Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Rachmat Gobel: Kebijakan Tarif Trump Berdampak Besar bagi RI

Anggota Komisi VI DPR RI, Rachmat Gobel dalam  Real Talk with Uni Lubis by IDN Times. (Dok/Screenshot Youtube IDN Times).
Anggota Komisi VI DPR RI, Rachmat Gobel dalam Real Talk with Uni Lubis by IDN Times. (Dok/Screenshot Youtube IDN Times).
Intinya sih...
  • Dampak besar kebijakan tarif resiprokal AS (32%) terhadap sektor industri padat karya di Indonesia, khususnya garmen, tekstil, dan alas kaki.
  • Pemerintah perlu mendorong perkembangan industri padat karya dan menciptakan lapangan kerja berkualitas dengan konsep yang jelas dan insentif yang tepat.
  • Indonesia perlu meniru negara lain dalam memberikan insentif besar kepada industri yang ingin mengekspor produknya, serta mengatasi tantangan seperti tingginya bunga bank dan biaya pekerja yang meningkat.
  •  
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi VI DPR RI, Rachmat Gobel, mengakui kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap Indonesia 32 persen akan memiliki dampak besar bagi perekonomian Indonesia.

Gobel menyatakan dampak terbesar akibat kebijakan ini akan dirasakan sektor industri padat karya, khususnya industri garmen, tekstil, produk tekstil, dan alas kaki. Sektor-sektor ini sangat bergantung pada ekspor dan sangat sensitif terhadap perubahan tarif perdagangan internasional.

Sebagai contoh, Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara pun telah gulung tikar dan menunjukkan kesulitan yang dihadapi sektor ini. Hal ini mencerminkan kenyataan Indonesia perlu memperhatikan sektor industri padat karya, agar dapat tetap bersaing secara global.

"Pasti itu sangat besar (dampak tarif Trump). Salah satu yang paling terpengaruh adalah industri-industri padat karya, seperti garmen, tekstil, produk tekstil, dan alas kaki," ujarnya dalam Real Talk with Uni Lubis by IDN Times, Jumat (5/4/2025).

1. Pemerintah harus aktif dorong pengembangan industri padat karya

Kantor Sritex di Kabupaten Sukoharjo. (IDN Times/Bandot Arywono)
Kantor Sritex di Kabupaten Sukoharjo. (IDN Times/Bandot Arywono)

Menurut Rachmat pemerintah harus aktif mendorong perkembangan industri-industri padat karya di Indonesia, khususnya dalam menciptakan lapangan kerja berkualitas.

Oleh karena itu, kata Rachmat, diperlukan konsep yang jelas dalam mendukung sektor industri ini, serta memberikan insentif yang tepat agar sektor-sektor padat karya dapat bersaing di pasar global.

"Mestinya pemerintah harus mendorong industri-industri ini sendiri. Kalau kita bicara penciptaan lapangan kerja, bagaimana konsepnya? Bagaimana dukungan dari Kementerian Keuangan? Apa insentif yang harus diberikan?" kata dia.

2. Sejumlah kendala masih dihadapi industri tekstil

ilustrasi pabrik tekstil (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi pabrik tekstil (pexels.com/Pixabay)

Indonesia pun perlu meniru langkah yang diambil negara-negara lain, seperti Cina, yang memberikan insentif besar kepada industri yang ingin mengekspor produknya.

"Cina saja, mereka mau ekspor, keluar negeri, diberi insentif 20 hingga 30 persen. Kita kan tidak ada kebijakan seperti itu," ujar Rachmat.

Selain itu, Gobel juga menyoroti beberapa tantangan yang dihadapi Indonesia, seperti tingginya bunga bank, biaya pekerja yang semakin meningkat, dan birokrasi yang masih rumit di lapangan.

"Biaya pekerja juga semakin meningkat, belum lagi masalah birokrasi di lapangan yang juga besar. Sementara negara-negara lain sudah memotong biaya-biaya tersebut agar lebih efisien," katanya.

Dengan kondisi tersebut, Gobel menyarankan pemerintah mengimplementasikan kebijakan yang lebih mendukung industri dalam negeri agar Indonesia dapat meningkatkan daya saing dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja yang berkualitas.

3. Undang-Undang Cipta Kerja belum beri perubahan signfikan dalam proses di lapangan

Ilustrasi palu rapat. (pexels.com/Sora Shimazaki)
Ilustrasi palu rapat. (pexels.com/Sora Shimazaki)

Ia pun mengkritik efektivitas implementasi Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dianggap belum memberikan perubahan signifikan di lapangan. Meskipun undang-undang ini diharapkan dapat menciptakan kemudahan dan efisiensi dalam dunia usaha, Rachmat mengungkapkan, kondisi yang ada justru terasa lebih berat.

"Sudah dilakukan efisiensi-efisiensi melalui (UU Cipta Kerja), tetapi kenyataannya tidak lebih baik. Kita buat Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), tapi bukannya lebih beres, malah masih tetap seperti ini. Bahkan terasa lebih berat," kata dia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Triyan Pangastuti
Rochmanudin Wijaya
Triyan Pangastuti
EditorTriyan Pangastuti
Follow Us