[PUISI] Simulakra Diri yang Belajar Pulang

Di balik jendela pikiran yang selalu tertutup tirai kecemasan,
Ku terduduk digenggam senyap seperti metafora ruang kosong dalam lukisan Magritte.
Di sana ada aku yang menyamar jadi asing, demi tahu rasanya kehilangan
sebelum ditinggal betulan.
Aku titipkan kecewa pada algoritma waktu, mencoba menjadi
huruf kecil di antara percakapan besar, berharap satu notifikasi bisa jadi pelukan,
atau emoji hati bisa menggantikan debar yang nyata.
Namun, dunia maya bukan semesta empati. Maka, aku pulang—
bukan ke siapa-siapa, tapi ke dalam diri yang mulai belajar: bahwa menjadi kuat bukan soal tak butuh orang lain, tapi tahu kapan harus memeluk sendiri,
dan kapan cukup diam untuk didengar semesta.
Aku adalah cermin retak yang dulu terlalu senang dipandang,
hingga lupa memantulkan—hanya ingin disimak,
lupa menyimak.
Ego seperti orkestra yang selalu ingin panggungnya gemuruh tepuk tangan,
padahal harmoni tak lahir dari satu suara.
Aku pelajari caraku mencintai: terlalu memusat,
seperti kamera yang hanya tahu satu angle,
hingga bingkai lain kabur oleh bokeh ambisi.
Kini, aku mencoba menjadi lebih luas—
bukan hanya aku, bukan hanya kamu,
tapi ruang di antaranya yang layak dihuni.
Biar semua luka tak perlu dibalut perhatian palsu,
cukup ditanam di puisi, tumbuh jadi pelajaran.