PBB Desak AS Bebaskan Negara Miskin dari Tarif Impor

- UNCTAD mendesak AS untuk mengecualikan negara miskin dari tarif impor
- Tarif dinilai merugikan ekonomi rentan tanpa memberikan keuntungan yang signifikan bagi AS
Jakarta, IDN Times - Badan Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) mendesak Amerika Serikat (AS) untuk mengecualikan negara-negara miskin dan kecil dari kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Desakan ini muncul setelah AS mengumumkan tarif sebesar 11 persen hingga 50 persen untuk 57 mitra dagang pada 9 April 2025 lalu, meski kebijakan tersebut akhirnya ditunda selama 90 hari untuk semua negara kecuali China.
Kebijakan tarif yang kini diturunkan menjadi 10 persen selama masa penundaan, dinilai dapat merusak ekonomi negara-negara rentan tanpa memberikan keuntungan signifikan bagi AS. UNCTAD menyebut momen penundaan ini sebagai peluang penting untuk melindungi negara-negara berkembang dari dampak ekonomi yang berat.
1. Tarif resiprokal minim manfaat bagi AS

UNCTAD dalam laporan terbarunya menyatakan, tarif resiprokal kepada negara-negara kecil dan miskin tidak akan memberikan dampak besar terhadap tujuan kebijakan perdagangan AS. Laporan tersebut menunjukkan, 36 dari 57 negara yang menjadi sasaran tarif hanya menyumbang kurang dari 1 persen pendapatan tarif AS saat ini, sehingga penerapan tarif dianggap tidak efisien.
“Negara-negara ini memiliki pasar ekspor yang terbatas bagi AS karena daya beli mereka rendah. Tarif justru dapat mengurangi pendapatan mereka tanpa menguntungkan AS,” kata Kepala UNCTAD, Rebeca Grynspan dalam wawancara dengan UN News.
Menurutnya, pengecualian negara-negara rentan dari tarif adalah langkah logis untuk mencegah kerugian ekonomi global yang tidak perlu.
2. Dampak buruk pada negara berkembang

Negara-negara seperti Lesotho, Madagaskar, dan Laos termasuk yang paling terdampak oleh tarif ini, meskipun kontribusi mereka terhadap defisit perdagangan AS sangat kecil, yakni kurang dari 0,1 persen. UNCTAD memperingatkan tarif dapat memperburuk krisis utang di negara-negara ini, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi pendapatan pemerintah yang bergantung pada ekspor.
“Madagaskar, misalnya mengekspor vanila yang tidak diproduksi di AS. Tarif pada komoditas ini hanya akan menaikkan harga bagi konsumen AS tanpa mengurangi defisit perdagangan,” ujar Grynspan.
Peringatan ini menegaskan tarif tidak hanya merugikan negara miskin, tetapi juga berpotensi memicu inflasi di AS.
3. Peluang negosiasi selama penundaan

Penundaan tarif selama 90 hari memberikan ruang bagi negosiasi untuk mengurangi ketegangan perdagangan global. UNCTAD menilai periode ini sebagai momen kritis untuk mengevaluasi dampak tarif dan mencari solusi yang tidak merugikan negara-negara rentan, seperti mengecualikan mereka dari daftar sasaran.
“Kami berharap AS mempertimbangkan data kami yang menunjukkan bahwa negara-negara ini tidak berkontribusi pada defisit perdagangan mereka,” ujar Grynspan.
UNCTAD juga menyoroti pentingnya menjaga stabilitas ekonomi global dengan mendorong perdagangan yang adil dan tidak membebani negara-negara dengan sumber daya terbatas.