Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[PUISI] Sepucuk Surat 'Tuk Kau Baca

ilustrasi surat (pexels.com/Lum3n)
ilustrasi surat (pexels.com/Lum3n)

Dekapanmu menetap pada cahaya senja terakhir,
perlahan memudar, namun tegas melawan panggilan malam.
Dalam diammu, kurasakan duka cerita yang tak pernah terucap,
tarian yang baru mulai, nada yang menggantung di udara,
dan aku terbungkus bayang-bayang, tersesat dalam simfoni yang tak tertulis.

Namun aku terus melangkah di antara gema tawamu,
mencari hangat dalam kenangan yang kini meredup dan dingin,
seperti bara yang bertahan di api yang telah lama padam.

Engkau adalah hutan hijau penuh perlindungan,
namun jarak menenun sulur-sulur yang tak mampu kupisahkan.
Di setiap detak jantung yang kurasakan di dadamu,
ada kebenaran terlalu indah, terlalu sedih untuk kugenggam.
Kita hanyalah dua jalan yang sempat bersinggungan—
kerinduan tanpa akhir bertemu perpisahan tanpa suara,
kata-kata kita menjadi bisikan cinta yang tak pernah dinyanyikan,
layu seperti bunga yang tertinggal di hujan, tak tersentuh.

Kini daku hanyalah daun yang melayang di angin hampa, mendamba akar
di tanah tempat dulu kurasakan genggaman tanganmu yang kukuh.
Dan meski kau tetap menjadi lagu yang tak mampu kumainkan,
aku akan membawa cahayamu, rasi bintang yang hilang,
penuntun di tengah hening, gelap, dan ketidaktahuan.
Dalam keheningan, kutuliskan akhir cerita kita,
dan dalam kesedihan itu, ada keindahan yang aneh, bertahan—
sebuah tragedi, terajut lembut, masih harum seperti mawar yang dikeringkan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwika Muzakky
EditorDwika Muzakky
Follow Us