[CERPEN] Ada Apa dengan Usman dan Jogja?

Usman mengayunkan langkahnya, dengan gontai, menuju pesawat tujuan Jogja atau Yogyakarta, yang tengah boarding, meninggalkan keluarganya, nenek yang sangat menyayanginya, ayah dan ibunya, serta adik-adiknya, yang terpaksa harus ikut mengantarnya ke bandara, karena diharuskan ikut oleh ayahnya. Waktu itu, bandara di Padang, masih belum sebesar yang sekarang, terletak agak di tengah kota, di dekat mal, yang waktu itu masih ramai dikunjungi orang.
“Hati-hati di jalan ya nak, jangan sampai nyasar ke Papua ya”, begitu kata ibunya melepas Usman. Kebetulan memang, di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, tempat transit pesawat ke Jogja dan Papua saat itu kebetulan sama. Terkadang kalau tidak jeli, kemungkinan keliru menaiki pesawat memang ada, walaupun kecil.
Di kali terakhir, kesempatannya mengikuti UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri), tahun 1999, Usman berhasil lulus dan diterima di sebuah jurusan, yang belum pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Jurusan filsafat, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta ini dipilihnya, setelah setahun bergulat membacai buku-buku filsafat, sosiologi, dan fisika kuantum di kamar kosnya, yang terletak di sebuah kota, di ujung pulau Sumatera, dekat Selat Sunda.
Ecce Homo, karya Friedrich Nietzsche, Foucault for Beginners, buku tentang Sosiologi dan Agama, karya Emile Durkheim, dan lain-lain. Itulah sebagian buku yang dibacai Usman, dengan keseriusan yang luar biasa, sampai-sampai lupa segalanya.
Semua ini dilakukannya, karena dosennya di jurusan Sosiologi, di sebuah universitas di kota itu, selalu membanggakan almamaternya, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM). Padahal beliau hanya lulusan sarjana Sosiologi, akan tetapi, karena mengarang banyak buku tentang Sosiologi, maka beliau bisa mengajar di jurusan sosiologi di universitas itu.
“Mahasiswa UGM pintar-pintar, kalian tidak ada apa-apanya dibanding mereka”. Begitu katanya berulang-ulang di kelas, sampai membuat Usman panas, dan memutuskan untuk belajar keras, supaya bisa lulus di UMPTN berikutnya. Tujuannya hanya satu, yaitu supaya bisa diterima di UGM, di jurusan filsafat, seperti halnya dosen favoritnya, dosen logika, yang juga merupakan lulusan filsafat UGM.
Di atas pesawat, Usman duduk di samping dua orang perempuan separuh baya, yang dengan genit, menggoda Usman.
“Sepertinya, aku kenal ibu-ibu, yang di sampingku ini”, batin Usman.
Seingat Usman, salah seorang dari mereka, sering tampil di media cetak maupun elektronik, yang kalau tidak salah, adalah istri dari salah seorang petinggi militer Indonesia, kala itu.
“Mau ke mana Mas?”. Tanya perempuan itu kepada Usman.
“Ke Jogja, Bu”, jawab Usman singkat dengan malu-malu.
“Kuliah atau kerja di Jogja, Mas?”. Tanya perempuan itu lagi.
“Kuliah Bu”, jawab Usman lagi.
“Kuliah di mana, Mas?”.
“Di Filsafat UGM, Bu”.
“Wah, saya punya teman, orang Filsafat UGM, Mas, biasanya mereka, hi-hi-hi”, perempuan itu tidak menuntaskan kalimatnya, dan langsung tertawa.
“Mengapa mereka Bu?” Tanya Usman penasaran.
“Biasanya mereka agak beda pola pikirnya Mas, mungkin kalau orang awam seperti kami, melihatnya agak gila, begitu”. Jawab perempuan itu sambil tersenyum.
“Ah tidak juga Bu, saya waras kok”, jawab Usman, yang membuat kedua perempuan separuh baya itu tertawa terbahak-bahak.
***
Sesampai di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, Usman langsung pergi dengan taksi menuju tempat kos temannya Yusuf. Yang bersangkutan, sudah memberikan alamat lengkapnya, sebelum Usman ke Jogja.
