Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

YLKI Kritik Penundaan Penerapan Cukai Minuman Berpemanis

ilustrasi minuman manis kemasan (pexels.com/Leah Newhouse)
ilustrasi minuman manis kemasan (pexels.com/Leah Newhouse)
Intinya sih...
  • YLKI kritik keras penundaan penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan hingga 2025
  • Data terbaru menunjukkan prevalensi diabetes pada usia 15 tahun ke atas meningkat 11 persen dari sebelumnya 10.9 persen
  • Sebanyak 25,9% anak di Indonesia mengonsumsi MBDK setiap hari, YLKI desak pemerintah segera merealisasikan kebijakan ini tanpa menunggu hingga tahun 2025
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengkritik keras keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan yang masih menunda penerapan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan plastik hingga 2025.

“Cukai terhadap MBDK seharusnya tidak lagi menjadi wacana, tetapi harus segera diimplementasikan demi melindungi generasi muda dari risiko penyakit yang serius,” kata Pelaksana Tugas Ketua Harian YLKI Indah Suksmaningsih dalam keterangannya, Senin (17/6/2024).

1. Penundaan ini tak sejalan dengan urgensi masalah kesehatan

pixabay.com
pixabay.com

YLKI menilai penundaan dari tahun 2020 sampai 2023 ini tak sejalan dengan urgensi masalah kesehatan dan lingkungan masyarakat Indonesia.

Data terbaru Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan prevalensi diabetes pada usia 15 tahun keatas meningkat 11 persen dari sebelumya 10.9 persen.

"Tentunya hal ini sangat mengkhawatirkan, anak-anak sebagai modal utama dalam mencapai Generasi Emas 2045 terancam terganggu kesehatannya, yang merupakan dampak langsung dari konsumsi minuman berpemanis yang tinggi," ucap Indah. 

2. Sebanyak 25,9 persen anak berusia di bawah 17 tahun konsumsi MBDK

ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Indah Suksmaningsih, berdasarkan hasil survei yang dilakukan YLKI di 10 kota di Indonesia, sebanyak 25,9 persen anak berusia kurang dari 17 tahun mengonsumsi MBDK setiap hari dan sebanyak 31,6 persen mengonsumsi MBDK 2-6 kali dalam seminggu.

Anak-anak adalah konsumen yang rentan dan sering menjadi target utama pemasaran produk minuman berpemanis.

"Penundaan kebijakan cukai ini berarti anak-anak kita akan terus terpapar pada produk yang berisiko tinggi terhadap kesehatan mereka. Saat ini, prevalensi diabetes dan obesitas pada anak-anak menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Tanpa adanya intervensi kebijakan yang tegas, mereka akan menjadi korban berikutnya dari kebijakan yang lambat diterapkan," ucapnya.

3. YLKI desak pemerintah terapkan cukai minuman berpemanis

Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani dalam konferensi pers APBN Kita edisi Maret (Dok Kemenkeu RI)
Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Askolani dalam konferensi pers APBN Kita edisi Maret (Dok Kemenkeu RI)

Data SKI 2023 menunjukkan bahwa sebanyak 59,1 persen penyebab disabilitas (melihat, mendengar, berjalan) pada penduduk berusia 15 tahun ke atas adalah penyakit yang didapat, di mana 53,5 persen penyakit tersebut adalah Penyakit Tidak Menular, terutama hipertensi (22,2 persen) dan diabetes (10,5 persen). Ini jelas fenomena yang sangat mengkhawatirkan.

"Kami mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan dan merealisasikan kebijakan ini tanpa menunggu hingga tahun 2025. Kesehatan anak-anak kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi," imbuhnya. 

Sebelumnya, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, menyebut penerapan cukai plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) berpotensi mundur lagi. Mulanya, kebijakan ini akan diterapkan pada 2023, namun tak jadi diterapkan dan berpotensi mundur hingga 2025.

"Target bisa kita sesuaikan, kan kita kebijakan harus lihat kondisi di lapangan," kata Askolani kepada wartawan di Kompleks Parlemen RI, Senin (10/6/2024). 
 
"Kebijakan ini disiapkan untuk 2025. Kalau sampai 2024 enggak bisa jalan. Kita antisipasi lah, tergantung pemerintah," tambahnya. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us