari negara lain, kamu cenderung lebih mendukung tarif tinggi. Tapi kalau rasa cintamu terhadap negara lebih berdasar pada kebanggaan dan loyalitas tanpa ingin menjatuhkan yang lain, kamu justru bisa lebih terbuka terhadap perdagangan global.

3. Rasa takut terhadap hal asing bisa bikin protektif

ilustrasi pelabuhan peti kemas (pexels.com/Kelly)
ilustrasi pelabuhan peti kemas (pexels.com/Kelly)

Masih dari penelitian Honeker, rasa takut atau ketidaknyamanan terhadap hal-hal asing (disebut xenophobia) terbukti menjadi faktor paling kuat yang memprediksi dukungan terhadap tarif tinggi. Orang dengan tingkat xenophobia tinggi cenderung menganggap produk luar sebagai ancaman bagi identitas nasional maupun stabilitas ekonomi.

Sederhananya, kalau kamu sering curiga terhadap produk asing atau ragu dengan pengaruh budaya luar, bisa jadi hal itu bukan sekadar selera, tapi bagian dari kepribadian protektif yang menolak perubahan.

4. Kurangnya pemahaman ekonomi bikin gampang terpengaruh

ilustrasi toko baju
ilustrasi toko baju (freepik.com/DC Studio)

Penelitian oleh Sungmin Rho dan Michael Tomz dari Stanford University dalam International Organization menemukan bahwa sebagian besar orang sebenarnya gak paham dampak ekonomi dari tarif impor. Begitu mereka diberi penjelasan tentang teori perdagangan bebas klasik, dukungan terhadap tarif langsung menurun.

Artinya, banyak orang menilai kebijakan impor dari emosi atau keyakinan pribadi, bukan dari pemahaman ekonomi yang objektif. Hal ini juga menjelaskan kenapa opini publik bisa cepat berubah tergantung cara isu impor disampaikan di media sosial.

5. Tarif rendah bisa bikin dunia lebih damai

ilustrasi jabat tangan (pexels.com/PNW Production)
ilustrasi jabat tangan (pexels.com/PNW Production)

Fakta terakhir cukup mengejutkan. Menurut penelitian Erik Gartzke dari American Journal of Political Science, negara-negara yang punya pasar bebas dan tarif rendah cenderung lebih jarang berperang satu sama lain. Alasannya sederhana: kalau dua negara saling bergantung dalam perdagangan, perang akan lebih merugikan daripada menguntungkan.

Jadi, dukungan terhadap perdagangan bebas bukan cuma soal keuntungan ekonomi, tapi juga bisa berkontribusi pada stabilitas global. Dalam konteks kepribadian, orang yang berpikiran terbuka dan kolaboratif biasanya lebih mudah menerima ide seperti ini.

Tarif impor ternyata bukan sekadar urusan angka dan neraca perdagangan, tapi juga bisa jadi cermin dari siapa dirimu. Cara kamu memandang barang luar negeri, nasionalisme, hingga pandangan terhadap budaya asing bisa menggambarkan kecenderungan kepribadianmu: apakah lebih terbuka atau justru protektif.

Jadi, lain kali saat membaca berita soal tarif impor, coba refleksikan sedikit: kamu mendukungnya karena alasan ekonomi, atau karena ada sisi kepribadian tertentu yang ikut bermain? Siapa tahu, jawabanmu bisa membuka wawasan baru soal bagaimana kepribadian dan politik saling berhubungan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in Business

See More

Senyum UMKM di Banyuwangi: Omzet Melejit, Penjualan Laris Manis

09 Nov 2025, 23:44 WIBBusiness