Polemik JCC, Investor Minta Kepastian Hukum

- PT GSP tidak dapat melanjutkan kegiatan MICE di Jakarta Convention Center (JCC) karena penutupan akses dan penguncian pintu ruangan oleh PPKGBK.
- Pembatalan kontrak oleh klien BUMN dan swasta menghentikan kegiatan MICE di JCC, merugikan pelaku usaha terkait, dan berdampak pada reputasi Indonesia sebagai tuan rumah acara besar.
- Kuasa hukum PT GSP menyayangkan langkah PPKGBK yang mengambil alih JCC saat proses hukum masih berlangsung, serta akan melanjutkan gugatan perdata terkait pelanggaran pasal 8.2 dalam perjanjian BOT tahun 1991.
Jakarta, IDN Times - PT Graha Sidang Pratama (PT GSP) menyatakan perusahaan tidak dapat melanjutkan kegiatan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) di Jakarta Convention Center (JCC), yang terletak di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Hal itu disebabkan oleh penutupan akses masuk, penggembokan pagar, serta penguncian pintu-pintu ruangan di JCC yang dilakukan oleh Direksi Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK).
General Manager JCC, Edwin Sulaeman, mengungkapkan situasi tersebut menyebabkan PT GSP tidak mampu memenuhi kontrak dengan klien dan mitra bisnis yang telah ditandatangani sejak awal 2024.
"Kami sangat menyesal dan menyayangkan situasi ini terjadi, apalagi langkah direksi PPKGBK mengambil alih paksa JCC dilakukan pada saat proses hukum sedang berjalan," kata dia dikutip Kamis (23/1/2025).
1. Sejumlah klien membatalkan kontrak sewa di JCC

Edwin menyebut sejumlah klien, termasuk BUMN dan swasta, membatalkan kontrak akibat penutupan akses ke JCC. Hal itu menyebabkan kegiatan MICE di JCC terhenti dan berdampak pada pelaku usaha terkait.
"Selama lebih dari 30 tahun kami membangun JCC sebagai brand MICE terbaik dan ikon MICE Indonesia bersama puluhan klien dan mitra bisnis," tuturnya.
Menurutnya, kondisi saat ini berisiko merugikan industri MICE, termasuk pelaku usaha dengan kontrak di pasar domestik maupun internasional. Beberapa klien dan mitra bisnis juga telah mencari lokasi lain demi kepastian bisnis dan layanan yang lebih baik, mengingat standar layanan sangat penting di industri ini.
2. Industri MICE Indonesia perlu menjaga reputasi

Edwin menekankan pentingnya reputasi JCC yang telah dibangun selama puluhan tahun sebagai pusat MICE bertaraf internasional. Menurutnya, kerusakan citra dapat menyulitkan Indonesia untuk menarik acara berskala besar di masa depan.
"Kami membutuhkan puluhan tahun untuk membangun reputasi JCC sebagai pusat kegiatan MICE yang diakui internasional. Jika citra ini rusak, akan sulit bagi Indonesia untuk menarik acara-acara besar di masa depan," ujarnya.
Dia menyatakan, industri MICE berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, dengan sumbangan tahunan sekitar Rp100 triliun, dan JCC menyumbang 20-30 persen dari total tersebut.
3. Pihak PT GSP meminta ada kepastian hukum

Kuasa hukum PT GSP, Yosep Badoeda, menyayangkan langkah PPKGBK yang mengambil alih JCC saat proses hukum masih berlangsung. Dia menilai tindakan tersebut tidak sesuai dengan asas keadilan dan prinsip hukum.
"Seharusnya direksi PPKGBK sebagai perpanjangan tangan pemerintah menjadi contoh yang baik ketika berproses hukum," ujarnya.
Yosep meminta pemerintah memerhatikan masalah tersebut secara lebih luas dan menciptakan stabilitas dalam industri MICE. Menurutnya, JCC memiliki peran strategis sebagai pusat kegiatan MICE.
"Dengan menjaga stabilitas JCC, dampak positif terhadap ekonomi nasional dan banyak pelaku usaha yang bergantung pada industri ini dapat terus terjaga," katanya.
Dia juga menyampaikan PT GSP akan melanjutkan gugatan perdata terkait pelanggaran pasal 8.2 dalam perjanjian BOT tahun 1991, yang menurutnya memberikan PT GSP hak pertama untuk memperpanjang kontrak pengelolaan JCC.
"Kami berinvestasi dan membangun JCC menjadi ikon MICE dengan kesepakatan yang jelas dan terukur. Karena itu sebagai investor PT GSP hanya memohon kepada pemerintah untuk memberikan kepastian hukum atas kesepakatan tahun 1991 tersebut," ujar Yosep.