Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menaksir Kerugian Kasus Korupsi Tambang PT Timah Perlu Audit BPK

Gedung Kejaksaan Agung. (dok. Sekretariat Kabinet)

Jakarta, IDN Times - Pakar hukum sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Andri Gunawan Wibisana menyoroti perhitungan kerugian korupsi tambang Timah senilai Rp271 triliun.

Adapun kasus korupsi yang dimaksud ialah kasus pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, periode 2015 hingga 2022.

Kerugian yang ditaksir dihitung dari kerusakan lingkungan akibat lubang tambang timah yang tersebar di Pulau Bangka Belitung. Perhitungan dilakukan oleh Ahli lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang.

1. Ada tata kelola lingkungan yang salah

Ilustrasi Tambang (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Andri yang juga menjabat sebagai Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ), kerusakan lingkungan di suatu daerah tambang tidak bisa otomatis disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi. Dia mengatakan, kerusakan lingkungan itu kemungkinan disebabkan adalah kesalahan dalam tata kelola lingkungan.

“Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” ujar Andri dikutip dari keterangan resmi.

2. Perhitungan kerugian dari kerusakan lingkungan harus dilakukan lembaga resmi

ilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Sebelumnya, Bambang mengatakan pihaknya melakukan penghitungan kerugian ekologi yang ditimbulkan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.

“Kalau semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, total kerugian akibat kerusakan yang juga harus ditanggung negara adalah Rp271,06 triliun," kata Bambang.

Terkait dengan kerugian negara akibat kerusakan ekologi, Andri mengatakan bahwa penghitungan harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum, kemudian harus diperiksa metodenya, lazim digunakan atau tidak, diterima dikomunitas ilmiah atau tidak.

“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan untuk menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik evalusi lingkungan dan itu ada pakarnya,” ucap Andri.

3. Pakar nilai kerugian negara berkaitan APBN dan APBD

ilustrasi APBN (IDN Times/Aditya Pratama)

Untuk menilai kasus tata niaga timah, Andri mengatakan harus melihat rincian kasusnya. Menurut Andri, ada dua bentuk kerugian yakni kerugian negara yang berkaitan dengan APBN/APBD, dan perekonomian perekonomian negara seperti terjadi dalam kasus sawit Duta Palma Group.

Penggunaan kerusakan ekologi untuk menghitung kerugiaan negara juga mendapat respon Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda.

"Untuk membuktikan adanya kerugian perekonomian negara itu termasuk kerugian karena kerusakan ekologis kan itu harus berdasarkan audit BPK," kata Chairul.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Vadhia Lidyana
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us