Menlu China Bantah Adanya Perundingan dengan AS Soal Tarif

- China mendesak AS untuk menghapus tarif sepihak sebagai syarat penyelesaian perang dagang.
- Trump menyebut adanya pertemuan dengan China, namun Menteri Keuangan AS menolak klaim tersebut.
- Direktur IMF memperingatkan dampak serius ketegangan dagang AS-China terhadap ekonomi global.
Jakarta, IDN Times – China mendesak Amerika Serikat (AS) untuk menghapus seluruh tarif sepihak atas barang asal China sebagai syarat utama penyelesaian perang dagang. Pernyataan itu disampaikan oleh juru bicara Kementerian Perdagangan China, He Yadong, yang menyebut tarif harus dihapus jika AS “benar-benar ingin” menyelesaikan masalah.
“Orang yang mengikat lonceng harus melepasnya,” kata He, dikutip dari BBC, Jumat (25/4/2025).
China juga mengatakan bahwa belum ada pembicaraan atau negosiasi apa pun dengan AS terkait tarif. Kementerian Luar Negeri melalui juru bicaranya, Guo Jiakun, menyebut laporan soal adanya perundingan adalah informasi yang tidak benar. Guo mengatakan tidak ada kesepakatan yang sedang dibahas antara kedua negara.
Langkah ini menjadi bagian dari respons China terhadap kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump. China bahkan mengembalikan pesawat Boeing yang telah dipesan sebagai bentuk balasan terhadap kebijakan tersebut.
1. Trump bantah klaim China soal tak ada negosiasi

Trump mengatakan bahwa telah ada pertemuan antara AS dan China guna meredakan ketegangan dagang yang memanas. Ia menyebut pertemuan itu berlangsung Kamis (24/4/2025) pagi waktu setempat, meskipun tidak merinci lebih lanjut. Trump menambahkan bahwa proses negosiasi akan diungkap lebih lanjut dalam waktu dekat.
Sebelumnya, Trump sempat menyebut pembicaraan dengan China “aktif” dan memberi sinyal adanya peluang kesepakatan besar. Ia juga menyinggung kemungkinan pengurangan tarif secara signifikan, meski menyatakan “itu tidak akan menjadi nol”. Namun, pernyataan Trump itu bertolak belakang dengan Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, yang mengatakan negosiasi bahkan belum dimulai.
Bessent memandang situasi saat ini sebagai perang dagang yang tidak berkelanjutan. Ia menilai tarif balasan China sebesar 125 persen terhadap produk AS membuat hubungan perdagangan kedua negara semakin mendekati embargo ekonomi.
2. IMF ingatkan bahaya global dari konflik dagang

Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva memperingatkan bahwa ketegangan dagang AS-China dapat berdampak serius pada ekonomi global. Ia menyebut ketidakpastian akibat kebijakan perdagangan “melonjak drastis” dan membuat dunia menghadapi ujian besar.
“Saya tidak bisa cukup menekankan hal ini: tanpa kepastian, bisnis tidak berinvestasi, rumah tangga memilih menabung, dan ini memperlemah pertumbuhan,” kata Georgieva, dikutip dari The Guardian, Jumat (25/4/2025).
IMF baru saja memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,3 persen menjadi 2,8 persen untuk tahun ini. Georgieva menuturkan bahwa kondisi ini semakin sulit karena banyak negara masih belum pulih dari guncangan ekonomi sebelumnya. Ia menggambarkan suasana pertemuan IMF pekan ini sebagai penuh kecemasan dari para anggota.
Georgieva juga menyerukan reformasi ekonomi di China untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor dan mendorong permintaan domestik. Menurutnya, langkah ini penting di tengah perubahan kebijakan besar dari AS yang memicu ketegangan.
3. Boeing rugi, delegasi global cemas, Trump tetap menyerang

CEO Boeing, Kelly Ortberg, mengungkap bahwa dua pesawat telah dikembalikan oleh China sebagai imbas perang dagang. Satu pesawat tambahan diperkirakan akan menyusul dalam waktu dekat. Ortberg menyebut langkah ini sebagai buntut dari ketegangan tarif antara dua negara yang saling balas menaikkan bea masuk.
Trump, lewat akun Truth Social, mengecam langkah China tersebut dan menyebut Boeing seharusnya menggugat.
“Ini hanya contoh kecil dari apa yang China lakukan terhadap AS selama bertahun-tahun,” tulisnya. Ia juga kembali menuduh China bertanggung jawab atas masuknya fentanil sintetis ke AS melalui Meksiko dan Kanada.
Sementara itu, diskusi di sela pertemuan IMF dan Bank Dunia turut dipenuhi kekhawatiran terhadap kebijakan tarif Trump. Sejumlah negara menghadapi tarif 10 persen atas semua ekspor ke AS, dan 25 persen untuk produk utama seperti mobil. Belum jelas apakah tarif “resiprokal” yang lebih tinggi akan kembali diberlakukan setelah jeda 90 hari berakhir.