Perang Dagang AS-China Kembali Memanas, Biden Kerek Tarif Impor

- Presiden AS Joe Biden mengumumkan kenaikan tarif besar pada produk China, termasuk kendaraan listrik, sel surya, chip komputer, dan produk medis.
- Tarif impor khususnya kendaraan listrik melonjak empat kali lipat menjadi lebih dari 100 persen, membuat China marah dan bersumpah akan membalas tindakan tersebut.
- Pemerintah AS mengimpor barang senilai 427 miliar dolar dari China pada 2023 dan mengekspor 148 miliar dolar ke Beijing, menciptakan kesenjangan perdagangan yang berlangsung selama beberapa dekade.
Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengumumkan kenaikan tarif yang besar pada produk China. Ini termasuk kendaraan listrik, sel surya, chip komputer dan produk medis.
Pengumuman pada Selasa (14/5/2024) itu, membuat kenaikan tarif impor khususnya kendaraan listrik melonjak empat kali lipat menjadi lebih dari 100 persen. Sedangkan tarif impor produk semikonduktor dari China mengalami kenaikan menjadi 50 persen.
Keputusan itu membuat China marah. Kementerian Luar Negeri mengatakan pihaknya menentang kenaikan tarif oleh AS dan akan segera mengambil tindakan untuk membela kepentingannya.
1. Strategi Biden dinilai upaya lemah dan sia-sia oleh tim kampanye Donald Trump

Presiden Biden mengatakan bahwa subsidi pemerintah China membuat perusahaan-perusahaan di negaranya tidak menghasilkan keuntungan. Hal tersebut dinilai memberi mereka keuntungan yang tidak adil dalam perdagangan global.
"Pekerja AS dapat bekerja lebih keras dan mengalahkan siapa pun selama persaingannya adil," kata Biden, dikutip Associated Press.
"Tetapi sudah terlalu lama hal ini tidak adil. Selama bertahun-tahun, pemerintah China telah mengucurkan uang negara ke perusahaan-perusahaan China, ini bukan persaingan, melainkan kecurangan," tambahnya.
Pengumuman kenaikan tarif tersebut terjadi di tengah kampanye antara Biden dan Donald Trump.
Sekretaris pers kampanye Trump Karoline Leavitt, menyebut tarif baru pemerintahan Biden itu adalah upaya yang lemah dan sia-sia. Itu hanya untuk mengalihkan perhatian dari dukungan Biden terhadap kendaraan listrik di AS.
2. Rincian kenaikan tarif impor untuk produk China
Langkah-langkah baru pemerintah AS bakal berdampak pada produk impor China senilai 18 miliar dolar (Rp289,2 triliun). Ini termasuk berdampak pada baja dan alumunium, mineral penting, serta derek.
Dilansir Reuters, AS mengimpor barang senilai 427 miliar dolar (Rp6.862 triliun) dari China pada 2023 dan mengekspor 148 miliar dolar (Rp2.377 triliun) ke Beijing. Hal ini dinilai sebagai sebuah kesenjangan yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Katherine Tai, perwakilan Dagang AS, menyebut revisi tarif itu dibenarkan karena Beijing mencuri kekayaan intelektual AS. Namun dia merekomendasikan pengecualian tarif ratusan kategori impor mesin industri, termasuk 19 kategori untuk peralatan manufaktur tenaga surya.
Rincian dari kenaikan tarif impor tersebut adalah kendaraan listrik dari 25 persen menjadi 100 persen sehingga bea masuk menjadi 102,5 persen. Kendaraan lithium dari 7,5 persen menjadi 25 persen, baterai kendaraan listrik dan komponen baterai lainnya dari 25 persen menjadi 50 persen.
Lalu, sel fotovoltaik yang digunakan untuk membuat panel surya, dari nol menjadi 25 persen. Tarif derek kapal ke darat naik dari nol menjadi 25 persen, tarif jarum suntik dan alatnya naik jadi 50 persen dari nol dan alat pelindung diri (APD) naik dari sebelumnya nol menjadi 25 persen.
3. China sebut tindakan AS mempolitisasi masalah ekonomi

Kementerian Perdagangan China mengatakan langkah AS akan sangat mempengaruhi suasana kerja sama bilateral. Mereka mengkiritiknya sebagai politisasi masalah ekonomi.
Dilansir BBC, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengatakan pihaknya bakal mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi hak dan kepentingan sahnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan AS Janet Yellen menggunakan narasi kelebihan produksi China dalam masalah perdagangan internasional.
"Mereka membanjiri pasar. Itu bukan persaingan, itu curang," kata Biden.
Gedung Putih juga membantah bahwa politik dalam negeri telah mempengaruhi keputusan tersebut.