Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

New Normal: Kenapa Pasar Ramai tapi Mal Sepi?

Ilustrasi aktivitas di mal. ANTARA FOTO/Fauzan
Ilustrasi aktivitas di mal. ANTARA FOTO/Fauzan

Jakarta, IDN Times- Memasuki fase transisi normal baru (new normal), pemerintah mulai membuka pusat perbelanjaan dan mengizinkan sejumlah kegiatan di luar ruangan dengan protokol kesehatan yang ketat.

Setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dijalankan lebih dari satu bulan, banyak prediksi yang memperkirakan mal akan membeludak dikunjungi pengunjung yang jengah dengan suasana di rumah. Namun ternyata, sejak dibuka pada 15 Juni lalu, jumlah pengunjung mal relatif sedikit. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) mencatat jumlah pengunjung hanya berkisar 20-40 persen. 

Kenapa demikian?

1. Orang berkunjung ke mal untuk mencari sekunder dan tersier

Ilustrasi Mall (IDN Times/Zulkifli Nurdin)
Ilustrasi Mall (IDN Times/Zulkifli Nurdin)

Mantan Menteri Keuangan RI, Chatib Basri, menjelaskan bahwa pengunjung mal mayoritas mencari kebutuhan sekunder dan tersier. Mereka yang mencari kebutuhan pokok, seperti bahan makanan, biasanya akan pergi ke pasar.

“Orang yang ke mal bukan untuk primary good, mereka punya pilihan untuk tetap tinggal di rumah. Itulah yang menjelaskan kenapa mal relatif sepi daripada pasar,” kata lelaki yang karib disapa Dede ini saat mengikuti rilis survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Kamis (25/6).

2. Tidak memiliki daya beli

ilustrasi kenaikan pendapatan (IDN Times/Arief Rahmat)
ilustrasi kenaikan pendapatan (IDN Times/Arief Rahmat)

Dosen ekonomi Universitas Indonesia (UI) itu juga menjelaskan, rata-rata pengunjung mal adalah kelas menengah. Dia menggarisbawahi, bila pandemik COVID-19 juga memberikan dampak ekonomi terhadap kelas menengah dan kelas atas, tidak hanya kelas bawah. Sehingga, sangat mungkin mereka tidak memiliki daya beli untuk membeli kebutuhan sekunder dan tersier.

Sekalipun masih ada sejumlah orang yang berkunjung ke pusat perbelanjaan, Dede memprediksi mereka hanya membeli barang-barang yang bukan berbasis leisure product (produk rekreasi).

“Kalau mereka (kelas menengah) gak dapat uang, mereka gak ada demand. Saya khawatir daya belinya gak muncul. Inilah yang terjadi di Tiongkok, new normal, produksi balik tapi barangnya gak ada yang beli, karena orangnya gak ada uang, bisnis jadinya gak kembali. Mungkin ini juga yang terjadi pada mal,” terang dia.

3. Mal berpotensi ditutup kembali

Salah satu toko pakaian di Bigmall Samarinda yang menyajikan barang diskon dan menjadi daya tarik pengunjung menjelang lebaran. (IDN Times/Zulkifli Nurdin)
Salah satu toko pakaian di Bigmall Samarinda yang menyajikan barang diskon dan menjadi daya tarik pengunjung menjelang lebaran. (IDN Times/Zulkifli Nurdin)

Untuk langkah antisipasi, Dede menyarankan supaya pemerintah memberikan bantuan fiskal kepada kelas menengah agar permintaan di pasar kembali meningkat. Dia memprediksi pemerintah membutuhkan hingga Rp90 triliun untuk membantu kelas menengah. Jika pemerintah tidak melakukan intervensi pada kelas menengah, maka mal berpotensi untuk tutup kembali bahkan beberapa sektor berpotensi gulung tikar.

“Yang saya khawatir adalah mal gak banyak yang datang tapi cost (bayar pegawai, sewa, dll) besar, gak berapa lama dia dengan sendirinya akan tutup lagi,” tutup dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Vanny El Rahman
3+
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us