[CERPEN] Lentera di Tengah Beban Negeri

- Fadil senang orang tuanya mendapat bantuan dari pemerintah, tapi hidupnya semakin getir.
- Fadil frustrasi karena sulit mencari pekerjaan dan terpaksa menjadi guru honorer di sekolah.
- Fadil menemukan ketidakwajaran dalam harga buku paket yang dijual di sekolah dan berusaha untuk mengubahnya.
"Mau kemana mak?" Fadil bertanya pada ibunya yang sudah cantik dan rapi, memakai dress rayon bunga-bunga.
"Ke pos lah nak, mau ngambil uang BSU!" sahut Wati sambil membenarkan posisi kerudungnya.
"Uang bantuan lagi?" tanya Fadil dengan nada tak percaya.
"Iya dik, kamu cerewet aja, tunggu di rumah saja nanti mak belikan geprek buat makan siang!" ketus Wati sambil berlalu pergi.
Fadil mengeleng pasrah. Bukan apa-apa, dia justru senang orang tuanya mendapat bantuan dari pemerintah. Mulai dari sembako, PKH, beras gratis, sampai ke BSU. Hanya saja, hidupnya kian hari kian getir dipikirnya.
"Apa aku kerja di kantor bulog saja ya, ndre?" tanyanya pada sahabatnya suatu hari.
"Kamu mau angkut beras-beras gratis itu? terus dibagiin ke emak-emak kita?" sindir Andre.
"Habis, sudah dua bulan aku nganggur nih! Minta bantu orang tua, malah disuruh daftar honorer di sekolah. Minta bantu teman, malah disuruh kasih modal buat buka usaha. Aku bingung mau kerja apa?" gerutu Fadil frustrasi.
"Kamu kerja temenin aku tiktokan saja, lumayan saweran nih!"
Fadil semakin gelisah. Setiap hari dia melihat kampungnya semakim gila. Banyak anak yang tiktokan, orang dewasa sibuk ngurusin bansos, ada yang lurus dikit malah hilang. "Ah, apa hanya aku yang gelisah?" tanya batinnya.
Suatu hari, Fadil akhirnya diterima kerja di sebuah sekolah negeri. Menjadi honorer, seperti impian ibunya.
"Kamu cukup kerja selama setahun, dah nanti mamak urus kamu jadi P3K!" himbau ibunya jauh-jauh hari, sementara ibunya sendiri berjualan ikan di tepi pasar. Setiap hari bisa mendapat keuntungan bersih lima ratus ribu. Bagi Fadil, uang segitu sangat lumayan ketimbang harus memakai seragam dinas untuk bekerja honorer.
"Kamu tidak boleh bau ikan, titik!" tegas Wati berulang kali saat anaknya Fadil ingin ikut jualan.
"Mama kuliahin kamu biar bisa kerja di kantor, pake baju bagus, setiap hari wangi, dipandang hebat sama yang lain, itu!" celoteh Wati setiap saat.
Sial bagi Fadil yang tidak bisa menolak saat ibunya memohon-mohon pada Kepala Sekolah SD di kampungnya untuk menerimanya sebagai guru honorer. Jadilah dia sekarang berdiri gagah sebagai bagian administrasi sekolah di kampungnya. Tempat dia dulu bersekolah.
Hari pertama lancar. Segudang pekerjaan yang tiada habis-habisnya. Seperti sengaja pekerjaan dari orang lama ditumpuk dan disatukan untuk dikerjakan oleh Fadil. Bagi Fadil tidak masalah, dia tetap mengerjakannya sepenuh hati. Kokoh dengan segala perintah.
Namun nuraninya mulai berteriak tidak nyaman. Dia memandang angka-angka tidak wajar di buku catatan administrasi. Kemudian dia hubungkan dengan barang dan pesanan yang diterima. Selisih nilainya memang tidak kentara, hanya dua ratus ribu, tiga ratus ribu, bahkan lima ratus ribu. Tapi hatinya mulai mendidih ketika melihat harga satuan buku paket yang dijual di sekolah.
"Harganya hanya lima belas ribu? dan sekolah menjualnya seharga tiga puluh lima ribu? itu sudah dua kali lipat dari harga yang sebenarnya!" protesnya pada sesama staff administrasi.