Usman membacakan alamat tersebut, ke sopir taksi, “Jalan Pogung Baru, Nomor 28”.
“Oh Pogung Baru, dekat UGM itu Mas”, Ucap sopir taksi tersebut menanggapi.
Tak seberapa lama, sampailah mereka di tempat kos Yusuf, Usman langsung turun menenteng kopernya ke dalam kamar kos. Di sana ia bertemu Yusuf dan teman-temannya, yang sudah menunggu Usman. Ia kemudian berkenalan dengan dua orang teman kos Yusuf, yaitu Hendral dan Andres.
Keduanya berambut gondrong.
“Wah enak juga ya, mahasiswa di sini bisa gondrong, berarti aku tidak usah potong rambut cepak ala militer lagi”, ucap Usman dalam hati.
Karena dua hari lagi, ia harus ikut OSPEK (Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus), Usman bertanya ke Yusuf, yang jurusan Teknik Mesin, UGM, “Suf, nanti waktu OSPEK, boleh gondrong tidak ya?”.
“Gundul Man, mahasiswa baru yang ikut OSPEK harus plontos, tidak boleh ada rambut”, jawab Yusuf.
“Baiklah, nanti aku ke tukang cukur saja, kalau begitu”. Ucap Usman menanggapi.
Sorenya Usman ke tukang cukur, yang langsung menggunduli rambut Usman, yang setengah gondrong, sesuai permintaan Usman. Usman menatap cermin dengan senyum lega.
“Aman, aku tidak bakalan dikerjai senior, dengan rambut seperti ini”. Ucap Usman dalam hati.
***
Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali, sehabis subuh, Usman jalan kaki ke kampus Filsafat UGM, yang tidak seberapa jauh dari tempat kos yang ditempatinya bersama Yusuf. Sampai di kampus, Usman kaget luar biasa, karena semua mahasiswa baru, yang juga ikut OSPEK bersama dirinya, berambut gondrong semua. Hanya dia satu-satunya yang plontos.Semua mata, tertuju kepadanya, hal yang membuat Usman, malu bukan kepalang.
“Sialan si Yusuf, aku dikerjainya rupanya, ternyata tidak ada yang gundul, malah aku yang gundul sendirian”, gerutu Usman, dalam hati.
Para senior, kemudian menjadikan Usman sasaran untuk dikerjai, ia disuruh menyanyi “Gundul-Gundul Pacul”, dengan lantang. Setelah itu, ia disuruh berperan jadi Jenderal Orde Baru, yang menculik dan menyiksa mahasiswa. Usman melakukan semua perintah senior, dengan perasaan antara malu dan takut, perutnya serasa dipilin, yang membuatnya seperti ingin ke toilet.
Malam harinya, di tempat kos, Usman ditanyai Yusuf, “Bagaimana OSPEK-nya tadi Man?”.
“Kacau Suf, angkatanku pada gondrong semua, cuma aku yang plontos”, jawab Usman.
“Ah, yang benar?”. Tanya Yusuf kaget.
“Iya Suf, aku dikerjai senior, gara-garan plontos, di suruh macam-macam Suf, malu aku”, jawab Usman dengan setengah kesal.
“Wah, berarti beda kebijakan Man, senior Filsafat sama senior Teknik Mesin. Kami dulu harus gundul, selama enam bulan Man”. Ucap Yusuf menjelaskan. Ternyata ia memang tidak bermaksud mengerjai Usman. Karena memang, mahasiswa baru Fakultas Teknik, jurusan Teknik Mesin, rata-rata gundul, Usman kebetulan bertemu dengan salah seorang dari mereka keesokan harinya.
***
Setelah menjalani OSPEK seminggu, Usman kemudian libur dua minggu. Baru pada awal Agustus, perkuliahan dimulai. Awalnya ia agak kaget, dengan materi-materi perkuliahan, akan tetapi, tak berapa lama, ia mulai menyenangi semua kelas yang diikutinya. Dosen-dosennya menerangkan dengan jelas sekali, dan mudah dicerna, seperti mendengar orang bercerita.
