Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Dua Meter Terjauh di Dunia

ilustrasi batu nisan
ilustrasi batu nisan (pexels.com/RDNE Stock project)

"Kamu tahu 2 meter terjauh di dunia?"

Aku berhenti mengunyah mendengar pertanyaan Rama. Aku tahu betul sifat sahabatku itu. Ia orang yang filosofis, meski kadang lebih tepat disebut sok filosofis. Bukan baru pertama kali Rama melontarkan teka-teki aneh semacam itu.

Sambil coba berpikir, aku menelan makanan di mulutku. "Dua meter terjauh?" gumamku. Namun, tak lama kemudian aku berhenti menebak-nebak. Pikirku, mungkin Rama hanya ingin membuatku bingung. "Apa sih? Pertanyaanmu gak jelas," kataku sambil sedikit terkekeh.

Aku kira Rama akan ikut tertawa. Tapi tidak, ia hanya tersenyum sambil menatapku, seolah mendorongku berpikir lebih keras. Aku pun meletakkan sendok dan mulai memutar otak. Apa, ya, maksudnya? Bukankah 2 meter itu ukuran yang selalu tetap? Bagaimana mungkin ada 2 meter terjauh?

Mataku mulai melihat-lihat sekeliling, mencari petunjuk. Tanpa sengaja, pandanganku tertuju pada layar ponsel Rama yang menampilkan wallpaper foto adik perempuannya. Saat itulah aku merasa menemukan jawaban pertanyaan Rama. Aku mengambil ponselku dan mencari informasi di Google untuk memastikan. Benar saja, jaraknya memang berkisar 1,5 hingga 2 meter.

Aku menunjukkan hasil pencarianku kepada Rama dengan bangga. "Ini kan, maksudmu?" Rama mengangguk, mengonfirmasi kebenaran jawabanku. Sambil tersenyum, aku memasukkan ponselku kembali ke saku. Namun, senyumku perlahan lenyap seraya aku mulai meresapi makna pertanyaan Rama. Aku menatap wajahnya dan sebelum aku membuka mulutku, ia duluan yang berbicara.

"Dua meter yang itu sangat jauh, Yud. Paling jauh di dunia," ucap Rama. Lalu ia terdiam, memberiku kesempatan. "Benar juga, ya," timpalku pelan sebelum hanyut dalam lamunan.

Pikiranku mulai memutar ulang peristiwa bulan lalu, jelang Idul Fitri. Rama meminjam uang kepadaku untuk tambahan ongkos pulang ke Banyuwangi. Ia akan menjalani Lebaran pertamanya tanpa sang adik perempuan, yang meninggal dunia 6 bulan sebelumnya. Tentu, aku meminjamkannya. Nasibku masih lebih baik dari Rama, si mahasiswa perantau yang susah payah bertahan hidup di Jakarta. Lagipula, mustahil aku sampai hati memaksa Rama menahan rindu.

Setelah kembali ke Jakarta, Rama menceritakan semuanya. Termasuk tentang bagaimana ia termenung di depan makam sang adik, disayat rindu yang tak terobati. Deretan penyesalan tak henti menghampiri. Ia mengutuki setiap detik yang berlalu tanpa ungkapan rasa sayang kepada adiknya. Diakuinya, hubungan mereka memang tidak dekat, bahkan ketika masih tinggal serumah. Bukan tidak peduli, tapi terhalang gengsi.

"Harusnya aku inisiatif, Yud," kata Rama waktu itu. "Aku benci gengsiku sendiri."

Kehilangan adalah luka yang mustahil dilawan. Tak ada yang bisa dilakukan selain menerima dan menjadikannya cambuk berbenah diri. Rama paham betul itu. Aku melihat sendiri bagaimana ia berubah menjadi pribadi yang lebih baik sejak ditinggal adiknya. Rama tak lagi segan mengucap maaf, tolong, dan terima kasih kepada siapa pun. Ia jadi lebih bertimbang rasa. Ia juga makin rajin belajar, mulai bekerja paruh waktu, tak putus beribadah, dan rutin menelepon orang tuanya.

Kalau dipikir-pikir, aku harusnya malu. Keluargaku masih lengkap, tapi kenapa aku masih nyaman sebagai ulat ketika sahabatku mulai menjadi kupu-kupu?

Kami lebih banyak diam seraya menyelesaikan makan malam. Setelah aku menghabiskan minumanku, barulah Rama membuka mulutnya lagi.

"Kamu tahu jarak Jakarta-Banyuwangi, kan, Yud?"

"Tahu," jawabku. "Sekitar 1.000 kilometer, kan?"

Rama mengangguk sambil tersenyum getir. "Andai 10 ribu atau 20 ribu kilometer sekali pun, aku siap menempuhnya. Gak peduli seberapa capek dan lamanya perjalanan, aku bisa dan rela," kata Rama penuh keyakinan. Lalu, ia terdiam sejenak dan menghela napas. "Tapi 2 meter terakhir itu, aku gak bisa menempuhnya, Yud. Aku cuma bisa berdiri di batasnya, menggapai tapi gak pernah sampai."

Kata-kata Rama menusuk batinku. Aku belum pernah kehilangan orang yang kucintai, jadi aku tak bisa sepenuhnya memahami perasaan Rama. Tapi, aku bisa membayangkan pedihnya. Rama berdiri di atas tanah, memanggil-manggil sang adik yang terbaring 2 meter di bawahnya. Begitu dekat, tapi juga begitu jauh.

Untuk beberapa saat, aku dan Rama terdiam lagi. Lalu, aku mengucap lirih, "Makasih, ya, Ram." Rama tersenyum. Ia tak perlu menanyakan untuk apa aku berterima kasih. Ia tahu. Kami berdiri dan membayar, lalu mulai berjalan pulang.

Seraya melangkah di bawah naungan langit malam, aku mengucap sebuah janji dalam hati. Aku akan lebih sering mengungkapkan rasa sayang kepada orang-orang terdekatku. Tanpa malu, tanpa gengsi. Aku juga harus menjadi lebih baik, untuk diriku sendiri dan mereka. Segera, sebelum waktunya tiba.

Sebelum kami dipisahkan 2 meter terjauh di dunia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us