Lahir Tanpa Akta hingga Jadi Bos Danantara, Ini Perjalanan Dony Oskaria

- Sempat telat selesaikan skripsi karena keasyikan bekerja.
- Terjun dalam karier, diawali dengan Bank Universal.
- Memilih memulai karier dari nol di bank kecil ketimbang ambil tawaran HSBC.
Jakarta, IDN Times - Tak semua orang mencapai kesuksesan dengan jalan yang mulus. Sebagian dari mereka yang sukses, adalah orang-orang yang menjalani perjuangan keras dan bahkan memulai dari nol. Lahir tanpa akta kelahiran, tidak sempat mengenyam pendidikan taman kanak-kanak, bahkan harus menunggu hingga usia delapan tahun untuk bisa masuk SD, begitulah Dony Oskaria menggambarkan masa kecilnya.
Pria yang baru saja didapuk menjadi Plt Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menggantikan Erick Thohir itu, juga tetap mengemban tugas sebagai Chief Operating Officer (COO) Danantara. Dony dikenal sebagai profesional yang sukses membawa CT Corps berjaya, sebelum menjabat di perusahaan pelat merah. Siapa sangka semua rekam jejak karier yang gemilang itu, diawali dengan masa kecil yang penuh keterbatasan.
Ia mengungkapkan bahwa dirinya lahir di kampung Tanjung Alam, Tanah Datar, Sumatra Barat. Dia lahir bukan di rumah sakit dan karena proses kelahirannya ditangani oleh dukun, Dony tidak memiliki akta kelahiran.
Dony baru bisa masuk sekolah dasar pada usia delapan tahun. Hal ini membuatnya menjadi murid tertua di antara teman sekelas.
"Jadi saya paling tua waktu saya SMP, waktu itu saya udah pindah ke Jakarta, saya paling tua dibandingkan semua di satu sekolah. Karena saya masuk sekolahnya telat," tutur Dony saat menjadi speaker IDN Academy yang digelar, Rabu (13/8/2025).
1. Sempat telat selesaikan skripsi karena keasyikan bekerja

Meski memulai pendidikan terlambat, semangat belajar Dony Oskaria ternyata menyala. Ia menempuh studi di Universitas Padjadjaran, Bandung dan menyelesaikan perkuliahan dalam waktu 3,5 tahun.
Meski demikian, skripsinya tertunda karena Dony terlalu fokus bekerja. Selama kuliah, Dony sudah mulai bekerja, mulai dari memasang billboard di jalan tol hingga menjadi operator call center.
“Saya bekerja pasang billboard sambil rencananya menyelesaikan skripsi. Tapi karena keasyikan kerja, skripsinya nggak selesai-selesai. Akhirnya tamatnya jadi enam tahun. Sudah hampir dikeluarkan dari kampus, baru saya selesaikan skripsinya sambil terus bekerja,” jelasnya.
2. Terjun dalam karier, diawali dengan Bank Universal

Dony bercerita awal mula meniti karier saat bekerja di Bank Universal yang sebelumnya bernama Bank Perkembangan Asia. Saat itu, bank tersebut masih kecil, kantor pusatnya berada di Surabaya. Datanglah perubahan besar: bank tempatnya bekerja itu diakuisisi oleh Astra Group.
Bank yang dulunya serba manual, mulai memperkenalkan ATM, sistem call center, dan berbagai inovasi digital lain. Dari operator, Dony menjadi call center. Dari bank konvensional menjadi bank modern, transformasi itu nyata. Dony menjadi saksi langsung perubahan itu.
Meski belum memiliki ijazah sarjana, ia dipromosikan menjadi personal assistant (PA) atau sekretaris eksekutif. Ia dipercaya menyiapkan presentasi dan berbagai keperluan penting lainnya. Semua berkat performa dan dedikasi kerjanya.
Seiring pertumbuhan pesat Bank Universal, muncul berbagai peluang baru. Salah satunya adalah pembentukan centralized operation. Dony kembali dipercaya kali ini untuk menjabat sebagai manajer.
"Besoknya saya langsung dipanggil dan ditanya, 'Kamu bisa nggak jadi manajer di situ?' Saya jawab, 'Bisa, Pak'," kenangnya.
Setahun kemudian, bank membuka divisi baru untuk kartu kredit, dan Dony diangkat menjadi Head of Credit Card. Perjalanan luar biasa ini membawanya dari call center hingga menjadi Vice President (VP) hanya dalam empat tahun.
“Saya tidak merasa hebat. Tapi saat itu, 80 persen pencapaian saya datang karena opportunity, bukan hanya kemampuan,” ujar Dony.
3. Memilih memulai karier dari nol di bank kecil ketimbang ambil tawaran HSBC

Namun, badai datang. Krisis moneter melanda Indonesia. Bank Universal pun dilebur dengan tiga bank, di antaranya Bank Bali, Bank Media, dan satu bank lainnya, menjadi Bank Permata. Di sana, Dony dipercaya sebagai Kepala Divisi Operasi dan kembali meraih posisi VP Operation setelah melalui proses evaluasi menyeluruh.
Di saat bersamaan, datang tawaran dari HSBC untuk posisi Regional Operation Head. Saat itu, usianya baru 31–32 tahun. Namun, rasa penasaran dan keinginan untuk bertumbuh membuatnya terus mencari peluang lain.
Dalam perjalanannya, Dony melihat iklan yang melibatkan nama Acong Sitorus. Ia pun mencari tahu dan akhirnya mengenal sosok Chairul Tanjung (CT), seorang pengusaha muda yang menginspirasi. Dia kagum dengan perjalanan CT membangun lini bisnisnya, termasuk Bank Mega.
Saat itu, Dony sudah menandatangani offering letter dari HSBC, namun ia tetap memilih melamar ke Bank Mega. Bagi Donny, kesempatan tumbuh jauh lebih penting daripada fasilitas atau nama besar.
"Feeling saya bilang, saya ingin mulai lagi dari bank kecil,” jelasnya.
4. Upaya masuk Bank Mega hingga meniti karier di CT Corps

Halangan muncul. Adik Dony juga bekerja di Bank Mega, dan aturan perusahaan tidak mengizinkan dua saudara kandung bekerja di tempat yang sama. Ia pun tak menyerah dan memilih membayar Rp25 juta agar sang adik keluar dari pekerjaan.
Itulah sebuah pengorbanan Dony yang menjadi bukti keseriusannya untuk bisa bergabung dengan bank milik CT. Kisah ini kemudian ditulis sebagai bagian dalam buku Anak Singkong karya Chairul Tanjung.
Gaji besar di HSBC tak menggoyahkan niat Donny. Ia memilih bergabung ke Bank Mega meski hanya menerima gaji Rp10 juta tanpa fasilitas tambahan. Meski harus mulai lagi dari bawah, Dony tak mengeluh. Dia pun meniti hingga akhirnya mencapai puncak kariernya sebagai CEO di CT Corp.
“Saya merasa ikut tumbuh bersama Grup CT karena saya belajar dari satu hal: opportunity. Kalau kita mampu melihat dan menjadi bagian dari pertumbuhan, kita pasti akan mendapat kesempatan besar,” katanya.
Kisah Donny menjadi bukti nyata bahwa karier bukan hanya ditentukan oleh kemampuan, tapi lebih pada kemauan untuk mengambil peluang.