Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

ESDM Ungkap Kapasitas Listrik Nasional Tembus 107 GW per Oktober

WhatsApp Image 2025-11-13 at 22.24.48.jpeg
Kapasitas terpasang pembangkit tenaga listrik nasional mencapai 107 GW. (Dok/Istimewa).
Intinya sih...
  • Pembangkit listrik tenaga air masih mendominasi bauran sistem ketenagalistrikan
  • Struktur pembangkit listrik nasional masih bergantung energi fosil
  • Peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil perlu dikurangi bertahap
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno mengatakan kinerja sektor ketenagalistrikan nasional terus menunjukkan perkembangan positif. Hingga Oktober 2025, kapasitas terpasang sistem ketenagalistrikan Indonesia telah mencapai 107 gigawatt (GW). Capaian ini menjadi tonggak penting dalam memastikan ketersediaan pasokan energi listrik bagi lebih dari 280 juta penduduk Indonesia.

"Ini menggambarkan porsi besar mesin energi yang menopang populasi 280 juta penduduk Indonesia. Dan mencerminkan skala komitmen kita dalam menjaga ketersediaan energi listrik bagi rumah tangga, industri hingga pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia," ucapnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII, Kamis (13/11/2025).

1. Pembangkit listrik tenaga air masih mendominasi bauran sistem ketenagalistrikan

ilustrasi pembangkit listrik (unsplash.com/Torsten Kellermann)
ilustrasi pembangkit listrik (unsplash.com/Torsten Kellermann)

ESDM mencatat dari total kapasitas tersebut, energi baru dan terbarukan (EBT) telah berkontribusi sebesar 14,4 persen. Dari angka tersebut, pembangkit listrik tenaga air masih mendominasi dengan kontribusi lebih dari 7 persen, disusul biomassa 3 persen, panas bumi 2,6 persen, surya 1,3 persen, bayu (angin) 0,1 persen, serta berbagai sumber EBT lain yang porsinya masih relatif kecil.

Data ini menjadi pengingat bahwa Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat besar, namun masih memerlukan percepatan pengembangan agar dapat sejajar dengan negara-negara maju dalam upaya transisi energi menuju sistem kelistrikan yang lebih bersih dan berkelanjutan.

2. Struktur pembangkit listrik nasional masih bergantung energi fosil

Ilustrasi listrik (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi listrik (IDN Times/Arief Rahmat)

Ia menjelaskan struktur pembangkit nasional hingga kini masih menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap energi fosil, khususnya batu "bara.

"Kita masih menunjukkan ketergantungan pada energi fosil, khususnya batu bara, yang hingga kini masih menjadi andalan baseload pembangkit bahan dasar yang beroperasi 24 jam untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional," tegasnya.

3. Peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil perlu dikurangi bertahap

PLTU Suralaya menyumbang 10 persen dari energi listrik kebutuhan Jawa, Madura dan Bali dengan kapasitas Daya Mampu Netto (DMN) dan Daya Mampu Pasok (DMP) sebesar 3.221,6 MW. (dok. PLN)
PLTU Suralaya menyumbang 10 persen dari energi listrik kebutuhan Jawa, Madura dan Bali dengan kapasitas Daya Mampu Netto (DMN) dan Daya Mampu Pasok (DMP) sebesar 3.221,6 MW. (dok. PLN)

Namun, di tengah meningkatnya tuntutan dekarbonisasi global dan kebijakan energi bersih, peran pembangkit listrik berbahan bakar fosil perlu mulai dikurangi secara bertahap.

“Sistem tenaga listrik kita tidak bisa serta-merta meninggalkan PLTU. Pembangkit ini masih memiliki peran signifikan dalam menjaga keandalan pasokan listrik, sehingga keberadaannya masih sangat dibutuhkan. Namun demikian, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap semakin kuatnya tuntutan dekarbonisasi, baik dari sisi kebijakan nasional maupun dinamika ekonomi global,” ungkapnya.

Selain PLTU, pembangkit listrik tenaga gas (PLTG/PLTGU) juga memegang peran penting, terutama di wilayah perkotaan dan pusat-pusat ekonomi. Karakteristiknya yang lebih fleksibel memungkinkan pembangkit jenis ini mengikuti fluktuasi permintaan listrik serta berfungsi sebagai load follower dan peaker ketika beban meningkat secara tiba-tiba.

“Fleksibilitas tersebut akan semakin penting di masa mendatang, seiring meningkatnya penetrasi energi baru terbarukan (EBT) variabel seperti tenaga surya dan bayu, yang produksinya sangat bergantung pada kondisi cuaca dan kecepatan angin,” tambahnya.

Meskipun porsi EBT baru mencapai sekitar 10,4 persen dari total kapasitas nasional, capaian ini merupakan hasil dari perjalanan panjang dan tantangan berat di lapangan—mulai dari pembangunan PLTA di daerah terpencil, eksplorasi panas bumi di kawasan hutan, hingga pengembangan PLTS yang tumbuh cepat namun masih bersifat intermiten.

Pemerintah menegaskan komitmennya untuk terus mempercepat pengembangan energi terbarukan guna memperkuat ketahanan energi nasional dan mendukung target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Agustiar
EditorDwi Agustiar
Follow Us

Latest in Business

See More

Jepang Berencana Naikkan Pajak Keberangkatan Jadi 3 Kali Lipat

13 Nov 2025, 23:55 WIBBusiness