"Biarkan, prosedurnya memang seperti itu!" sahut rekannya, yang memilih tidak ambil pusing.
Andai Fadil bisa memilih, dia akan memilih diam juga, memilih untuk mengabaikan dan tidak peduli. Tapi seperti keresahannya pada masalah-masalah sebelumnya, dia merasa terpanggil untuk mengubah, batinnya seperti memberontak ingin keluar dan menampar sistem bobrok yang terpampang nyata di depan matanya.
Maka dengan langkah percaya diri Fadil menghadap kepala sekolah. Di ruangan yang berhawa sejuk itu karena AC yang full, dia merasa tertantang untuk menyuarakan ketimpangan harga jual buku di sekolah.
"Kamu mau protes tentang harga buku yang mahal?" Dahi pak Kepala sekolah nampak berkerut, seumur-umur baru kali ini dia berhadapan dengan seseorang yang begitu naif.
"Katakan pada ibumu, tolong berhenti mengirimiku ikan-ikan. Setiap hari makan ikan membuat kepalaku abnormal!" kata kepala sekolah dengan angkuh.
Fadil akhirnya mundur, bukan karena takut atau merasa terhina oleh ejekan kepala sekolah. Tetapi untuk pertama kalinya dia merasa 'tidak berdaya'.
Segala tindak kerakusan, kebodohan, kelalaian, dan ketidakpedulian terus terlihat di depan matanya. Hatinya seringkali menjerit, ingin menyudahi bersikap 'sok suci' seperti tuduhan kepala sekolah dan beberapa rekan di sekolahnya.
"Manusia sok suci yang berbau ikan!"
Ejekan demi ejekan, hinaan demi hinaan terus dia dapatkan setiap kali dia maju untuk memberantas. Tapi langkahnya sering tertahan, bahkan terpaksa mundur. Bukan karena takut, melainkan lagi-lagi karena rasa 'tidak berdaya'.
"Jangan terlalu terbuka gitulah, kamu mau aku kehilangan teman sepertimu?" Andre mengingatkan saat Fadil menceritakan kondisi kerja di sekolah yang rawan tipu-tipu dan penyelewengan.
"Kehilangan apa maksudmu?" tanya Fadil tak mengerti.
"Ya, hilang!" sahut Andre dengan tercekat. "Mereka yang jujur dan penuh integritas akan hilang, tiba-tiba tanpa ada kabar, kemudian ditemukan sudah...!" Andre tidak melanjutkan.
Sementara aku mengerti maksud Andre. Bahkan di kampungku saja, setiap ada satu lentera yang hidup, akan dipadamkan. Tiba-tiba mati. Seperti ada seseorang yang meniupnya.
Lentera yang menerangi kegelapan kampung. Berusaha untuk menerangi dengan cahaya kecilnya. Tapi akan banyak orang yang tidak suka. Sengaja meniupnya.
"Seperti Pak Kasem tuh, dia sering belain korban pelecehan seksual yang dilakukan seorang pimpinan sini, eh...gak lama malah mati dengan mulut berbusa. Katanya sih bunuh diri dengan cairan hama, tapi mengingat dedikasinya di dalam masyarakat, kok aneh saja orang seperti itu mau bunuh diri ya?" beber Andre sambil berpikir keras.
"Mungkin Pak Kasem itu seperti lentera itu, yang padam karena ditiup angin yang tidak suka dengan keberadaannya!"
Andre mengangguk-angguk. "Sekarang giliranmu Fadil, tetap jadi lentera itu, meski kecil tidak apa-apa lah, siapa tahu berkat punya teman beraura lentera bisa membuatku berhenti joget tiktok!" kata Andre nyengir.
Fadil memandang nun jauh di sana. Tempat di mana dirinya seperti mustahil untuk mengapai. kampungnya yang perlahan kian gelap dan tidak tersentuh cahaya akan coba diterangi oleh lentera yang dimiliki oleh Fadil.
"Mak, Fadil akan menjadi lentera di kampung ini, mohon dukung Fadil!" Katanya meminta restu ibunya yang nampak terheran-heran.
"Lentera?" tanya ibunya yang bingung.
Sementara itu Fadil sudah melangkah dengan pasti. Sambil mencongkel mata ikan segar di gerobak dagang ibunya.
Misi pertamanya adalah, lentera berbau ikan, beraksi!