Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Yakin Transisi Energi Sukses, Inggris Janjikan Bantuan Rp232 Miliar

Menteri Energi Inggris, Ed Miliband. (x.com/@Ed_Miliband)
Menteri Energi Inggris, Ed Miliband. (x.com/@Ed_Miliband)
Intinya sih...
  • Menteri Energi Inggris: transisi energi terbarukan tak terhentikan, tak ada pemerintah bisa hentikan pergeseran global ke ekonomi rendah karbon.
  • Inggris tingkatkan bantuan keuangan untuk negara berkembang dalam COP tahun ini senilai Rp232 triliun.
  • Fokus COP29: bantuan keuangan untuk negara miskin, energi terbarukan mendorong pergeseran ke ekonomi rendah karbon.

Jakarta, IDN Times - Menteri Energi Inggris Ed Miliband menyatakan transisi menuju energi terbarukan saat ini tak terhentikan. Ia menegaskan tak ada pemerintah yang bisa mencegah pergeseran global menuju ekonomi rendah karbon. Pernyataan ini disampaikannya saat menghadiri Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) yang berlangsung di Azerbaijan pada Jumat (15/11/2024).

Miliband menyatakan bahwa kepemimpinan Inggris dalam pengurangan emisi global sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Hal ini ditunjukkan melalui peningkatan bantuan keuangan untuk negara-negara berkembang dalam COP tahun ini.

Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer turut hadir di COP29 pada awal pekan. Ia mengumumkan komitmen baru pengurangan karbon yang dipuji sebagai langkah kuat dan ambisius. Starmer juga mengkonfirmasi janji bantuan Inggris senilai 11,6 miliar poundsterling (sekitar Rp232 triliun) untuk negara-negara berkembang.

Menurut Miliband, energi terbarukan yang semakin murah dan stabil dibanding bahan bakar fosil akan mendorong pergeseran ke ekonomi rendah karbon. Ia optimis transisi ini hanya akan bergerak ke satu arah dan kecepatannya tergantung pada kebijakan pemerintah.

1. Miliband pimpin langsung perwakilan Inggris di COP29

Miliband memutuskan memimpin langsung negosiasi di COP29, tidak seperti menteri Konservatif sebelumnya yang menyerahkan tugas pada bawahan. Fokus pembicaraan tahun ini adalah bantuan keuangan untuk negara miskin. Dana tersebut akan digunakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengatasi dampak cuaca ekstrem.

Miliband mengingatkan bahwa negara berkembang harus beralih ke energi rendah karbon untuk mencegah suhu bumi naik lebih dari 1,5 derajat Celsius. Ia menilai bantuan keuangan untuk negara berkembang sangat penting bagi kepentingan nasional Inggris.

Miliband menolak alasan lama bahwa Inggris tidak perlu bertindak karena hanya menyumbang 1 persen emisi global.

"Dunia menyambut baik kembalinya kepemimpinan Inggris dalam aksi iklim global. Inggris akan memimpin dengan contoh di dalam negeri, lalu menggunakan pencapaian itu untuk mendorong negara lain bertindak," ujar Miliband, dikutip dari The Guardian. 

Miliband mengakui memberikan bantuan memang sulit karena keterbatasan anggaran Inggris. Namun ia menekankan, kegagalan membantu negara miskin mengatasi krisis iklim akan memicu ketidakstabilan global yang merugikan Inggris sendiri.

2. COP29 dihantui kemenangan Donald Trump

Donald Trump. (x.com/@GOP)
Donald Trump. (x.com/@GOP)

KTT COP29 dibayangi kemenangan Donald Trump. Trump pernah berjanji akan menarik AS dari Perjanjian Paris. Ia juga berencana menghentikan kebijakan pengurangan emisi saat mulai menjabat pada Januari mendatang.

Dampak kemenangan Trump mulai terlihat saat Presiden Argentina, Javier Milei menarik delegasi negaranya dari COP29 pada Rabu malam. Langkah ini dianggap sebagai bentuk dukungan untuk Trump. Banyak pihak khawatir langkah ini bisa memengaruhi upaya penyelamatan iklim global.

Para ahli iklim terkemuka telah menulis surat kepada PBB meminta proses COP diubah. Mereka mengusulkan agar ke depannya konferensi diadakan lebih sering dan hanya di negara-negara yang mendukung aksi iklim. Kekhawatiran ini muncul mengingat tuan rumah tahun ini, Azerbaijan, adalah produsen bahan bakar fosil besar.

Sebelum konferensi dimulai, seorang anggota tim penyelenggara Azerbaijan tertangkap kamera sedang menawarkan bantuan untuk kesepakatan bahan bakar fosil. Namun, Miliband optimis transisi energi akan tetap berlanjut meski tanpa AS, seperti yang sudah terbukti pada masa pemerintahan Trump sebelumnya.

"Pesan utama saya kepada semua orang adalah: jangan putus asa. Putus asa tidak akan membawa Anda kemanapun dan itu bukan respons yang tepat, karena putus asa bukanlah kenyataan yang sebenarnya," kata Milband. 

3. Butuh Rp15.900 triliun per tahun untuk krisis iklim

Negara-negara berkembang menginginkan pendanaan iklim sebesar 1 triliun dolar AS (sekitar Rp15.900 triliun) per tahun. Ekonom Nicholas Stern menilai target ini dapat dicapai jika sekitar 50 persen berasal dari sektor swasta, 25 persen dari Bank Dunia dan lembaga sejenis, sisanya dari negara yang lebih kaya.

Diskusi tentang kesepakatan pendanaan iklim baru yang disebut "tujuan kuantitatif kolektif baru" berjalan lambat. Naskah yang dirumuskan pada Kamis dinilai sulit dijalankan oleh beberapa negara. Negosiasi akan berlanjut sepanjang minggu depan dan dijadwalkan selesai Jumat malam.

Beberapa negara kini mencari sumber pendanaan alternatif untuk mengisi kesenjangan. Mantan diplomat Prancis dan kepala European Climate Foundation, Laurence Tubiana, mengusulkan beberapa skema pungutan global untuk mendanai upaya iklim negara berkembang.

Beberapa usulan pendanaan baru mencakup pungutan cryptocurrency senilai 5 miliar dolar AS (sekitar Rp79 triliun) dan pajak produksi plastik 25-35 miliar dolar AS (sekitar Rp397-556 triliun) per tahun. Usulan lainnya meliputi pajak kekayaan 2 persen yang bisa menghasilkan hingga 250 miliar dolar AS (sekitar 3.974 triliun) dan pajak penerbangan hingga 164 miliar dolar AS (sekitar Rp2.607 triliun) per tahun.

"Negara-negara kaya dengan emisi terbesar harus membayar porsi lebih besar dalam pendanaan transisi iklim global," ujar Tubiana.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us