Upah Minimum Naik 10 Persen, Pertumbuhan Ekonomi Bisa di Atas 5 Persen

Jakarta, IDN Times - Formulasi Upah Minimum setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang Undang (UU) Cipta Kerja pada 31 Oktober 2024, menimbulkan berbagai spekulasi.
Pertanyaan seperti apakah formulasi upah dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) yang baru akan lebih tinggi, atau justru lebih rendah dibanding PP 51/2023 pun mengemuka. Pada saat bersamaan, pertumbuhan konsumsi rumah tangga sedang mengalami pelambatan karena hanya tumbuh 4,91 persen year on year (yoy) pada kuartal III-2024.
Center of Law and Economic Studies (Celios) dalam laporan terbaru berjudul Skenario Kenaikan Upah Minimum terhadap Perekonomian Nasional 2025, menunjukkan beberapa fakta menarik. Direktur Eksekutif sekaligus Ekonom Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan melihat data historis kenaikan upah minimum yang terlalu rendah setelah Undang-Undang Cipta Kerja, terjadi pelemahan upah riil pekerja. Hal itu kemudian memengaruhi kemampuan kelas menengah menghadapi kenaikan harga barang kebutuhan pokok.
"Ada kaitan rendahnya upah minimum dengan jumlah kelas menengah yang menurun. Pemerintah dalam 10 tahun terakhir belum pernah menggunakan upah minimum sebagai kebijakan counter-cylical. Padahal upah minimum yang lebih baik akan mendorong konsumsi rumah tangga, dan menguntungkan pelaku usaha serta pertumbuhan ekonomi secara agregat,” tutur Bhima dalam pernyataan resminya, Sabtu (9/11/2024).
1. Tambahan terhadap konsumsi rumah tangga

Dari hasil simulasi yang dilakukan Celios, jika kenaikan upah minimum sebesar 10 persen, maka efek ke konsumsi rumah tangga secara total diperkirakan bertambah Rp67,23 triliun.
"Konsumsi rumah tangga ini dihasilkan dari konsumsi pekerja dan dampak berganda yang ditimbulkan dari kenaikan konsumsi. Pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) mendapatkan dampak positif dari kenaikan konsumsi pekerja yang lebih besar,” kata Bhima.
2. Kenaikan PDB dari pertumbuhan upah minimum

Sementara itu, Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengungkapkan hasil modelling menunjukkan adanya kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) higga Rp122,2 triliun, apabila pertumbuhan upah minimum tahun depan 10 persen atau lebih tinggi dari formulasi Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 yang membatasi alpha.
Kenaikan upah minimum yang lebih tinggi, menurut Huda, juga akan membawa dampak kepada pendapatan tenaga kerja dan pelaku usaha.
"Selisih dampak skenario kenaikan upah lumayan besar. Begitu juga dengan dampak ke serapan tenaga kerja jika upah minimum naik 10 persen hingga 1,19 juta orang di 2025, sedangkan formula PP 51/2023 hanya bisa dorong 188 ribu kesempatan kerja baru,” kata Huda.
"Skenario kenaikan upah minimum 10 persen pada 2025 akan berkontribusi pada kualitas pertumbuhan ekonomi melalui penurunan angka kemiskinan ke 8,94 persen dibanding formula sebelumnya hanya berpengaruh sebesar 0,01 persem. Pertimbangan beberapa skenario secara teknokratis yang dilakukan lembaga penelitian sebaiknya dijadikan sebagai referensi pemerintah agar tidak mengambil langkah yang salah dan dapat memperburuk kondisi perekonomian,” sambung dia.
3. Hilangnya eksistensi lembaga independen untuk menentukan data pembentukan upah

Di sisi lain, Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar, menilai penyebab utama kebingungan dalam penentuan upah minimum ada pada hilangnya eksistensi lembaga independen yang dapat dipercaya dalam penentuan data pembentukan upah.
"Misalnya di Inggris terdapat Low Pay Commission, lembaga yang bekerja secara independen dalam menentukan upah dengan mempertimbangkan berbagai indikator sosial dan ekonomi, sehingga pemerintah Inggris dapat menetapkan target upah minimum sebesar 2/3 median upah nasional. Kami menyarankan pemerintah segera membentuk lembaga independen yang didalamnya dimonitor oleh Serikat Pekerja, dan pengusaha bukan merujuk pada data BP," tutur Media.
Kenaikan upah minimum pada 2025 akan menentukan apakah pertumbuhan ekonom Indonesia mampu tumbuh di atas 5 persen atau justru semakin mengalami tekanan konsumsi rumah tangga dan memicu gelombang PHK. Celios menilai, momentum putusan MK sebaiknya dijadikan game changer dalam mendorong permintaan domestik melalui instrumen upah.