Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Juang Ini Nyawaku

Ilustrasi upacara bendera Damar dan teman-temannya (unsplash.com/Syahrul Alamsyah Wahid)
Ilustrasi upacara bendera Damar dan teman-temannya (unsplash.com/Syahrul Alamsyah Wahid)
Intinya sih...
  • Damar dan Fira kehilangan teman mereka, Tari, yang ditemukan tergeletak di jalan dengan luka parah setelah pulang sendiri dari sekolah.
  • Setelah membawa Tari pulang, Damar memutuskan untuk tetap pergi ke sekolah dan mengikuti upacara peringatan 17 Agustus.
  • Saat tali tiang bendera putus, Damar nekat naik ke tiang bendera untuk memperbaiki ikatannya, namun ia terjatuh dan mengalami sakaratul maut.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ayam jantan mulai berkokok riang. Hawa dingin dan sejuk menembus hingga tulang di sekujur tubuhku. Suara jangkrik terus terdengar, menandakan waktu masih sangat pagi. Sinar matahari belum terpancar. Oblek setia menerangi pagi butaku. Ini masih jam 2 pagi, namun aku harus bersiap-siap pergi ke sekolah. Mandi di luar rumah, ditutupi daun pintu dari bambu, menjadi rutinitas pagiku. Aku memakai seragam sekolah, mengambil tas berisi alat tulis dan sepatu, lalu mencomot oblek. Setelah memastikan semua siap, aku pamit ke Ayah dan Ibu. Di luar, Fira telah menungguku. Kami pergi ke sekolah bersama-sama. Walaupun hidupku miskin, aku tetap bersyukur memiliki teman perhatian, orang tua baik, guru sabar, tetangga ramah. Itu semua sudah cukup bagiku. Kebetulan aku siswa yang berprestasi dan mendapat peringkat satu di sekolah, sehingga aku memperoleh beasiswa yang menanggung biaya dan kebutuhan sekolah.

“Heh, Damar, kamu sudah dengar belum? Tari sampai sekarang belum pulang ke rumahnya,” ucap Fira, teman perempuanku.

“Hah, masa, Fir? Tari sampai sekarang belum pulang? Bukannya kemarin Tari pamit sama kita, soalnya ada urusan dengan Bu Tanti?” tanyaku heran.

“Iya, Mar. Pak Ismo dan Bu Esti sampai sekarang masih mencari Tari,” jawab Fira. “Apa Bu Esti dan Pak Ismo sudah tanya ke Bu Tanti?” tanyaku lagi.

“Sudah, Bu Tanti bilang kalau Tari pulang sendiri karena beliau masih banyak urusan di sekolah,” jawab Fira.

“Berarti Tari pulang sendiri?” tanya penasaranku.

“Iya, aku takut tari diculik genderuwo ing hutan seperti cerita warga,” cemas Fira.

“Huss, jangan beranggapan negatif, gak mungkin ada genderuwo yang menculik manusia,” ujar Damar.

“Mudah-mudahan aja Tari cepet ketemu,” harap Fira dengan cemas. “Aamiin,” jawabku dengan semangat.

Selama perjalanan mereka melihat banyak warga yang berbondong-bondong mencari Tari di sekitar jurang dan hutan. Kami masih mencemaskan keadaan Tari. Aku dan Fira melewati pemandangan jurang di sebelah kanan kami belum lagi dengan jalan berlumpur dan berlubang besar di sekitar hutan dengan hanya ditemani cahaya redup lampu minyak.

Tiba-tiba Fira berucap “Astagfirullahaladzim, Tari.” Sontak aku ikut memandang arah pandang Fira. Sungguh apa yang kulihat membuatku terkejut. Tari temanku tergeletak di jalan berlumpur yang ku lewati setiap hari dengan darah yang mengalir di kakinya. Kami segera menghampirinya kondisinya sangat mengenaskan ia tertusuk ranting pohon yang bertebaran di jalan. Tari tidak bernafas lalu Fira dengan sekelebat mengecek denyut jantung Tari.

