Di luar gerbang,
lapar adalah nyanyian yang tak henti.
Tubuh-tubuh kering menari di atas aspal,
menghafal setiap lubang, setiap debu.
Sementara di dalam,
istana adalah lautan gula,
dibangun di atas tangisan yang tak terdengar.

Tawa renyah membelah langit-langit berukir,
lantai marmer menampung riuh pesta.
Emas menetes dari setiap sendok,
berlian adalah butiran keringat yang membeku.
Setiap langkah adalah puisi yang tak terbaca,
dibisikkan di antara tirai beludru,
tentang kemewahan yang buta.

Mereka menari di atas penderitaan,
menikmati anggur yang disaring dari air mata.
Dan di ujung malam, saat bulan lelah,
istana itu hanya sebuah cermin raksasa,
memantulkan wajah yang takkan pernah mengerti,
bahwa di balik kemegahannya,
ada ribuan perut kosong yang tak punya nama.