Beda sekali, dengan dosen-dosen di kampus sebelumnya, yang terlalu banyak menggunakan istilah-istilah akademis, yang sulit dimengerti oleh Usman. Entahlah, apakah karena ia menyenangi filsafat, dan sudah membacai buku-buku filsafat sebelumnya, atau karena hal lain.
Hal ini sepertinya yang menyebabkan di akhir semester pertama, Usman mendapat hasil sempurna, yaitu IP (Indeks Prestasi) 4,0. Dalam sistem penilaian di universitas, IP 4,0 hanya didapat oleh mahasiswa yang memperoleh nilai A dalam semua mata kuliah. Dengan perasaan bangga luar biasa, Usman menelepon ibunya di Kampuang, lewat Wartel (Warung Telekomunikasi) dekat kosnya.
“Alhamdulillah Mak, Usman dapat IP 4,0”, Ucap Usman di telepon, kepada ibunya.
“Aduh nak, coba kamu belajar sedikit, mungkin bisa dapat enam”, jawab ibunya dengan sedih.
“IP 4,0 ini yang paling tinggi Mak, nilaiku A semua”, jelas Usman pada ibunya.
“Oh begitu ya, maklum Emak belum pernah kuliah, jadi tidak tahu penilaian di kampus”.
Usman hanya bisa tersenyum, menanggapi perkataan ibunya. Setelah kembali ke Kampuang, saat mudik lebaran, Usman menjelaskan pada ayahnya, tentang hal itu, ayahnya kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Usman. Ayah Usman, paham bahwa nilai di perkuliahan memang seperti itu. Ia adalah dokter lulusan Fakultas Kedokteran, salah satu universitas di Padang.
Begitulah, kisah awal perkuliahan Usman di Jogja. Awalnya memang baik, ia mendapat nilai sempurna. Akan tetapi pada semester berikutnya, akibat berinteraksi dengan para aktivis mahasiswa, dan bergabung dalam beberapa organisasi pergerakan mahasiswa, yang salah satunya dipimpin oleh Wilad, Usman jadi jarang masuk kuliah. Semester dua dan tiga, IP-nya menjadi satu koma, atau NASAKOM, begitu biasanya para mahasiswa menamai orang-orang yang mendapat IP 1,0 - 1,9.
Usman bahkan sempat putus asa, dan enggan melanjutkan kuliah,pada tahun 2002, setelah tiga tahun berkuliah di jurusan Filsafat UGM. Untungnya, berkat motivasi dan dorongan kedua orang tuanya, Usman mau melanjutkan kuliah di Filsafat UGM, sampai lulus. Sebelum lulus, ia bertemu dengan Annie, yang kemudian dinikahinya, setelah lulus sarjana, dan bekerja sebagai seorang Guru Agama Islam dan Bahasa Indonesia, di sebuah sekolah di Jakarta.
Saat bekerja sebagai guru, semua pengalaman yang dialaminya saat kuliah dan bergabung dalam berbagai organisasi gerakan mahasiswa, banyak membantu Usman. Menjadi aktivis mahasiswa, ternyata tidak berdampak nagatif pada dirinya, memang waktu kuliahnya jadi agak lebih panjang, dari para mahasiswa kupu-kupu, atau mahasiswa yang kerjaannya kuliah, dan setelah selesai lalu pulang ke kos atau ke rumah masing-masing.
Akan tetapi, dengan pengalaman berorasi dalam berbagai demonstrasi mahasiswa, dan memberikan pendidikan politik pada para mahasiswa baru, ia jadi tidak kesulitan untuk menyampaikan materi pembelajaran kepada para muridnya di kelas. Padahal sebelum kuliah di Jogja, Usman termasuk orang yang tidak bisa berbicara panjang di hadapan banyak orang. Ia bahkan, selalu dibilang ayahnya, sebagai anak yang “Demam Panggung”, atau tidak punya nyali untuk berdiri di depan banyak orang.
Terkadang, ia teringat pada kata-kata provokasi Dosen Sosiologinya dulu, yang membuatnya panas dan termotivasi untuk kuliah di Jogja. Ia hanya bisa tersenyum dan bersyukur, mengenangnya, karena tanpa kata-kata itu, tentu ia tidak akan mau untuk pindah kuliah ke Yogyakarta.
Yogyakarta, 14 April 2024