“Gimana, Fir?” tanyaku. “Tari sudah tiada Mar.”

“Innalillahi wa innalillahi rajiun.”

“Kita harus membawa Tari ke keluarganya.”

Tiba-tiba warga berdatangan di tempat mereka. Semua orang sama kagetnya seperti Fira dan diriku. Para warga segera membawa Tari ke rumah orang tuanya. Seorang laki-laki menyuruhku dan Fira untuk kembali melanjutkan perjalanan ke sekolah, tapi aku menolaknya. Setelah Fira membujukku untuk memberitahukan kabar ini ke Bu Tanti aku setuju untuk pergi ke sekolah.

Jalan yang berat terasa semakin berat setelah aku tahu temanku meninggal. Kami bertiga benar-benar teman akrab. Aku masih harus menyusuri hutan lebat ini padahal sudah puluhan menit kami lalui. Seolah-olah hutan ini ingin menahan kami selamanya. Tidak, aku tidak boleh menyerah. Fira saja yang perempuan masih kuat.

Akhirnya aku sudah sampai di sekolah tercinta jam 6 pagi. Segera aku bersama Fira berlari tergopoh-gopoh memberitahu Bu Tanti dengan cepat beliau memberitahu guru-guru yang lain. Diputuskan setelah pulang sekolah para guru dan murid akan berkabung di rumah Tari.

Senin ini terasa lebih panas dari biasanya. Apa karena hari ini 17 Agustus? entahlah aku harus merasa bagaimana sedih atau bahagia. Sedih karena kehilangan sahabat atau bahagia karena peringatan kemerdekaan bangsaku, atau keduanya. Sudah berat saja cobaan yang aku lalui hari ini. Ingin bisa melewati hari ini ganti menjadi hari esok.

Upacara peringatan 17 Agustus dimulai. Ku hilangkan segala gundah di dada demi menikmati setiap momen hal ini dengan khidmat. Aku tidak ingin membuat orang tuaku, bangsaku, dan para pahlawan kecewa. Aku berjanji akan terus mencintai bangsa ini. Semua berjalan dengan terkendali bendera hampir saja berada pada posisi seharusnya.

Detik demi detik terus berlalu ternyata muncul kejadian tak terduga tali tiang bendera mendadak putus. Sontak para petugas pengibar bendera menangkapnya sebelum jatuh ke tanah, syukurlah telat beberapa detik saja bendera itu jatuh ke tanah dan itu sama dengan menginjak harga diri Indonesia. Semua orang kebingungan.

“Perhatian saudara sekalian harap tenang, kami akan mengatasi masalah ini!” perintah pembina upacara.

Beberapa menit berlalu namun ikatan bendera itu tak kunjung dibenarkan. Aku tidak sabar lagi. Aku memutuskan segera berlari menuju tiang bendera, mencomot tali bendera dan menaikinya dengan penuh tenaga karena tiang bendera ini sangat tinggi mungkin sekitar 15 meter. Semangat terus membara ketika aku sedikit demi sedikit menaiki tiang bendera itu. Ayolah Damar tinggal sedikit lagi mencapai bagian bendera yang terputus.

Sampai akhirnya tibalah aku di posisi lepasnya tali bendera. Ku ikatkan tali itu dengan kuat sehingga tidak akan putus lagi. Semoga ikatan ini tidak putus lagi. Aku segera turun dengan perlahan namun tiba-tiba kakiku terasa mati rasa. Arrggh sakit sekali (batinku). Aku kesakitan dan aku terjatuh. Darah mengucur deras di kepalaku. Pemandanganku mengabur, napasku tercekat, kulihat semua orang mulai mengerumuniku. Begini Ya Allah rencanamu.

Tak pernah terpikir aku akan pergi dengan cara ini. Maafkan aku Ayah Ibu belum bisa bahagiakan kalian dengan kesuksesanku. Aku sudah berada di ujung tanduk. Waktunya sakaratul maut. Ku ucapkan dengan terbata-bata kalimat syahadat. Aku telah menuju alam lain.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us