Kinerja Ekspor-Impor Terancam Turun akibat Tarif Trump

- Kinerja ekspor dan impor Indonesia akan turun jika tarif AS diterapkan
- Peningkatan investasi asing di Indonesia disebut sebagai dampak positif dari kebijakan tarif AS
- Surplus perdagangan Indonesia-AS sejak 2015 hingga kuartal I-2025 menurun drastis menjadi 4,32 miliar dolar AS
Jakarta, IDN Times - Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, kinerja ekspor dan impor Indonesia akan mengalami penurunan apabila kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) sebesar 32 persen terhadap Indonesia, serta kebijakan Tarif Dasar Baru (New Baseline Tariff) sebesar 10 persen diberlakukan.
"Buat Indonesia, ini berdasarkan kalkulasi kami, bisa menurunkan kinerja ekspor maupun impor dengan range yang berbeda-beda untuk masing-masing sektor," kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono di Kantor Kemendag, Jakarta, Senin (24/4/2025).
1. Ada potensi kenaikan arus investasi ke Indonesia

Djatmiko mengungkapkan, terdapat potensi peningkatan arus investasi asing yang akan masuk ke Tanah Air.
"Selain dampak terhadap ekspor dan impor, kami juga melihat adanya potensi peningkatan investasi yang masuk ke Indonesia," ujar Djatmiko.
Meski demikian, Djatmiko belum merinci secara detail sektor yang berpotensi menerima tambahan investasi tersebut. Ia hanya menyebut kebijakan tarif yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) bisa mendorong (relokasi) investasi ke negara-negara mitra, termasuk Indonesia.
"Secara kuantitatif memang belum bisa disebutkan, tetapi tren peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) kemungkinan besar akan terjadi jika kebijakan tarif ini diterapkan," ujarnya.
Berikut rincian surplus perdagangan Indonesia-AS sejak 2015 hingga periode kuartal I-2025:
- 2015 mencapai 8,65 miliar dolar AS
- 2016 mencapai 8,84 miliar dolar AS
- 2017 mencapai 9,67 miliar dolar AS
- 2018 mencapai 8,26 miliar dolar AS
- 2019 mencapai 8,58 miliar dolar AS
- 2020 mencapai 10,04 miliar dolar AS
- 2021 mencapai 14,54 miliar dolar AS
- 2022 mencapai 16,57 miliar dolar AS
- 2023 mencapai 11,97 miliar dolar AS
- 2024 mencapai 14,34 miliar dolar AS
- Januari-Maret 2025 mencapai 4,32 miliar dolar AS.
2. Ada tiga skema tarif yang disiapkan AS

Kemendag menyebut, ada tiga skema pungutan yang menjadi tantangan ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam. Ketiga skema tersebut, meliputi tarif dasar yang diperbarui, tarif resiprokal, dan tarif sektoral khusus.
"Besaran tarif dasar baru itu berbeda-beda tergantung jenis barang. Misalnya, ada yang sebelumnya tarifnya 0 persen, 5 persen, atau 10 persen, kini semuanya dinaikkan dengan tambahan 10 persen," ungkap Djatmiko.
Peningkatan tersebut diterapkan secara umum untuk beragam jenis produk dari hampir seluruh negara, kecuali bagi Meksiko dan Kanada yang terikat perjanjian dagang khusus dengan AS melalui United States-Mexico-Canada Agreement (USMCA).
Sebagai gambaran, untuk produk tekstil dan pakaian seperti kaus, batik, atau bahan kain yang sebelumnya dikenai tarif antara 5 persen hingga 20 persen, kini tarifnya meningkat menjadi 15 persen hingga 30 persen.
3. Besaran tarif resiprokal dihitung berdasarkan formula defisit AS dibagi nilai ekspor

Tarif resiprokal yang dikenakan sebagai bentuk balasan terhadap kebijakan dagang spesifik dari mitra dagang AS. Besaran tarif yang ditetapkan pun berbeda-beda antarnegara, tergantung pada formula yang digunakan dalam perhitungannya.
"Ini ditentukan berdasarkan satu formula, yakni nilai defisit yang dialami Amerika dibagi dengan nilai ekspor masing-masing mitra dagang. Jadi, ini bersifat individual per negara, sehingga keputusan tarifnya pun berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya. Indonesia dikenakan tarif sebesar 32 persen," ucap Djatmiko.
Meskipun tarif ini tergolong tinggi, pemberlakuannya masih ditunda selama 90 hari ke depan, terhitung sejak 10 April 2025.
“Walaupun ditunda, kita tetap perlu waspada. Jika tarif ini nantinya diterapkan, maka misalnya untuk produk tekstil dan pakaian, yang sebelumnya dikenakan tarif 5 persen hingga 20 persen, akan melonjak menjadi 37 persen hingga 52 persen. Sementara itu, produk karet yang sebelumnya dikenai tarif 2,5 persen hingga 5 persen, bisa meningkat menjadi 34,5 persen hingga 37 persen,” tuturnya.
4. Tarif sektoral

Sementara itu, skema pungutan impor ketiga adalah tarif sektoral. Tarif ini bersifat spesifik dan menyasar beberapa sektor industri strategis, yaitu baja, aluminium, otomotif, serta komponen otomotif.
Untuk komoditas-komoditas ini, besaran tarifnya ditetapkan 25 persen hingga 30 persen. Tarif sektoral ini berlaku menggantikan tarif dasar baru maupun tarif resiprokal untuk sektor-sektor yang disebutkan.
"Kalau Indonesia mengekspor baja, aluminium, atau otomotif ke AS, maka akan langsung dikenai tarif sektoral 25 persen. Dalam hal ini, tarif dasar baru dan tarif resiprokal tidak berlaku lagi, karena tarif sektoral sudah bersifat khusus," kata Djatmiko.