[CERPEN] Pulang

- Sore yang biasa, tanpa keistimewaan, menyambut kedatangan dua sahabat di Ibu Kota.
- Pemuda merantau mencari pekerjaan di kota besar, merindukan kesederhanaan desa kelahirannya.
- Pulang bukan lagi menjadi teman, tetapi menjadi bayang bagi mereka yang merantau.
Sore telah menampakkan diri. Pendar jingganya menusuk mata sehingga hanya bisa melihatnya dengan mata menyipit. Sore yang menyapa seperti hari-hari kemarin. Tidak ada yang spesial. Ya, tidak ada yang spesial.
"Pulang, cuk?" Sahut Dwi.
"Iyo, pekerjaan masih banyak, cuman bodo amat. Makin hari, bos malah ngasih pekerjaan yang gak ngotak.", jawabku.
"Kamu masih sama seperti biasa, ngomel mulu masalah bos. hahaha." kata Dwi.
Dwi adalah kawan seperjuangan. Sama-sama merantau ke Ibu Kota dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Sedangkan, di kota kelahiran tidak ada pekerjaan yang memadai. Opsi bagi pemuda di kabupaten adalah menjadi petani. Ya, tidak ada yang lainnya seperti yang ditawarkan Ibu Kota.
Pertemuan dengan Dwi terbilang tidak sengaja. Pertama kali mendapatkan pekerjaan sebagai Business Development, menuntut untuk mencari banyak relasi. Dwi adalah pegawai di salah satu perusahaan rekanan. Sejak saat itu, aku akhirnya sering bertemu dengan Dwi untuk membahas kelanjutan kerjasama atau sekedar curhat.
"Gimana dirimu, Bosmu kok kayak enak gitu ya?." tanyaku.
"Halah, sama aja. cuman bosku lebih pengertian daripada bosmu, hahaha". jawab dia.
Akhirnya kami berjalan menuju stasiun untuk segera pulang ke kos.
*****
Perjalanan menjadi pepes ikan di gerbong penuh penumpang, akhirnya terbalas dengan kasur yang tidak begitu lembut ini. Malasnya diri akhirnya menjatuhkan segalanya dan hanya ingin berbaring saja. Rasanya sudah pulang. Benar-benar pulang.
"Cuk, minta kopi ya. Kopiku habis." ucap Dwi.
Aku dan Dwi memang satu kos-an. Dia di lantai dua, sedangkan aku di lantai satu. Sebelumnya, dia tidak nge-kos disini. Selisih beberapa bulan semenjak terjadinya kerjasama, dia menanyakan kos di daerahku untuk berpindah. Dia sudah rugi di ongkos karena kos yang sebelumnya cukup jauh.
"Iya, ambil saja sesukamu tuh!." tunjukku kepada toples kuning berisikan kopi bubuk kiloan yang sering kubeli.
"Tengkyu, Vo." ucap dia.
Sambil menatap kamar yang berdinding putih dengan banyaknya bercak coklat dikarenakan lembab. Sesekali ada debu sawang yang menjadi saksi capeknya diriku menghadapi segala keriwehan Ibu Kota.
Bayanganku mengenai gemerlapnya Ibu Kota benar-benar nyata. Gedung yang menjulang tinggi, hiruk pikuk kendaraan yang tiada habisnya, sumpah serapah setiap ada yang salah, seperti menjadi nyawa dari Ibu Kota.
Bahkan, hal-hal tabu seperti perselingkuhan dan dunia malam sudah menjadi santapan harian orang-orang. Pandangan tersebut jauh berbeda 360 derajat dengan kota kelahiranku.
Lahir di desa menjadikanku memiliki tingkah laku yang berbeda. Mulai dari salam setiap bertemu tetangga, patuh terhadap yang lebih tua, sampai ramenya lapangan setiap sore dikarenakan pada main layang-layang.
Perselingkuhan bisa menjadi aib di desa. Apabila ada kabar tetangga selingkuh, pasti akan menjadi bahan gosip tetangga. Tidak jarang, berita tersebut sudah menyebar sampai desa sebelah.
Tidak ditemukan namanya ramai kendaraan. Namun, setiap hari besar seperti Idul Fitri atau Hari Kemerdekaan Indonesia, semua orang gotong royong melakukan kerja bakti. Menghiasi jalanan desa dengan lampu kerlap-kerlip seperti kunang-kunang.
Tidak jarang juga anak muda menggelar panggung untuk lomba atau tausiah dengan mendatangkan kyai kondang yang dikenal masyarakat. Pemuda masjid atau karang taruna pasti disibukkan dengan rapat dan persiapan yang begitu banyak.
Kukira tidak ada yang berbeda, entah di Ibu Kota atau desa. Sama-sama riuhnya, tetapi rasa yang berbeda.
*****
"Ini cuk, kubuatkan kopi juga untukmu. Memang kamu mikirin apa sih kok diam aja dari tadi?" ungkap Dwi.
"Nggak mikirin apa-apa. Tiba-tiba aja keinget desaku. Lama rasanya belum pulang kampung." ucapku.
Bagi perantauan, rasanya untuk pulang begitu banyak yang harus dipikirkan. Mulai dari biaya perjalanan pulang-pergi, memberikan uang saku ke orang rumah. Tidak lupa hadiah pula untuk tetangga.
Tidak bisa rasanya pulang, hanya pulang saja. Banyak sekali yang harus dipersiapkan hanya untuk pulang. Tetapi, kebutuhan di Ibu Kota juga terbilang mahal. Gaji yang tidak seberapa harus dibagi dengan beragam kebutuhan.
Makan, gawai, healing, sampai outing dadakan dari kantor juga perlu menyiapkan uang walau sekedar untuk berjaga-jaga. Satu-satunya teman yang bisa diandalkan yaitu rokok juga tidak pernah lepas dari pembelian sehari-hari.
"Lama juga aku tidak pulang kampung, Vo. Dulu kalau pulang kampung selalu ibuku dan ayahku menyambutku dengan rasa hangat pelukan mereka. Semenjak udah nggak ada semua, pulang ya pas pingin pulang aja udah." ucap Dwi.
Pulang akhirnya bukan menjadi teman, tetapi menjadi bayang. Aku tidak mengerti mau pulang ke kampung ataukah Ibu Kota menjadi tempat pulangku. Atau memang ada makna pulang didiriku?
*****
R.W.